Bab 13. HADIAH UNTUK YUDA

355 91 15
                                    

BAB 13. HADIAH UNTUK YUDA

Yuda masuk kembali ke dalam rumah dengan wajah merah seperti kepiting rebus, rasa malu benar-benar menguasai dirinya sekarang. Bagaimana tidak, yang ia kira Fera masih mencintainya rupanya bersikap datar saat memergoki dirinya bercinta dengan adik ipar. Bukankah seharusnya sang istri marah, menangis, dan memohon-mohon untuk tidak melakukan hal tersebut?

Bahkan kini, Fera masih melanjutkan memakan nasi goreng yang tertunda. Apakah ia memasak lagi tadi saat dirinya ke depan mengejar sang kekasih gelap? Ah, sungguh gila.

"Fera!" panggilnya dengan intonasi tinggi. Wanita itu hanya melirik dengan mulut tetap mengunyah. "Kamu tidak mencintaiku ya?" terkanya.

"Ya," jawab sang istri santai lalu tertawa begitu melihat adegan lucu dalam film yang ia tonton. Melihat itu harga dirinya sebagai seorang suami benar-benar terkoyak, ia yang begitu sombong dan angkuh karena mengira sang istri mengiba dan mengemis cinta padanya, rupanya itu semua hanya omong kosong, dirinya ditipu mentah-mentah oleh wajah polos itu, rupanya ia iblis!

Yuda yang dikuasai nafsu emosi langsung mendekat dan menarik lengan Fera begitu saja mengakibatkan piring yang dipegang jatuh dan pecah lagi. Lantai nampak kotor berserakan pecahan piring serta sisa sedikit nasi goreng. "Ikut aku!" Wanita itu sulit menolak karena cengkraman yang begitu kuat. Ia di bawa ke dalam kamar, di dorongnya tubuh yang lebih kecil dari pria tersebut hingga telungkup di atas ranjang.

Setan yang sudah mengusai jiwanya berusaha untuk menodai sang istri dengan cara bejat. Fera gegas bangun dan menghindar dari terjangan. "Jangan gila kamu, Mas!" serunya.

Kaki Fera berhasil ditangkap dan mereka saling tarik menarik. "Kau kira kau bisa melawanku, bagaimanapun aku adalah laki-laki yang tentu memiliki kekuatan lebih kuat darimu. Jangan berani-beraninya kau padaku ya, benar-benar wanita tidak tahu diuntung." Ia terus menarik sekuat tenaga sampai tubuh itu lolos dan mendapatkan satu tamparan keras. "Kau harus melayaniku, tapi bukan sebagai istri melainkan sebagai pe***r. ha-ha-ha." Ia tertawa dengan sangat mengerikan.

Fera tak tinggal diam, ia terus berontak dan menendang milik sang suami yang berharga sontak pria itu teriak histeris lalu melepaskan cengkraman kakinya. "GOBLOK!!!" teriaknya kesakitan. "KURANG AJAR KAU FERA!!!" Ia terus berteriak kesakitan sementara sang istri langsung melesat turun dan kabur dari rumah. Tak lupa ia membawa satu tas berisi dokumen penting dan harta benda yang ia miliki—walau tak seberapa tapi sangat berharga baginya.

Ia memang sudah menyiapkan itu jauh-jauh hari sebab niatnya untuk cerai sudah sangat bulat. Ditambah kejadian yang sangat menjijikan membuatnya semakin yakin 100 persen untuk segera terbebas dari neraka gila itu.

Yuda masih mengerang kesakitan tapi berusaha untuk mengejar, namun, ia gagal karena Fera sudah menaiki taksi yang kebetulan lewat depan rumahnya. "BRENGSEK KAU FERA!"

***

Uang bonus yang ia dapatkan dari hasil pencapaian target ia gunakan untuk menyewa satu kamar kos kecil yang sedikit kumuh. Benar, tempat itu sangat kecil, bahkan dindingnya bukan batu bata melainkan teriplek yang dicat menyerupai dinding beton. Ia menyandarkan tubuh di kamar mini itu dengan nafas tersengal-sengal. Sehebat apapun ia berencana tentu saja saat eksekusi ada rasa takut yang luar biasa.

Malam semakin larut dan dirinya pun tertidur karena kelelahan.

Hingga pagi menjelang ia membuka mata, tubuhnya terasa sakit karena tidur beralaskan karpet seadanya tanpa bantal dan selimut. Ia menghela nafas, walau begitu dirinya tetap bersyukur bisa bebas dari neraka tersebut. Ia gegas ke kamar mandi yang berada di luar—kamar mandi bersama—ia tidak merasa jijik sama sekali justru nampak lebih semangat karena banyak orang yang akan ia kenal nanti. Ia pun menyapa beberapa ibu-ibu yang sudah sibuk dengan aktifitasnya. "Anak kos baru?" tanyanya.

