Bab 20. DAVID KEMBALI

413 99 18
                                    

BAB 20. DAVID KEMBALI

"Gila ya, bisa-bisanya di restorant ini ketemu sama cewek nggak jelas itu. Akhirnya malah jadi kacau semua. Susah payah aku coba untuk bertemu dengan David, tapi akhirnya malah seperti ini. Kacau balau hanya karena seorang Fera, kenapa sih dia itu selalu membuat hidupku tidak tenang. Kurang ya kita sakiti hampir setiap hari, kok nggak ada kapok-kapoknya sih. Bagaimana sih caranya agar Fera itu tidak mengganggu hidupku lagi. Apa harus mati dulu?" Seketika langkah kakinya terhenti saat bibirnya mengucap hal tersebut. "Oh, mati ya, apa dengan cara itu dia menghilang selamanya dari hidupku. Hahaha, sepertinya memang begitu sih, bagaimana ya agar dia mati dan aku tidak tertangkap?" Ia nampak riang dengan pemikiran paling buruk yang ia miliki.

Ia menaiki mobil miliknya yang telah datang untuk menjemput. Ya, dirinya memang sempat meminta sang supir agar pergi saja, lalu dirinya diantarkan pulang oleh sang calon suami. Tapi, karena gagal, akhirnya ia terpaksa memanggil supirnya kembali. Ia menaiki kendaraan mewah itu layaknya seorang putri. Lalu duduk manis sembari memikirkan hal picik dan jahat lagi.

Sementara itu Fera harus mengeringkan pakaiannya dan mengenakan kaos lain. Ia merasa malu diperlakukan demikian di depan David, dan bagaimana bisa laki-laki dingin itu berkencan dengan saudari tirinya? Ternyata seleranya sangat rendah....

Ia menggerutu di tempat ganti karyawan. Sampai ada yang masuk—seorang perempuan. "Fer, ada yang cari lo tuh."

Ia menoleh heran, Fera menunjuk dirinya sendiri. "Aku, siapa?" tanyanya keheranan. Apa jangan-jangan Gisel lagi, duh, repot deh. "Cewek ya?"

"Bukan, sudah sana temui dulu dan cepatlah karena pekerjaan sangat banyak."

Ia segera mengangguk. "Baik, Kak." Sang pegawai senior itu lekas pergi dari sana. Fera pun tidak membuang waktu lagi, ia gegas menyusul dan langsung mengarah ke depan—tempat di mana tamu yang mencarinya berada. Ada rasa penasaran, ia takut Gisel, tapi katanya bukan perempuan, atau jangan-jangan Yuda—suaminya. Tapi, itu lebih tidak mungkin lagi. Eh, tapi kalau Gisel mengadu bagaimana, kan suaminya budak cinta dengan Gisel itu.

Sudahlah, ia tidak mau menduga-duga dan saat ia hampir sampai, ia bisa melihat sosok pria memunggungi dirinya. Tanpa bertanya ia bisa mengenalinya. "Pak David?" panggilnya ragu. Pria itu menoleh dan langsung menganggukkan kepalanya sedikit. Fera mendekat. "Kenapa Bapak kembali dan menemui saya?" tanyanya heran.

"Duduklah." Bos Fera itu memintanya untuk duduk, benar, jika mengobrol memang tidak pantas kalau berdiri. Ia pun menurut dan untuk beberapat saat suasana mendadak hening dan canggung lalu pria dingin itu memberikan sebuah paperbag berwarna putih bertuliskan Zara. "Ambilah, ganti pakai itu."

Fera menatap heran dan dengan ragu meraih paperbag tersebut. "Ini untuk apa, Pak?" Ia benar-benar tidak mengerti.

"Teman saya tadi mengacaukan suasana, bahkan menyiram tubuhmu dengan jus jeruk. Pastilah tidak nyaman untuk dipakai. Sebagai teman saya merasa perlu bertanggung jawab atas tindakannya yang ceroboh. Ambil, dan pakailah, itu sebagai permintaan maaf saya."

Fera meneguk ludah. "Itu bukan salah, Bapak. Jadi tidak perlu sampai repot-repot menggantinya." Ingin sekali ia berkata jika Gisel adalah adik tirinya tapi tidak perlulah, akan dianggap apa dirinya nanti. Padahal jika ingin balas dendam bisa saja ia mengatakan hal buruk tentang Gisel. Tapi, caranya balas dendam bukan dengan cara murah.

"Saya kenal kamu, kinerjamu bagus, tapi karena keegoisan satu orang kau jadi dirugikan dan saya tidak suka hal itu. Jadi, terima dan pakailah untuk mengganti pakaian yang kotor." Ia nampak hendak berdiri tapi kembali diurungkan. "Oh, kenapa kamu kerja di sini?"

Fera melongo ditanya hal yang tidak terduga. Rupanya David orang yang penasaran juga. "Ehm, ya karena butuh uang, Pak. Memang apa lagi?" Ia mencoba jujur apa adanya.

David menatap dirinya dan itu membuat sang wanita agak risih. "Lalu bagaimana dengan pekerjaanmu di kantor?" setelah sekian lama diam akhirnya ia bertanya juga.

Fera menghela nafas, jujur ia malas harus menjelaskan tentang pribadinya, tapi rasanya tidak pantas jika tidak menjawab. "Saya tetap bekerja di kantor, di restorant hanya part time, karena sabtu minggu sibuk jadi butuh tambahan karyawan. Nah, salah satunya saya."

David menganggukkan kepalanya. "Cukup?"

Fera mengangkat alisnya. "Maksudnya?"

"Gajimu cukup?"

Sontak ia terdiam, dibilang cukup tentu tidak. Gaji sales juga tidak seberapa, tapi tetap ia syukuri setidaknya bisa untuk bayar kosan dan makan. "Ya, cukup."

"Lebih?"

Gegas ia menggeleng. "Tidak ada lebih. Hanya cukup."

David menarik sedikit sudut bibirnya hingga membentuk sebuah senyum super tipis. "Saya suka kamu jujur. Dan saya salut kamu bekerja keras demi hidup," ungkapnya. "Kamu tinggal sendirikah?" Fera mengangguk cepat. "Pantas, di mana orang tuamu?"

Mendengar itu Fera menghela nafas. "Tidak perlu sampai sana pembahasan kita, Pak. Saya kurang nyaman, maaf." Ia benar-benar tidak mau membahas tentang keluarganya.

"Oh, maaf, nampaknya saya terlalu ikut campur." Mereka menjadi agak canggung. "Kalau begitu saya permisi, silahkan lanjutkan pekerjaanmu." Fera mengangguk saja. David pergi tanpa berkata-kata lagi.

***

David melihat dokumen di tangannya, ia menghela nafas panjang. "Kenapa kalian tidak jujur padaku?" gumamnya. Ia letakkan kembali berkas tersebut dan menuju ruang tidurnya.

Kamar yang bernuansa dark itu tertata sempurna. Suasananya benar-benar menggambarkan bagaimana sikap seorang David. Dingin dan angkuh. Ia mendaratkan bokongnya di sisi ranjang, meraih ponsel pintarnya yang berwarna hitam pekat. Mengaktifkan dan melihat sesuatu lalu kembali diletakkan dan mulai merebahkan diri.

Baru saja hendak memejamkan mata ia mendengar dering gawai mahalnya. Ia pun dengan malas meraih dan mengangkatnya. [Kak, ini aku, Gisel. Maaf atas kejadian tadi, tapi itukan bukan salahku, Kak.]

David menarik tubuhnya dan duduk, ia menghela nafas dua kali sebelum akhirnya menjawab. "Ini sudah malam, tidak sopan mengganggu waktu istirahat."

[Tapi, aku tidak bisa tidur karena memikirkan hal itu, maafkan aku ya, Kak?] Ia memohon.

Tapi David tidak peduli sama sekali, toh yang seharusnya menerima permintaan maaf itu Fera bukan dirinya. "Katakan itu pada Fera, bukan padaku." Ia lekas matikan sambungan dan lanjut tidur.

Tapi seketika dua kelopak matanya terbuka dan langsung menelpon kembali Gisel. [Kakak... ada apa?] Ia nampak ceria dan bahagia. Karena laki-laki pujaannya menghubungi dirinya kembali, ia yakin jika David pasti merasa bersalah dan takut kehilangan dirinya. Gisel sudah berada di atas awan.

"Hari senin, minta maaflah pada Fera di kantor. Atau kita tidak perlu bertemu lagi." Sambungan diputus kembali sebelum sempat Gisel menjawab dan merajuk.

Tentu saja di kamar gadis itu mengamuk dan memecahkan beberapa barang di kamarnya. Kamar yang dulu adalah milik Fera, semua benda yang ada di sana adalah milik Fera Anastasya. Ia merebut semuanya, kamarnya, rumahnya, ayahnya, hartanya. Tapi kenapa Fera tetap saja merusak kebahagiaannya?

BALAS DENDAM SANG ISTRITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang