BAB 7. KANTOR
Mereka sudah sampai di kampus. Gisel pun turun begitu pula dengan Yuda membuat sang istri keheranan. Dan tidak seperti biasanya sang adik tidak ada basa-basi padanya seolah sudah terlanjur kesal sampai tidak bisa berpura-pura baik lagi. Ia pun akhirnya ikut turun tanpa diminta dan mengekori keduanya.
Sampai setengah perjalanan Yuda sadar akan kehadiran Fera, ia menoleh dan menghentikan perjalanannya. "Kamu ngapain ikut segala sih?" tegurnya. Gisel pun turut menoleh dan memutar bola matanya.
"Loh, memang kenapa, kan kalian turun masa aku di dalam mobil saja?" jawabnya secara logis.
"Tapi, tidak ada yang ajak Kakak ikutkan?" Gisel yang sedari awal bungkam akhirnya berani berkomentar.
"Memang kenapa, toh aku tidak mengganggu kalian?" Ia mereka nampak kesal tapi Gisel seperti diburu waktu.
"Sudahlah, Kak, ayo buruan waktunya tidak banyak." Ia menarik lengan suami sang kakak tanpa canggung apa lagi risih. Seolah hal itu sudah terbiasa bahkan beberapa teman yang dijumpai melambai dengan senyum menggoda.
Fera memperhatikan sikap keduanya yang seolah ingin menunjukkan ada hubungan istimewa diantara keduanya, ia tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Gisel semakin erat memeluk lengan suami sang kakak dan tidak lagi perlu berpura-pura, mungkin karena ia ingin balas dendam soal kejadian di dalam mobil tadi. Fera hanya terkekeh, seolah dirinya akan cemburu, oh tentu tidak, ia justru mual melihatnya.
Gisel melirik heran pasalnya sang kakak tidak menunjukkan tanda-tanda cemburu atau apapun, apakah logis jika seorang istri diam saja melihat suaminya berjalan mesra dengan wanita lain walau itu adiknya sekalipun?
Melihat hal itu gagal ia pun melepaskan kembali pelukannya membuat Yuda agak heran tapi cuek saja.
Hingga mereka tiba di ruang administrasi dan pihak kampus menjelaskan apa yang harus dibayarkan dan yang belum dibayarkan. Semuanya langsung dilunasi oleh Yuda—yang bahkan mengatakan pada sang istri bahwa dirinya sedang kesulitan uang—dan kini, di depan matanya sendiri ia mentransfer sejumlah uang untuk biaya kuliah Gisel—yang hanya adik ipar bukan kandung. Sungguh drama yang indah bukan?
Fera benar-benar dianggap bodoh sekarang.
"Sudah selesaikan, lain kali bilang secepatnya ya." Gisel mengangguk dan mengucap terima kasih sembari tersenyum manja. Yuda mengusap rambut sang adik ipar dengan mesra nya. "Kakak pergi dulu karena harus ke kantor."
"Ya, Kak. Terima kasih sekali lagi." Yuda mengangguk saja. Fera hanya memperhatikan mereka sembari geleng-geleng kepala.
"Kalian sudah selesai?" tanyanya tanpa menunjukkan rasa cemburu sama sekali.
"Ya sudah, ayo." Mereka pun pergi dan Fera langsung menggandeng lengan Yuda, walau nampak di tampik tapi sang istri tidak menyerah membuat pria itu mengabaikan saja.
Tapi tidak dengan Gisel yang cemburu. Ia menggertakkan giginya. "Kenapa Kak Fera tidak cemburu dan tidak bertanya apa-apa tentang kami, padahal jelas sekali aku menunjukkan kemesraan, apa dia sudah benar-benar bodoh selama menjadi seorang istri? Ya ampun... kalau tahu begitu kenapa aku harus bersembunyi untuk bertemu dengan kekasihku?"
***
Tiba di kantor, Yuda langsung meminta HRD untuk memberikan pekerjaan pada sang istri. "Kau yakin memberikan pekerjaan ini pada istrimu?" tanyanya heran.
"Ya, memang kenapa?"
"Tapi, inikan pekerjaan Sales lapangan. Yang harus bawa dagangan dan menawarkan ke konsumen?"
"Ya, bagus dong, biar tahu susahnya cari uang, sudah dikasih enak di rumah malah minta kerja. Nyusahin aja."
Mendengar itu sahabatnya hanya menghela nafas, ia tahu persis watak Yuda yang memang sombong, dan egois. "Terserah kau saja." Ia pun menerima Fera untuk bekerja sebagai seles. Ia pun di panggil dan diwawancarai sebagaimana mestinya. Sementara Yuda sudah pamit untuk kembali ke ruang kerjanya.
"Jangan sok mengenalku di sini, mereka tahu aku menikah tapi tidak tahu seperti apa rupa istriku. Jadi, jangan sampai kau bicara macam-macam hanya untuk mencari tameng agar bekerja dengan nyaman, aku ingin mendidikmu menjadi pekerja yang bertanggung jawab dan tahu lelahnya mencari uang. Paham." Fera hanya mengangguk dengan pesan dari sang suami.
Toh, ia juga tidak butuh validasi.
Ia mulai bekerja hari itu juga, walau sejujurnya ia belum siap karena rencananya adalah untuk mendaftar perceraian di Pengadilan Agama. Tapi, tidak apa-apa, anggap saja ini permulaan baginya untuk bangkit dan bisa melawan sang suami. Serta merebut miliknya kembali dari sang adik—Gisel.
Ia harus menunjukkan siapa dirinya sebenarnya, ia adalah Fera Anastasya, anak dari Gunardi yang kaya raya, mana boleh dirinya dihina seperti ini dan dirampas hartanya. Cukup sudah sifat bodohnya, dan ia harus bisa membuka mata sang ayah yang selalu tunduk pada Heni—sang ibu tiri. Gisel, ia juga harus dibongkar sikap busuknya.
"Hey, kenapa pegawai baru justru melamun, apa kau kira bekerja di sini terlalu mudah, begitu? Atau kau kira jika pegawai baru bisa dimanja oleh seniormu?" ejek rekan wanita dengan name tag bertuliskan 'Rima'.
Dengan cepat ia menundukkan kepala dua kali. "Maafkan saya, Kak. Saya sedang mengagumi pekerjaan kalian, ini kali pertama saya menginjak ruang kantor sungguhan, bukan dalam sinetron," jawabnya polos sembari nyengir kuda.
Mendengar itu beberapa karyawan lain langsung tertawa akan kepolosan Fera. Ia pun di usap pundaknya oleh Rima. "Bekerjalah dengan baik, dan kalau bisa jangan terlalu meladeni laki-laki genit, oke."
Dengan cepat Fera mengangguk. "Baik, Kak. Mohon bimbingannya...." Ia membungkukkan tubuhnya seperti hormat orang Jepang. Kembali mereka dibuat tertawa dengan sikap Fera yang lucu. Ia pun akhirnya diterima dengan baik di bagian Sales Marketing, ia diajarkan tentang produk apa saja yang akan dijual di pasaran, bagaimana cara menjelaskan produk dan lainnya. bagaimana sikap menawarkan dan menolak ajakan kurang sopan. Ia juga diberikan seragam khusus untuk sales lapangan, berupa kaos ketat berwarna hitam pada kerah dan lengan, sisanya berwarna merah.
"Ini memang harus ketat ya, Kak?"
"Ya, kan kalian ini sales, jadi harus menarik perhatian orang, kalau sudah menarik, mereka akan bertanya dan itu adalah kesempatan kalian untuk menargetkan orang-orang tersebut agar mau membeli dagangan kalian, paham?" Fera mengangguk saja.
Hari itu ia tidak menjajakan dagangan keluar, tapi lebih ke dalam kantor untuk di training tentang teorinya. Lama di dalam ruangan yang dingin membuatnya ingin buang air kecil. "Kak, boleh ke toilet nggak, aku kebelet," bisiknya malu-malu.
"Ya ampun, ya sudah sana, cepat!" Dengan cepat ia lekas melesat lari keluar dari pintu dan ... brak! Ia menabrak seorang pria hingga terjatuh serta terbentur lantai.
"Auh...." Ia mengaduh kesakitan, ia usap keningnya yang rupanya membentuk benjolan cukup besar dan merah.
"Kau tidak bisa berhati-hatikah saat keluar dari pintu, kau kira ini rumahmu, hah!!" sentaknya kesal. Fera gegas bangun dan langsung membungkuk meminta maaf berkali-kali. Ia bahkan tak berani menatap menatap pria menakutkan tersebut. Dari suaranya yang menggelegar saja ia sudah ketakutan. Duh, begini saja sudah ciut, bagaimana mau balas dendam?
Ia gegas pergi dari sana setelah pria tersebut masuk ruangan marketing. Oh, apa satu divisi?
Ah, peduli setan, hajatnya sudah di ujung tanduk.
![](https://img.wattpad.com/cover/373851169-288-k972916.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
BALAS DENDAM SANG ISTRI
RomanceFera tersenyum tipis lalu bangun dari duduknya, menyemprotkan parfum mahal yang jarang sekali ia pakai karena kata Yuda itu pemborosan. "Loh, kamu kok pakai parfum, sih? Mau ke mana, kalau nggak pergi nggak usah pakai begitu, boros banget. Parfum it...