BAB 11. PENGAJUAN CERAI.
"Kamu itu nggak sesuai dengan ucapanmu, Kak. Katanya nggak cinta, nggak suka, tapi kenapa masih bercumbu di ranjang?!" sentak Gisel saat ia datang ke rumah pagi hari—seperti biasa. Yuda langsung menarik lengan sang kekasih gelap ke arah teras, ia duduk di kursi kayu. "Apa, kamu mau alesan apa, hah?!" semprotnya tak terima.
"Gisel, jangan salah paham dulu, itu semua tidak seperti yang kamu kira loh, aku Cuma khilaf aja kok. Nggak ada cinta juga." Ia mulai panik, wajahnya pucat karena takut Gisel meninggalkan dirinya. Bagaimanapun wanita yang ia cintai itu memang adik dari sang istri.
"Halah, kamu itu penipu, pembohong, percuma dong aku kasih badanku kalau kamu masih pakai istrimu juga. Rugi dong di aku kalau begitu, katanya aku satu-satunya nyatanya apa?" Adik Fera itu hendak bangun tapi ditahan oleh Yuda.
"Jangan pergi sayang, dengarkan Kakak dulu, Kakak berani sumpah kalau semalam itu hanya khilaf semata saja, kan, beberapa hari kamu nggak kasih jatah jadi ya gimana dong, namanya juga laki-laki di kasih daging ya mau apalagi kondisi lapar."
Mata Gisel melotot dan langsung menampar Yuda. "Brengsek kamu ya, seenaknya kamu minta dimengerti dan menjelaskan tentang laki-laki haus daging. Bodoh kamu itu, Kak. Aku benci sama kamu, percuma aku suka sama kamu kalau ujung-ujungnya tetap tidak dihargai sama kamu." Ia mendorong tubuh pria itu hingga mundur beberapa langkah lalu ia gegas pergi, Yuda dengan cepat berlari mengejar dan menangkap tangannya. Tapi, Gisel yang sudah sangat marah langsung mendorong bahkan menendangnya lagi. "Najis aku ketemu kamu lagi, aku benci kamu, Kak!"
Laki-laki tak tahu malu itu langsung merangkak ke kaki Gisel dan memeluknya erat. "Sayang, tolong jangan seperti ini, aku mohon, wanita yang aku cintai hanya kamu sayang, aku bersumpah."
"Mana mungkin aku bisa percaya ucapanmu itu, Kak."
"Apapun akan aku lakukan agar kamu percaya, ya, bagaimana?"
Gisel nampak diam, seolah berpikir kira-kira rencana apa yang bagus untuk membuktikan tentang cinta pria beristri itu. "Benar?" Ia mencoba meyakinkan diri.
Yuda mengangguk cepat. "Ya, benar, janji."
Gisel tersenyum lebar lalu berusaha mengangkat tubuh itu untuk berdiri, kini mereka sejajar kembali. "Oke, kalau gitu kita umumkan status kita pada Kak Fera, aku ingin tahu bagaimana reaksinya, hehehe."
Yuda melongo. "Kamu yakin?"
"Ya."
"Bagaimana?"
"Di kamar, aku mau nanti malam bercumbu di kamarmu, dan aku ingin melihat reaksi Fera, aku yakin ia pasti akan menangis darah melihat hal itu. Aku sangat benci saat melihatnya bisa lebih bahagia dari aku, tidak boleh, pokoknya tidak ada yang boleh membuatnya bahagia, hanya aku dan harus aku. Kamu pahamkan, Kak!" Dengan cepat pria tak berguna itu mengangguk. Fera tersenyum lebar lalu terkekeh bagai sinema horror.
***
Satu perhiasan yang masih melekat ditubuhnya adalah sepasang anting kecil. Ia lepas perhiasan itu dan memegangnya erat. Ia tatap lekat-lekat. "Kamu adalah senjata pertamaku, tolong, bantu aku untuk lepas dari penjara neraka itu." Ia dekatkan benda mengkilap tersebut lalu dikecupnya. Ia berjalan lurus menuju toko perhiasan yang terletak di tengah pasar tradisional. Entah berapa yang ia dapat, setidaknya bisa ia pakai untuk mengajukan perceraian di pengadilan.
Ia sudah benar-benar muak hidup dalam keluarga yang tidak memberinya cinta kasih, hanya sebuah penyiksakan lahir dan batin. Ia melangkah dengan mantap lalu memasuki toko dan menawarkan cincin mungilnya. Setidaknya ia harus memiliki sedikit pegangan agar tidak seperti orang bodoh.
Padahal saat ia bertemu sang ayah untuk bisa mendapatkan sedikit saja simpati dan mendapat dana walau tak seberapa, rupanya yang ia memang tidak boleh berharap pada siapapun. Ia mendapatkan pelayanan yang kurang enak, sedikit sinis mungkin karena barangnya yang kecil. Ia diberikan empat ratus ribu untuk sepasang anting tersebut. Walau begitu, ia sudah sangat bersyukur.
Ia mengucap kata terima kasih berkali-kali sampai pemilik merasa heran. Fera gegas pergi ke kantor pengadilan, ia memberikan berkas-berkas yang dibutuhkan dan juga berbagai macam bukti seperti perselingkuhan, pemukulan sampai ada bekas lebam yang memang sengaja ia foto dan simpan. Dan masih banyak lainnya.
Berkasnya diterima dan akan dihubungi kembali.
Begini saja ia sudah bisa melangkah dengan tenang, setidaknya ia sudah berani bertindak. Kini, ia harus rajin bekerja, belajar lebih giat lagi dan mengumpulkan uang untuk bisa membalas dendam.
***
Fera mulai melaksanakan aktifitas pekerjaan yang sesungguhnya, yaitu menawarkan dagangan ke konsumen di lapangan. Ia mendatangi toko-toko dan menjelaskan produk baru dari perusahaan mereka. Ia nampak ceria, semangat dan sopan dalam menjelaskan setiap detail produk. "Kamu sales baru ya?" tanya seorang bapak pemilik toko.
Dengan cepat ia tersenyum ramah. "Benar, Pak. Nama saya Fera. Bapak sudah biasakah bekerja sama dengan perusahaan kami?"
"Ya, lumayan, yang di dalam toko itu kebanyakan dari kantormu."
Fera melongok ke dalam dan mengangguk. "Oh ya benar, wah, pas sekali ya, Pak. Karena Bapak adalah langganan kantor kami, tentu dengan pembelian barang baru akan ada banyak diskon, Pak."
"Loh, yang benar?"
"Benar, Pak. Masa saya bohong, nanti saya di pecat dong, hehehe."
"Wah, boleh-boleh, coba jelaskan diskonnya apa saja."
Fera pun menjelaskan dengan semangat dan si pemilik toko pun tergiur, ia memesan beberapa krat langsung. Sampai barang yang Fera bawa kurang. "Wah, kurang nih, Pak. Besok kami antar sisanya ya, Pak."
"Boleh-boleh."
"Nanti kalau laku dan habis, langsung hubungi ke nomor saya ya, biar langsung diantarkan."
"Wah, mantap, baik-baik."
Mereka pun transaksi lalu barang dimasukkan ke dalam toko, sisanya diantarkan besok.
Hari itu Fera langsung bisa cetak bonus karena target harian terpenuhi bahkan lebih.
Seperti yang Irma katakana, jika karyawan mendapatkan target lebih maka ia akan dapat apresiasi dari sang atasan—Pak David. Beberapa sales lain yang mencapai target di kumpulkan dalam satu ruangan, tak lama yang ditunggu datang.
Jujur saja, Fera sudah tak sabar untuk dapat bonus tersebut. Karena ia benar-benar butuh uang. Pria tampan dengan wajah dingin itu memasuki ruangan, semuanya langsung tersenyum lebar karena tahu akan dapat intensif lebih.
Laki-laki berjas tersebut duduk dan memperhatikan setiap sales yang hadir lalu agak sedikit terkejut begitu melihat Fera—yang anak baru—sudah dapat bonus harian. "Kamu sales barukan?" tanyanya.
Sontak saja Fera langsung mengangguk dengan kaku karena tak sangka ia yang akan ditanya lebih dulu oleh David. "Ya, Pak."
"Hebat juga kamu langsung mencapai target di hari pertama kerja."
Fera tersenyum malu. "Terima kasih, Pak."
David mengerutkan kening. "Kamu tidak pakai cara curangkan?"
Deg. Jantung Fera berdebar kencang, rasa takut dan kesal menjadi satu. Bagaimana bisa ia mencuriga dirinya begitu, tidak sopan. "Tidak, Pak, saya jujur. Kalau Bapak tidak percaya saya ada nomor telepon toko yang memborong dagangan saya."
David mengibaskan tangannya. "Tidak perlu, saya bercanda saja."
Apa? Hal sensitive seperti itu dibilang bercanda, wah, dasar bos gila!
![](https://img.wattpad.com/cover/373851169-288-k972916.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
BALAS DENDAM SANG ISTRI
RomanceFera tersenyum tipis lalu bangun dari duduknya, menyemprotkan parfum mahal yang jarang sekali ia pakai karena kata Yuda itu pemborosan. "Loh, kamu kok pakai parfum, sih? Mau ke mana, kalau nggak pergi nggak usah pakai begitu, boros banget. Parfum it...