"Ya, Bu, saya Fera."

"Oh, semoga betah ya, maaf kalau di sini agak berisik." Fera tersenyum dan mengangguk saja ia tak sangka ibu itu begitu baik dan ramah padanya. Usai mandi ia gegas bersiap ke kantor, seragam dan keperluan pekerjaan memang sudah ia siapkan dalam satu tas itu. Ia keluar dank unci pintu lalu berjalan santai karena waktu masih lama. Ia sengaja berangkat pagi untuk menghirup udara segar.

Sepanjang jalan banyak orang lalu lalang, entah naik motor atau berjalan kaki seperti dirinya. Gang-gang di sana begitu sempit hanya muat dua orang dan satu motor saja. Mobil tidak akan bisa masuk ke dalam komplek ini. Walau begitu susunan rumahnya termasuk rapih.

Ia tak sangka akan hidup membaur dengan warga seperti ini, ternyata tidak buruk juga. Ia beberapa kali menyapa dan memperkenalkan diri agar mudah bergaul. Hingga sampai di depan jalan raya untuk menunggu angkutan umum.

Saat kondisi Fera baik-baik saja justru sebaliknya dengan Gisel dan Yuda.

Mereka sangat kesal sekaligus malu. Dendam dan rasa benci Gisel pada Fera semakin menjadi-jadi, ia bahkan kini menyesal karena telah memperalat Yuda—yang ia kira dicintai oleh Fera—rupanya tidak seperti itu. Ia melirik pria yang sudah ia jadikan budak. "Ke mana Fera pergi?" tanyanya dalam mobil menuju kampus. Ya, wanita itu masih meminta kekasih gelapnya mengantarnya ke kampus.

"Pergi," jawabnya lesu. Rasa ngilu itu masih terasa walau tak separah semalam.

"Ke mana?"

"Aku tidak tahu."

Mendengar jawaban yang sangat pasrah membuat Gisel kesal bukan main. Ia pukuli tubuh bagian atas sang pria sampai mobil agak oleng. "Gisel, kau gila ya, kita bisa kecelakaan nanti!"

"Aku nggak peduli, toh yang akan disalahkan tetap kamu bukan aku."

"Kamu kenapa sih?"

"Kamu masih nanya kenapa, bodoh banget sih!" umpatnya. "Aku begini karena kesal, katamu Fera mencintaimu, sampai mengemis, tapi mana, kita melakukan di depannya saja ia tidak marah sedikitpun seolah biasa. Sungguh sekarang aku yang malu tahu!" semprotnya.

Yuda mengusap wajahnya. "Aku juga sama, aku terkejut melihat ekspresinya yang datar. Aku juga tertipu oleh sikapnya yang patuh, lugu dan menuruti semua keinginanku tanpa melawan. Aku kira ia mencintaiku, rupanya tidak." Ada sebersit rasa kesal di sana dan itu tertangkap oleh netra Gisel. Ia memukuli tubuh Yuda kembali membuat mobil kembali oleng. "Ya ampun, Gisel, aku masih mau hidup!"

"Aku benci sekali denganmu, Kak. Kamu payah, kamu bodoh, kamu tolol dan juga brengsek." Mobil berhenti karena sudah sampai di depan kampus, Fera membuka pintu dan hendak turun tapi sebelum itu ia berucap. "Kita putus, kau sudah tidak berguna lagi untukku."

Brak—pintu mobil ditutup begitu saja.

Yuda melongo dan agak loading guna mencerna kalimat putus terakhir. Sampai akhirnya ia melotot dan ketakutan. "Gisel, aku tidak mau putus!!!" teriaknya yang langsung keluar mobil tapi sosok kekasihnya sudah tidak ada lagi. "GISEL!!!"

****

Di kantor, Yuda mendapatkan omelan karena salah mengerjakan laporan sebab ia tak fokus. Diputuskan oleh Gisel membuatnya sedikit gila. Ia tak sangka setelah pengorbananya yang begitu besar tidak dihargai sama sekali oleh sang kekasih hati. Ia benar-benar lesu sekarang.

Saat siang, setelah perutnya diisi, ia bersandar pada kursi empuknya, kedua mata terpejam. Dan baru saja menemukan ketenangannya ia mendapatkan sebuah surat. "Dari siapa?" tanyanya pada Ob yang mengantar.

"Maaf, saya kurang tahu, Pak. Hanya diminta antar saja."

"Ya sudah sana." Ob itu pamit dan kini Yuda memperhatikan surat tersebut. Ia perhatikan dengan seksama dan langsung sadar apa itu. "Surat panggilan sidang?"

Deg, Yuda hampir berhenti bernafas. "Fera tidak main-main soal perceraian?"

Ia lemas tak berdaya, harta karunnya akan pergi meninggalkan dirinya... mampus! 

BALAS DENDAM SANG ISTRITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang