Bab 25. DIPECAT TIDAK HORMAT

751 119 22
                                    

BAB 25. DIPECAT TIDAK HORMAT

Rio—sang HRD—menatap dari tempat duduknya. Ia satu-satunya orang yang tidak ikut heboh dengan kejadian di kantin. Namun, pikirannya menerawang jauh dan merasa kasihan pada Fera yang telah dipermainkan sedemikian rupa oleh suaminya sendiri. Dan sialnya laki-laki itu adalah sahabatnya. Rasanya mengerikan sekali ia bisa berteman baik dengan orang macam Yuda. Tapi, ia merasa puas karena rupanya istri itu tidak lemah seperti kelihatannya.

Sejujurnya ia sudah terlalu muak dengan kesombongan Yuda yang selalu bermain-main dengan para wanita di kantor. Tapi, rupanya ia lebih kejam dari pada yang terlihat. Dirinya menatap video mesum itu dan sungguh dirinya saja malu bagaimana bisa pria beristri justru seenaknya berbuat demikian di rumah pribadi sendiri sampai tidak sadar direkam oleh sang istri. Sangat menjijikkan....

Kini, ia menatap Fera yang masih berdiri tegap penuh rasa percaya diri, bahkan tidak ada air mata. Artinya selama ini ia sudah memendam kebencian yang mendalam, mendengar bukan hanya suami yang tidak support tapi mertua dan adik ipar. Sangat gila sekali.

Ia bahkan bisa bertahan selama lima tahun, sungguh sinting.

David tiba-tiba menoleh padanya. "Pak Rio, hal apa saja yang membuat orang bisa dipecat tanpa kehormatan?" tanyanya datar membuat semua orang begidik ngeri.

Para bos menghela nafas melihat kejadian memalukan tersebut. Salah satu dari mereka menepuk pundak David. "Kau akan mengurusnya?"

"Ya, Pak. Bagaimanapun karyawanku yang mendapat masalah dari karyawan Manager Perencanaan. Toni yang mendengar itu langsung menunduk kesal.

"Bawa dia ke ruanganku," titahnya. Yuda makin gentar sekarang, ia nampaknya akan benar-benar dipecat.

Gegas dirinya memohon lagi pada Fera. "Fer, aku minta maaf, aku nggak akan jahat lagi, aku janji padamu. Tolong, beritahu mereka untuk tidak memecatku, tolong ya...."

Rio yang mendengar itu makin benci dan muak saja. Ia lekas bangun, menganggukkan kepala untuk menghormati David dan manager lainnya. Kemudian menarik lengan Yuda. "Bangun, kau harus di sidang sekarang."

Yuda tentu saja terhenyak, ia kira Rio akan membelanya. "Yo, lo bakal bantu gua kan, iya kan?"

Rio tidak menjawab dan memilih untuk tetap menarik paksa tubuh itu keluar dari kantin.

Kini, suasana kantin mendadak hening. Beberapa Manager sudah pergi dari sana, menyisakan David yang menatap Fera. "Kau ikut saya." Ia balik badan, semua rekan kerja menyemangati Fera dan beberapa meminta maaf atas kesalahannya.

***

Fera melongo saat ia diberikan kopi kaleng oleh David. "Minumlah, agar lebih rileks." Mereka berada di ruangan David yang luas. Ia mengambil dengan ragu-ragu, sejujurnya ia takut tapi ia sudah siap untuk dipecat karena telah membuat kegaduhan.

Ia membuka kaleng dan meneguknya sendiri, rasa dingin dan aroma kopi membuatnya lebih tenang. Ia menghela nafas berkali-kali sampai merasa cukup baik. "Terima kasih, Pak." David mengangguk saja. "Ehm, Pak," panggilnya ragu. Kepalanya menunduk ke bawah, menatap sepatu hitamnya. Sementara David menantikan ucapan berikutnya. "Apa, saya akan dipecat?"tanyanya.

David menatap lurus ke arah Fera, kemudian berucap. "Justru saya akan mempertahankan kamu karena telah bersikap tegas dengan ..." ia menjeda sejenak. "Suamimu," lanjutnya yang nampak sedikit tidak suka. Fera agak malu karena selama ini tidak jujur akan status dirinya. "Saya baru tahu kalau Yuda itu suamimu, dan lebih tidak menyangka lagi, bahwa ternyata wanita yang dicalonkan untuk menjadi istri saya rupanya adikmu serta selingkuhan suamimu sendiri. Sungguh luar biasa sekali hidupmu, Fera...."

Walau sesungguhnya David sudah mengetahui seluk beluk keluarga Fera dan Gisel. Siapa mereka dan bagaimana hubungan antar keduanya. Namun, tanpa dibuat konflik untuk memunculkan keaslian data, mereka sudah membukanya sendiri di depan public. Sungguh, ia tidak sangka sang ibu salah menilai perempuan untuk dijodohkan padanya. Sangat aneh....

"Jadi, saya tidak akan dipecat, Pak?" tanyanya yang membuat lamunan David buyar. Sontak pria itu langsung menoleh dan mengangguk.

"Ya, jadi, tetaplah bekerja dengan baik." Ia berucap sembari memperhatikan wajah sang perempuan yang babak belur bekas kemarin. "Wajahmu, apa baik-baik saja?" Ia mengalihkan pembicaraan dan kali ini duduk di sisi sang pegawai.

Fera sedikit menggeser duduknya, jemarinya menyentuh wajah yang babak belur itu. "Hm, sudah, Pak."

"Apa rasanya tidak sakit?"

"Sakit, tapi tidak seberapa dibandingkan rasa sakit hatiku."

David meneguk ludah, memahami jawaban itu. "Ya, tentu aku memahami itu. Dan langkahmu sudah benar. Setelah ini apa yang akan kau lakukan?"

Fera melirik sang bos kemudian menunduk lagi. Memperhatikan sepatu hitam yang ia kenakan. "Setelah berpisah dari suami brengsek itu, maka tujuanku adalah merebut kembali apa yang menjadi milikku."

Kening David mengkerut, membentuk tiga garis. "Tentang Gisel?"

Fera mengangguk mantap. "Ya, benar. Saya dan Gisel adalah saudari tiri, Heni adalah Ibu sambungku, semenjak kehadiran mereka di rumah, sikap Papa berubah. Semua milikku direbut paksa, baik itu kamar, pakaian bagus dan juga perhiasan. Aku menjadi anak pendiam, mengerjakan semua pekerjaan rumah sudah seperti pembantu. Ayah seolah tidak melihatku, ia menghabiskan waktunya di kantor dan hanya sesekali pulang. Itu pun tidak menemuiku, melainkan pergi bersama dengan Mama Heni dan Gisel. Aku sama sekali tidak dianggapnya. Dan setelah ini, aku ingin belajar untuk bisa bekerja lebih baik. Lalu membuktikan bahwa aku bisa diandalkan, tidak seperti yang mereka katakana selama ini tentangku. Aku lelah diperalat, diperbudak, aku ingin bisa bebas dan menentukan jalanku sendiri. Bertahun-tahun aku hidup dengan rasa takut dan menjadi pengecut. Aku ingin bangkit dan membalas dendam dengan cara elegant." Ia menghela nafas, dan menunduk semakin dalam. "Walau saya tidak tahu kapan saya bisa membalas hal itu, karena pekerjaan saya sekarang yang hanya cukup untuk bayar kos dan makan tiap hari." Ia nyengir kuda karena merasa bodoh, telah berbangga diri bahwa dirinya mampu balas dendam, tapi kenyataanya ia tidak punya power.

David tidak menanggapi cerita itu, ia hanya mengangguk dan menghela nafas. Tatapannya serius seolah memikirkan sesuatu. "Kau pasti bisa, percaya padaku."

Fera mengangguk saja, setidaknya sekarang ada orang yang memberikan dukungan akan niatnya.

***

Yuda mengusap air matanya, ia benar-benar dipecat tanpa penghormatan. Dirinya bahkan tidak mendapatkan pesangon. Ketika marah, ia justru diperlihatkan semua masalah yang ia buat, baik perselingkuhan, pekerjaan yang tidak beres, bahkan penghilangan beberapa data. Ia pun tidak berkutik. Sebab pilihannya, keluar tanpa pesangon, atau keluar dan masuk penjara?

Ia benar-benar kesal, padahal awalnya dirinya sudah berhasil tenang, ia tidak seharusnya percaya pada wanita iblis itu. Dan saat dirinya terpuruk Gisel bahkan tidak bertanya kabar, teleponnya tidak diangkat sama sekali. Benar-benar brengsek.

Ia merapihkan semua barang miliknya yang ada di atas meja, rekan sejawatnya pun tidak ada yang peduli dan sibuk bekerja. Yuda merasa dirinya dibuang begitu saja. Ia lekas membawa kardus besar miliknya yang berisi barng-barang selama ini. Tidak ada pamit, tidak ada ucapan perpisahan, ia benar-benar diabaikan....

BALAS DENDAM SANG ISTRITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang