Bab 3. SIKAP SEMENA-MENA

414 84 20
                                    

BAB 3. SIKAP SEMENA-MENA

Setelah keguguran, sikap sang suami sudah tidak lagi manis apalagi romantis, ia bahkan sudah sangat jarang disentuh dengan alasan percuma, tidak akan bisa menghasilkan buah hati. Terkadang ia tidur sendiri karena Yuda memilih untuk tidur di luar entah di mana. Ia tidak bisa berkutik dan tidak bisa melawan karena merasa tidak memiliki kekuatan apa-apa, selama ini ia selalu bergantung pada sang suami.

Hidupnya yang kurang kasih sayang dari orang tua membuatnya menyandarkan hidup pada Yuda—laki-laki pertama yang bisa memberinya rasa percaya, aman dan cinta. Hingga tanpa sadar ia membuat alam bawah sadarnya hanya membutuhkan kehadiran sang suami dan harus mematuhinya agar tidak ditinggal pergi sebagaimana sang ibu meninggalkannya untuk selama-lamanya. Hatinya yang rapuh dan haus kasih sayang membuatnya salah mempercayakan hidupnya pada laki-laki macam Yuda.

Ruang gerak Fera mendadak diperkecil, ia tidak diijinkan ke manapun, bahkan ponsel selalu dipantau dan berisi nomor kontak keluarga saja. Tidak ada satupun teman di sana. Gisel sang adik juga sedang sibuk sekolah hingga tidak ada waktu untuk menemani harinya yang sepi.

Rumah terkadang ramai, tapi ia tetap merasa sendirian. Hampa, jenuh, harus ia lewati demi bisa tetap bersama sang suami tercinta.

Malam itu setelah beberapa hari tidak pulang ke rumah, ia menunjukkan batang hidungnya. Fera dengan setianya langsung menyambut, mencium tangan, melepas sepatu, jas dan dasi. "Mas mau kopi atau mandi dulu?" tanyanya menawarkan.

Yuda melihat sekeliling rumah yang sepi. Fera gegas memberi jawaban tanpa diminta. "Mama dan Cicil sudah tidur di kamar masing-masing, Mas."

"Oh." Hanya itu jawabnya. Tanpa bertanya kabar sang istri ia lekas masuk ke dalam kamar. melepas pakaian dan mandi. Fera pun bergegas mengambil baju kotor, menaruh di ranjang dan menggantinya dengan pakaian baru yang bersih serta wangi. Tak lupa ia membuatkan kopi untuk sang suami. "Handuk!" seru Yuda. Dengan cekatan dan tak butuh waktu lama sang istri sudah memberikannya.

Ia keluar dengan wajah segar, menghirup aroma kopi membuatnya senang. Ia pun duduk di kursi dalam kamar, lalu meraih cangkir berisi kopi panas. Ia seruput sedikit demi sedikit. "Mau makan, Mas?" Ia menerima jawaban dengan gelengan kepala. "Mau dipijit?"

"Ya."

Mendengar jawaban itu saja ia senang bukan main, setidaknya sang suami masih merespon dirinya. Walah sejujurnya tubuhnya pun lelah ia tetap melayani suami dengan baik agar tidak pergi darinya. Ia memijat di atas ranjang, posisi Yuda berbaring, dipijit hingga tertidur membuat Fera senang. "Kamu tidak akan meninggalkan aku, kan, Mas?"

Paginya, saat Fera sibuk di dapur membuat sarapan, di ruang tengah justru terdengar ramai. Karena penasaran ia mendekat ingin tahu. Rupanya suaminya membeli hadiah untuk adik dan sang ibu, kedua wanita beda generasi itu terlihat bahagia. "Duh, anak Mama ini memang paling the best! Makasih ya sayang...."

"Cicil juga suka, makasih ya Kak...."

"Ya, buat kalian apa sih ya nggak... pokoknya selama kalian bahagia, suka, pasti akan Kakak turuti." Mereka bersorak gembira.

"Eh, Kak, istrimu nggak dibelikan?" bisik Cecil tapi masih terdengar oleh Fera yang tak jauh dari mereka.

"Halah, buat apa, nggak penting juga. Aku kerja buat kalian, bukan untuk Fera si istri mandul!"

Deg, hatinya sakit sekali mendengar itu. Ia menggigit bibir bawahnya, rasanya tak sanggup tapi rasa cinta dan takut kehilangan membuatnya tetap bertahan. Bodoh, biarlah, asal ia tetap ada tempat untuk pulang.

***

Gisel siang itu mendadak datang, dan kebetulan Yuda tengah libur kerja. Kehadiran Gisel membuat suasana menjadi hangat, sosok yang ceria dan cantik itu berhasil menyita perhatian seluruh keluarga. Ia bahkan membawakan kue mahal yang sangat enak, penampilannya juga anggun dan enak dipandang. "Kamu kok nggak kabari Kakak kalau mau datang?" tanya Fera yang akhirnya bisa duduk satu sofa lagi dengan keluarga.

"Iya, maaf ya, Kak. Aku mau kasih surprise aja sih, kan sudah lama tidak bertemu, aku minta maaf ya...."

Fera tersenyum lega. "Tidak apa-apa, kamukan baru masuk kuliah, pastilah sibukkan?"

Cecil langsung nimbrung. "Memang Kak Gisel kuliah di mana?" tanyanya.

Mereka pun mengobrol seru dan serius, sesekali adu pembicaraan juga dengan Yuda serta Yeni, sementara Fera kembali tersingkir. Ia menghela nafas dan memilih untuk ke dapur saja, membuat minuman dan cemilan agar mereka tidak bosan.

Canda tawa terdengar begitu akrab dan hangat berbeda sekali saat dengan dirinya. Lalu, apa salah pada dirinya, bukankah ia sudah menjadi menantu yang baik dan istri yang patuh?

Ia menghalau itu semua, ia harus tetap bersyukur dengan keadaan hidupnya. Ia percaya jika suatu saat mertuanya akan sayang dan sang suami akan kembali romantis.

Ia keluar lagi dengan membawa teko berisi es teh lemon dan kookies. Ia meletakkan di atas meja namun tidak menemukan adik dan suaminya. "Gisel dan Mas Yuda di mana, Mah?" tanyanya pada Yeni yang asik makan kue coklat mahal.

"Di teras, kenapa sih?" jawabnya jutek.

"Oh, tidak, hanya mau memberikan es nya saja."

"Nanti juga masuk lagi. Udah jangan diganggu."

Kening Fera mengkerut. "Kenapa tidak boleh diganggu, Mah?"

"Mereka lagi bicara bisnis, kamu inikan bodoh, jadi tahu apa?"

Istri Yuda meneguk ludah susah payah. Ia menghela nafas dan tetap menurut untuk tidak mengganggu sang adik serta suaminya. Ia menunggu di ruang dapur karena di usir untuk tidak duduk di ruang tengah bersama mereka. Sungguh, ia merasa hidupnya semakin hancur dan hampa saja. Ia menatap perutnya yang tak kunjung terisi, tapi, itu hanya khayalan sebab dirinya di vonis mandul. Air mata jatuh dan lekas ia usap.

Suara suami dan Gisel sang adik terdengar, ia pun gegas mendatanginya. "Kalian habis bahas apa sih, kok lama banget, Kakak kan masih ingin ngobrol sama kamu Gisel?" Ia merajuk.

Gisel pun lekas memeluk pinggang Fera. "Ini soal bisnis, Kak. Aku mau belajar banyak dengan Kak Yuda, sepertinya aku akan sering ke sini, karena jurusan yang aku ambil adalah bisnis, Kakak tidak keberatan, kan?"

Fera tersenyum. "Tentu tidak, aku akan sangat senang jika kamu sering datang ke sini."

Sang adik lekas memeluknya dengan erat. "Kamu adalah Kakak terbaik untukku, terima kasih selalu mendukungku, Kak."

"Sama-sama sayang."

Usai berbincang singkat, Gisel pun pamit pulang. "Kamu naik apa ke sini?" tanya Yuda.

Gisel menoleh. "Naik taksi, Kak."

"Oh, kalau begitu biar Kakak antar pulang ya."

"Ah, jangan nanti merepotkan, Kak."

"Tentu saja tidak. Ayo, di luar nampaknya sudah mendung."

Gisel nampak tidak enak, namun, dorongan dari tangan Fera membuatnya menurut. "Baiklah, terima kasih ya, Kak." Ia pun pamit pada Yeni dan Cecil.

Ditemani Fera ke halaman depan, ia menyaksikan Gesil memasuki mobil bagian depan, dan disusul Yuda di sisi kemudi. Mereka pun pergi setelah melambaikan tangan. 

BALAS DENDAM SANG ISTRITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang