PART 8 : PINANGAN

6.2K 333 10
                                    

hello...ada yang rindu aku?

atau cuma rindu Almira ama Fatih,,,,ah jangan-jangan rindu ama Mas Fandy

happy reading Guy...Cuss


***

Hampir tiga minggu berjalan, Fatih seperti tidak menanggapi omongan orang tuaku secara serius. Disatu sisi aku bersyukur dengan cara dia yang tidak berubah padaku, seolah tak pernah ada percakapan kearah sana. Namun ada seridikit goresan dihatiku, mungkin sebagai wanita yang telah rindu dengan sebuah pernikahan aku sedikit berharap padanya. Terlebih orang tuaku, mereka selalu menanyakan Fatih padaku. Aku diam saja, aku tak tau harus berkata apa. Haruskah aku berkata

'ma, pa, anakmu ini tidak cantik, tidak pintar, dan jauh dari kata soleha, lalu lihatlah Muhammad Al Fatih, dia memang bukan Khalifah dari zaman Utsmaniah yang menakhlukkan konstatinopel, tapi dengan wajahnya yang rupawan, otaknya yang genius, kesantunan dan kesholehannya yang tak perlulah diperdebatkan karena semua orang sudah tau, gadis mana dan calon mertua mana yang tak takhluk padanya. Semua yang ada padanya adalah idaman, sedang anakmu ini adalah guyonan'

Oh, tak akan sampai hati aku mengatakan itu, maka diam adalah jalan terbaik karena aku tak akan memberi harapan palsu kepada kedua orang tuaku.

Drrrttt....drrrtt...

Sebuah pesan singkat kuterima dari 'kak Rina istri Mas Fandy, dia memintaku menemuinya dirumah sakit. Aku berusaha menjauh, namun seperti ada benang penghubung diantara kami. Terakhir kali aku melihatnya seminggu yang lalu saat aku mendapat kabar bahwa dia telah sadar dari komanya. aku memutuskan untuk berhenti menemui anak-anaknya, aku bukan ibu mereka, bukan tante mereka, aku tak punya hubungan apapun dengan mereka, aku tak ingin kehadiranku merusak kebahagiaan mereka. namun bagaimanapun aku menjauh, selalu saja mereka menghubungiku. ini tak hanya menyakitiku, tapi kemudian hari akan menyakiti mereka juga, aku yakin itu. Kali ini aku akan membawa gunting, gunting yang sangat tajam. Akan kuputuskan segala ikatan antara kami.

***

Angin berhembus pelan menyapa hijabku yang menjuntai sampai ketengah perutku. Suara dedaunan yang saling bergesekan memecah kesunyian yang memenuhi hidupku. Kuhirup udara hingga memenuhi paru-paruku. Lalu perlahan kubuang dan kuhirup lagi begitu seterusnya.

Beberapa pasien hilir mudik ditaman rumah sakit, ada yang berjalan dengan keluarga atau rekannya, ada yang bertongkat atau berkursi roda bersama para perawat dan aku sendirian dibangku taman yang tempatnya sedikit terpencil dari yang lain. Seorang wanita kurus duduk dikursi roda maticnya menujuku. Aku berdiri menghampirinya, dan membawanya ketempatku semula.

"langit yang indah" begitulah mukadimahnya yang terdengar sakartis ditelingaku.

"langit yang ini yang mungkin tak akan pernah kulihat lagi" dia menengadah kelangit dan memejamkan matanya.

"kita tak akan pernah melihat cahaya saat terpejam" aku menimpali kalimatnya yang terdengar putus asa.

"bagiku, harapan juga cahaya. Selama aku punya harapan maka aku bisa melihat cahaya sekalipun terpejam" dia tersenyum kearahku, sudut matanya berair. Wajahnya yang putih kini sedikit kebiru-biruan.

"kamu tak akan menemukan cahaya diwajahku Al" aku mengerjap, tak nyaman karena kepergok mengamati wajahnya yang banyak berubah akibat penyakit yang dideritanya.

"kamu akan melihatnya saat kamu mau berbagi kesusahan bersamaku, cahaya itu akan bersinar Al, sekalipun aku terpejam dan tak membuka mata lagi"

"bicara apa kakak ini" aku berdiri tepat dihadapannya. Aku tau kearah mana pembicaraan ini akan kami lanjutkan. Aku tau dia akan memintaku menjadi istri dari suaminya. Dan aku juga memastikan kearah mana akan kubelokan pembicaraan ini. Aku telah mempersenjatai diriku dengan gunting untuk memutus ikatan ini, aku akan memotongnya tanpa menoleh air matanya. Itu satu-satunya cara agar tak ada lagi tangisan antara kami.

Bersemayam dalam Do'aTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang