BAB 16. BERTEMU CALON GISEL
Gadis itu berdandan sangat cantik di kamar pribadinya—rumah kediaman orang tuanya. Ia nampak begitu anggun dan memesona. Tak lama pintu terbuka dan terlihat Heni tersenyum sembari mendekat. "Oh, putri Mama yang cantik... kau sangat mengagumkan sayang." Ya, dengan minidres coklat tua dipadukan lengan jaring yang cantik berwarna cream, rambut di bergelombang yang di ke depankan dan sedikit jepit rambut menambah kesan feminim yang ayu.
"Sungguhkah?"
"Ya, tentu saja."
"Dan apakah calonku akan menyukainya?"
"Oh, tentu saja dong."
Gisel tersenyum lebar ke arah cermin. "Mah, bagaimana sosok calonku, apakah ia tampan?" Gisel sejujurnya tidak terlalu suka dengan perjodohan tapi karena mendengar bahwa calonnya kaya, mapan, dan tampan ia langsung tergoda.
Heni menyentuh kedua pundak sang putri dengan lembut lalu mendekatkan kepalanya. "Tentu saja sempurna, tapi sedikit dingin, ya kau tahulah kalau orang kaya, mapan, sukses tentu akan bersikap dingin seperti itu. Maka dari itu jangan sampai kau buat masalah, harus tampil anggun, dan memesona, jerat dia dengan pesonamu sayang."
"Baiklah, itu keahlianku yang diturunkan oleh Mama." Mereka terkekeh bersama.
***
Gisel sudah menunggu di restorant tempatnya bertemu dengan calonnya, ia seorang diri tanpa didampingi siapapun. Ia berkali-kali melihat cermin kecil dari tas mininya, ia harus tetap terlihat sempurna. Entah berapa lama ia menunggu akhirnya muncul seorang pria berjas hitam rapih mendekat ke arah mejanya. Pria itu nampak dingin, berwajah datar tapi tetap tampan. Tak ada senyum secuil pun di sana. Rahangnya nampak kokoh, tubuhnya tinggi besar dan tegap, aura mengintimidasi begitu kuat terasa membuat Gisel kesulitan bernafas dan tersenyum tulus.
"Ha-hay...." Ia kesulitan bersikap natural. Gadis itu benar-benar terlihat gugup.
Sang pria masih diam di tempat duduknya tanpa menyapa sama sekali. Tidak ada basa-basi di sana, namun pakaian dan aksesoris yang dipakai memperlihatkan siapa pria di depannya. Ia benar-benar kaya raya!
Gisel ingin tertawa girang tapi tidak bisa karena harus bersikap anggun. "Saya Gisel...."
"Waktuku lima menit."
Gisel langsung melongo. "Ha, apa? Cuma lima menit, tapikan kita belum pesan makan siang, bukankah kita bertemu untuk saling mengenal sembari makan siang bersama?" akhirnya sikap cerewetnya tidak bisa dibendung. Ia benci dengan pria yang tidak bisa ditundukan atau tidak ikut aturan mainnya.
"Silahkan pesan makananmu, saya akan membayarnya."
Gisel merasa terhina tapi juga berdebar-debar. Ia tidak boleh melepaskan pria dengan kekayaan sempurna, ketampanan maksimal ia begitu indah dan sangat cocok untuk dijadikan pendamping hidup. Cinta itu tidak penting karena ia bisa hidup karena uang bukan cinta. Ia tak sabar untuk segera memiliki pria di depannya, jika di atas ranjang apakah ia begitu hebat?
Melihat tubuhnya yang luar biasa tentu saja mampu membuatnya melayang, uh, membayangkanya saja ia basah. Sial....
Tiba-tiba pria itu berdiri. "Loh, mau ke mana?"
Pria itu melihat jamnya. "Sudah lima menit, waktuku habis."
Gisel panik. "Loh, terus soal perjodohan kita bagaimana, kita bahkan belum memperkenalkan diri dengan baik, kita belum mengobrol banyak, hey, tunggu...." Gisel panik karena pria itu mengabaikan dirinya.
Ia bahkan sampai mengejarnya ke luar restorant tapi terlambat karena pria itu sudah masuk ke dalam mobil dan meninggalkan dirinya. Sial, bagaimana bisa seorang laki-laki bisa mengabaikan kecantikannya yang paripurna ini?
Gisel yakin pria itu akan menyesal telah menyia-nyiakannya. Ia pun kembali ke dalam, memesan makanan dan makan dengan lahap. Bodo amat, ia yakin bisa mengejarnya setelah ini.
***
Di sebuah warung makan, Fera memesan es teh manis, ia langsung meneguknya sampai habis. Lelah tapi juga senang karena targetnya tercapai lagi. Ia tak sangka bisa bekerja dengan baik tanpa harus di lecehkan oleh laki-laki seperti kebanyakan sales lainnya. "Lo hebat banget sih, Fer," puji Ola. Rekan kerjanya yang sama-sama bekerja di lapangan menawarkan barang.
"Hebat apa, kalian lebih hebat," ucapnya balik memuji Ola dan Didi.
Pria yang sedari tadi diam itu menoleh. "Kita udah lama, wajar, lo kan masih baru."
Fera tersenyum saja. "Demi hidup yang lebih baik, apapun aku kerjakan asal halal."
"Memang hidup lo kenapa, kayaknya normal aja deh, lo nggak keliatan gembel banget kaya gue?" ujar Didi sembari nyengir kuda.
Fera dan Ola terkekeh bersama. "Ya, maaf. Tapi kalau nggak kerja keras bakal jadi gembel beneran aku." Didi dan Ola menoleh dan menatap dengan serius.
"Kenapa?" Serempak mereka bertanya.
"Ya karena nggak ada uanglah, apa lagi?" Ia menjawab sembari terkekeh membuat keduanya ikut tertawa, menertawakan nasib mereka.
***
Fera kembali ke kantor bersama tiga rekannya, ia langsung membuat laporan terakhir. Tidak ada bonus karena tidak terlalu melebihi target hanya pas-pasan. Ia hanya bisa menghela nafas dan tetap besyukur dengan apa yang ia dapatkan. Tiba-tiba sebuah kopi kaleng diletakkan di atas mejanya membuatnya mendongak melihat siapa orang yang menaruhnya. "Mas... eh, Pak Yuda?"
Ia menatap semua orang yang kini menatapnya termasuk Irma, Ola dan Didi. Fera menunduk tak enak melihat hal itu. "Ambil lagi, Pak. Saya tidak haus."
"Minum saja, seharian di luar pasti lelah, kamu sudah bekerja dengan hebat." Yuda pergi begitu saja membuat Fera menjadi pusat perhatian. Ola yang lebih menatapnya dalam lalu mendekatinya dan mengambil kopi kaleng itu.
"Sejak kapan Pak Yuda perhatian denganmu?" tanyanya. Fera menggeleng saja, ia malah membahas suaminya. "Lo suka juga?" lanjutnya.
Fera menatapnya heran, sebab intonasi suara Ola seperti menyelidikinya. "Kenapa memang?" tanyanya balik.
Ola menghela nafas, meletakkan kembali kopi kaleng itu. "Nggak apa, tanya saja, soalnyakan lo masih baru dan semua orang tahu tabiat Yuda."
"Ya, Kak Irma sudah bilang soal itu kok." Ia melirik seniornya yang mengedipkan mata. "Jadi, kamu tidak usah takut, aku juga ogah meladeninya."
Ola mengangguk-angguk kecil. "Bagus kalau begitu, dan kalau kamu nggak mau minum ini buatku saja ya, aku suka kopi ini." Ia mengambilnya kembali.
"Minumlah, aku tidak menyukainya."
"Oke, thanks." Ia pun kembali ke mejanya.
Fera benar-benar kesal dengan sikap Yuda yang semakin berani terang-terangan, padahal dirinya yang melarang memberitahu hubungan mereka. Apakah ini karena surat pengadilan yang ia berikan, makanya ia besikap sok perhatian agar dirinya luluh kembali?
Haduh, bodoh sekali sih, mana mungkin Fera akan luluh setelah apa yang ia alami selama ini, ditambah perselingkuhan terang-terangan suami dan adiknya, gila jika ia masih mau memaafkan dan menerima laki-laki itu. memangnya tidak ada pria lain di dunia ini?
"Ehem!" Fera tersentak kaget saat melihat David ada di depan mejanya. "Bekerja dengan baik bukan malah bengong. Kau digaji untuk meningkatkan perusahaan bukan merugikan." Sontak ia mengangguk cepat.
"Baik, maaf, Pak." Tak lama setelah David memberi pengarahan seperti biasa. Semenjak di pegang David divisi marketing memang melonjak penghasilannya, sikapnya yang tegas dan tidak pelit membuat para pegawai menjadi termotivasi untuk lebih kreatif dalam menjual barang.
Fera benar-benar bersyukur ditempatkan di sana karena ia banyak belajar dan juga besyukur.
KAMU SEDANG MEMBACA
BALAS DENDAM SANG ISTRI
RomanceFera tersenyum tipis lalu bangun dari duduknya, menyemprotkan parfum mahal yang jarang sekali ia pakai karena kata Yuda itu pemborosan. "Loh, kamu kok pakai parfum, sih? Mau ke mana, kalau nggak pergi nggak usah pakai begitu, boros banget. Parfum it...