Hari kian petang, aku merasa ada yang mengganjal dalam hatiku. Tidak, ini bukan tentang keyakinanku yang menghilang tapi justru keyakinan calon imamku yang kupertanyakan. Satu jam yang lalu dia mengatakan akan datang Ba'da Maghrib, tapi kini dia selalu menanyakan hal-hal yang membuatku merasa bahwa ada keraguan dihatinya.
Bahkan kami telah menunda rencana luar biasa ini selama seminggu, itu juga atas permintaannya. Dia kini jadi rajin mengunjungi Nizam dan Nailah, kadang malah bukan denganku, dengar itu??? Bukan denganku, tapi bersama wanita yang paling kucemburui, Hanna Al Hamid. Air mataku menetes tiap kali aku mengingat itu, kemarin aku diberi tau Hanna sendiri bahwa dia mengajak Nizam dan Nailah ketaman bermain bersama Fatih. Hufft Nafasku terasa berat. Ini kah cobaan menghadapi pernikahan, atau ini petunjuk dari Rabb-ku bahwa Fatih bukanlah jodohku.
Aku masih saja duduk didepan cermin sejak berjam-jam yang lalu, berbalas pesan dengan orang yang menawarkan diri untuk menjadi imamku.
"Mengapa selalu bertanya tentang Nizam?" Aku mengirim pesan padanya. hatiku geram tiap membaca pesan darinya.
"Aku khawatir akan masa depannya" Balasnya.
"Dia punya keluarga, punya papa. Dia bukan tanggung jawab kita"
"tidakkah hatimu iba melihatnya" jariku lemas saat membaca pesan itu. Ponsel yang semula mantap digenggamanku kini telah terhempas dilantai.
Iba...aku iba, Fatih. Tapi apa yang harus kulakukan,,,
Haruskah aku menjadi ibu anak tersebut???
Lalu maukah kau menjadi ayahnya......
Apakah kita harus mengadopsinya....
Atau jangan-jangan hatimu tidak sekeras baja dalam menginginkanku???
Drrrtttt... sebuah pesan masuk lagi. Ponsel itu bergoyang-goyang dilantai. kulirik sekilas, "SUA" kuambil ponsel itu lalu ku simpan di laci nakas tanpa kulihat lagi pesannya. Aku tak ingin memulai pertengkaran dengannya, sementara aku sudah menyiapkan rencana untuk membungkam mulutnya. Tidak aku akan menjebaknya, aku tak peduli walau caranya menjijikan.
***
Usai Shalat Ashar aku turun melihat persiapan keluargaku. Mama sibuk dengan masakannya yang khusus dimasak sendiri. Sementara Papa asik ngobrol dengan Uwak Risman, Kakak tertua Papa dan Om Agusta suami Tante Atia. Tante Atia adalah adik bungsu Papa, kuliah dan bekerja di Spanyol sampai akhirnya bertemu Om Agusta. Lelaki yang memberinya mahar terindah seperti Abu Thalhah memberi mahar kepada Ummu Sulaim. Om Agusta memiliki nama Islam Umar, tapi aku, Kak Dira dan semua sepupuku lebih suka memanggilnya Om Agusta.
"Assalamu'alaikum...." aku menoleh sumber suara. Hanna dan Sarah datang dengan membawa plastik belanjaan.
"Walaikumsalam..." Bibi Atia menyambut mereka, seraya berbincang karena cukup lama tak bertemu. terutama dengan Sarah, ah, keduanya heboh sekali kalau ketemu.
Hanna berjalan kearahku meninggalkan dua insan terheboh didunia itu melepas rindu dan berbagi kisah kehamilan karena keduanya memang tengah mengandung.
"aih, aih....kok belum dandan..." Hanna meledekku.
"hemh, kamu ih" aku mencubit pipi Hanna dan dibalasnya mencubit pinggangku.
"kekamar aku aja yok"
"eh, aku mau bantuin mama, tau..." balasnya melengos.
"eh, eh, gak usah, kalian kekamar aja. biar urusan dapur kami yang tangani" Bibi Atia menyela.
aku menarik kedua sahabatku untuk kekamar, aku ingin berbagi keresahan dengan mereka. mungkin didunia ini, dalam beberapa hal mereka lebih mengenalku daripada keluargaku sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bersemayam dalam Do'a
Spiritualusia yang matang, dengan tingkat pendidikan yang tinggi justru kadang membuat seorang perempuan sulit mencari jodoh. usiaku yang nyaris kepala tiga, karirku yang sedang menanjak, dan orang tuaku yang terus menanyakan tentang pernikahanku. sementara...