BAB 9. MENEMUI PAPA
Fera agak menunduk agar tidak terlihat dari pandangan Yuda yang sibuk berbincang dan bercanda dengan rekan perempuan yang cantik. "Eh, Fer, kenapa ngumpet gitu, dari tadi nanyain Pak Yuda, tuh orangnya keliatan kok malah ngumpet, kamu benar suka ya?" godanya membuat semua rekan yang duduk di sana menoleh. Buru-buru istri Yuda itu menggeleng cepat ditambah tangannya bergerak di depan dadanya. Mereka pun tergelak membuat beberapa pasang mata menoleh pada divisi marketing.
"Sudah-sudah, tidak enak jadi pusat perhatian." Irma yang memulai dia juga yang melerai.
Mereka pun kembali diam dan usai makan Fera gegas pergi saat kerumunan orang-orang menuju ke tempat yang sama. Apa lagi alasannya jika bukan untuk menghindari Yuda. Irma yang melihat itu justru geleng-geleng kepala dan menganggap jika pegawai barunya benar-benar menyukai pria dari divisi perencanaan.
Sementara Yuda masih saja asik mengobrol santai, membuat Fera benar-benar yakin jika memang tak ada cinta pada pernikahan mereka. Sungguh, ia merasa sangat konyol sekarang, menunggu bertahun-tahun, menerima disakiti, selalu dihina mandul, rupanya ia hanya bagai boneka yang tengah dipermainkan oleh suami dan keluarganya sendiri.
Fera berhenti mendadak membuat Irma dan yang lain kaget. "Duh, Fer, apa sih kamu tuh!" tegurnya.
"Aku mau ke toilet dulu, Kak." Ia pamit dan bergegas pergi ke arah yang berbeda. Tim nya pun memilih untuk kembali ke ruangan kerja.
***
Sore itu saat matahari mulai terbenam, Fera memilih untuk ke kantor sang ayah. Ia tahu kebiasaan papa yang telah membesarkan dirinya selama ini, yaitu berlarut-larut di ruang kerjanya. Semenjak menikah dengan Heni, Gunardi memang kerap kali pulang terlambat. Ia selalu menghabiskan waktu di kantor dan akan pulang pukul 11 malam. Membuat waktu kebersamaannya bersama putri tercinta terkikis habis dan ditambah provokasi Heni membuatnya kian jauh dan tak lagi berempati. Tapi, apakah benar demikian, benarkah sang ayah tidak menyayanginya lagi seperti ucapan Heni setiap hari padanya?
Ia hanya ingin memastikan sendiri agar dirinya yakin akan apa yang ia pikirkan selama ini. Ia terus melaju memasuki kantor megah itu. "Cari siapa, Mbak?" tanya seorang security.
Fera menoleh dengan wajah gugup. "Ehm, Papa saya," ucapnya.
Kening sang security mengkerut. "Karyawan di sini sudah pulang semua, Mbak."
Fera menggeleng. "Pak Gunardi masih di dalam kan?" sontak saja ia kaget bukan kepalang. Lalu menatap tubuh sang wanita dari atas sampai bawah.
"Mbak anaknya Pak Gunardi?" Fera mengangguk saja. "Ah, mana mungkin, penampilannya saja biasa gitu, nggak ada barang bermerk, kalau Mbak Gisel ya, benar anaknya Pak Gunardi, saya sering ketemu. Tapi, kalau Mbak nggak pernah saya lihat. Mbak mau bohongi saya ya?"
Fera makin geram saja sekarang, tapi apa yang dikatakan security itu benar adanya, ia memang terakhir ke kantor saat masih sekolah, sekarang dirinya sudah berusia 30 tahun, bagaimana bisa dikenali lagi. Bagaimana ya caranya?
"Telepon sekretarisnya saja, bilang Mbak Fera ingin bertemu Bapak."
Security itu nampak bimbang dan nampak tidak percaya. Ia takut berbuat salah dan berujung dipecat. "Duh, gimana ya, Mbak, saya itu...."
"Fera?!" seruan terdengar dari lobby kantor. Sosok pria matang itu berjalan mendekat membuat sang petugas keamanan menjadi membeku. Kini, pemimpin perusahaan telah tiba di depan mata. "Sedang apa kau di sini?" tanyanya heran.
Fera langsung mencium punggung tangan sang ayah. Sungguh ingin sekali rasanya memeluk sosok pria tua di depannya tapi ada rasa takut untuk ditolak. Mereka pun duduk di ruang lobby, di sofa empuk yang biasa untuk menunggu tamu. "Apa yang membawamu ke mari?"
"Rindu, Pah." Ia menjawab jujur, wajahnya menunduk takut.
Gunardi menghela nafas, jemarinya bergerak mengetuk-ketuk kulit sofa. "Mamamu tahu kau di sini?" dengan cepat ia menggeleng. "Baguslah, bagaimana pernikahanmu?" Fera langsung tersenyum sedih, bagaimana ia harus menceritakan tentang rumah tangganya?
"Pah, aku ingin berpisah."
"FERA!" teriakan Heni membuat Fera terbangun dari duduknya karena kaget. Gunardi pun nampak heran dengan sikap sang istri. Wanita itu berjalan dengan cepat mendekat pada mereka, pakaian yang melekat begitu elegan dan jelas mewah. Berbanding terbalik dengan anak kandug Gunardi yang hanya memakai pakaian sederhana tanpa merk.
Ia langsung menarik lengan Fera agar menjauh dari sang suami. "Lancang kamu ya mendatangi suamiku!" sentaknya.
"Loh, kenapa, kan Papa adalah Ayahku juga, kenapa aku tidak boleh menemuinya?!" sentaknya kesal. Selama ini ia selalu menunduk, takut dan patuh. Tapi, setelah mengetahui betapa jahatnya Heni membuatnya sangat muak.
Plak!
Sebuah tamparan mendadak mendarat di pipi sang putri. Membuat Fera melotot tak percaya. "Pa-pa...." Ya, ayah yang ia cintai dan harapkan kehadirannya justru menamparnya di hadapan sang ibu tiri. "Kenapa Papa menamparku, apa salahku, Pah?" Air mata langsung berlinang membasahi pipinya. Sungguh, sakit sekali hatinya saat ini. Bukankah tadi mereka duduk dan mengobrol dengan baik, lalu kenapa sekarang berbeda?
Gunardi buang muka lalu menjauh dari sana. Heni tersenyum sinis. "Lihatkan, Ayahmu saja ogah menemuimu, jadi, jangan berharap apapun, toh kamu sudah menikah, kenapa harus mengganggu kami lagi sih?" Ia mendorong tubuh tak berdaya itu hingga terjatuh ke lantai, ia duduk, bahkan enggan untuk berdiri.
Sungguh ironis, ia tak sangka bahwa rupanya ayah pun membuang dirinya. Tak adakah yang menginginkan dirinya di dunia ini?
Suami yang tidak mencintai, mertua yang semena-mena, ibu tiri yang kejam, adik yang merebut suaminya, dan ayah yang tidak lagi menginginkan dirinya. Ia menatap perutnya yang kosong, bahkan Tuhan tidak menginginkan dirinya melahirkan seorang putra. Air matanya luruh, tubuhnya bergetar, tidak dipedulikannya kepergian Heni dan Gunardi, ia sudah terlalu patah hati.
***
Di rumah,
"Yud, cewek sialan itu di mana sih? Jam, segini kok belum sampe rumah?" Yeni menegur sang putra karena menantunya tidak juga datang padahal sudah malam. Yang diharapkan menjawab justru angkat bahu karena malas. "Ya ampun, nggak ada makanan loh di rumah, males Mama harus beli terus, boros. Kalau dia masak kan enak tinggal makan." Yeni duduk sembari menarik bantal dan meletakkan di pahanya.
"Biar sajalah, Mah, nggak ada gunanya juga dia di rumah ini, jujur Yuda sudah muak sekali dengannya."
Yeni agak kaget, ia tahu betul kalau anaknya tidak mencintai Fera, tapi masalah utamanya adalah jika Fera dilepas maka tidak akan ada uang tambahan. Kapan lagi dikasih uang, rumah tinggal, hanya untuk menyiksa seorang wanita lemah?
"Loh, kamu lupa kalau Fera itu tambang emas kita?"
Yuda melirik kesal. "Itu dia masalahnya, rugi kalau Fera pergi, tapi Yuda sudah muak dengan sikapnya yang sombong itu. Sekarang dia bekerja di kantorku juga, takutnya dia buat masalah."
"Ya kamu kasih kerjaan yang jelek lah, yang susah gitu."
"Udah, bagian sales marketing, kerjanya di lapangan, nawarin dagangan."
Mendengar itu Yeni langsung tergelak puas, ia memberikan dua jempol untuk mengapresiasi sikap sang putra yang cerdas.
Sementara Fera yang sedari tadi menguping di depan pintu hanya bisa mengelus dada. Setelah dapat gaji pertama ia pastikan akan pergi dari rumah ini. Ia akan cari berkas-berkas penting kepemilikan rumah yang masih atas nama dirinya. Dan tentu saja setelah itu mereka akan ia usir. Seenaknya saja menindas Fera, ia tidak akan menjadi bodoh lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
BALAS DENDAM SANG ISTRI
RomanceFera tersenyum tipis lalu bangun dari duduknya, menyemprotkan parfum mahal yang jarang sekali ia pakai karena kata Yuda itu pemborosan. "Loh, kamu kok pakai parfum, sih? Mau ke mana, kalau nggak pergi nggak usah pakai begitu, boros banget. Parfum it...