Jakarta, 28 Desember 2028
Gadis itu sedang duduk seorang diri di tempat di mana di sekelilingnya terdapat cukup banyak macam bunga. Meskipun taman tersebut terlihat ramai, tetapi Karina tetap merasa seperti sendiri. Hingga tak lama kemudian, rintik hujan turun membasahi tumbuhan di tempat umum tersebut.
Bagi sebagian orang, hujan mungkin adalah sebuah hal yang menarik. Selayaknya melodi yang bermain di atas tanah, mungkin itulah perasaan seseorang yang begitu menikmati indahnya hujan.
Namun tidak dengan Karina. Jika sebelumnya ia menyukai segala tentang hujan, begitupun aroma tanah saat hujan, kini dirinya tidak lagi merasakan hal serupa.
Dirinya justru merasakan hal kedua tentang hujan, yaitu kenangan. Rasanya sudah cukup lama peristiwa-peristiwa itu terjadi. Rasanya baru kemarin Karina merasa bimbang dengan perasaan nya.
Sedang kini, ia hanya sendiri. Tidak ada lagi sosok Marvin yang menjadi kakak nya, tidak ada lagi sosok Angga yang selalu memberi hal-hal kecil kepadanya. Rasanya semua itu terlalu cepat berlalu, bahkan untuk mengetahui keadaan mereka saja ia tidak bisa.
Perkara Marvin, dirinya tahu bahwa Marvin memilih untuk melanjutkan kuliah nya di Canada tanpa memberitahu dirinya.
Tapi, apakah dirinya sepenting itu pada hidup Marvin? Sehingga kemanapun dan dimanapun Marvin berada, Marvin perlu mengabari dan memberitahu dirinya?
Angga sendiri ia tidak tahu pasti pergi kemana. Karena semenjak menyatakan sebuah hal beberapa tahun lalu, dirinya hilang entah kemana. Bahkan jejak nya pun Karina tidak tahu.
Berbeda dengan Jevan, Karina tahu lelaki itu pergi ke kota Bandung untuk menemani neneknya disana. Terlebih juga tuntutan pekerjaan pada kedua orang tuanya membuat ia perlu pindah kota.
Sama halnya dengan Arjun, Karina tidak tahu kemana hilangnya sosok tersebut. Namun dibalik itu, ia tidak lagi perduli pada seorang Arjun.
Lagipula Arjun hanya sosok yang ia kenal tanpa sengaja bukan? Lantas untuk apa dirinya mengetahui dimana keberadaan seorang Arjun?
Jika dipikir-pikir, sepertinya tahun ini adalah tahun dimana Marvin akan menyelesaikan kuliahnya. Karina berpikir, apakah dibalik itu Marvin akan kembali pulang ke Jakarta, atau justru akan tetap tak tinggal di Canada?
Lagipula rasanya tidak mungkin seorang Marvin tidak memiliki pasangan selama kuliah disana.
Hujan semakin deras, membuat orang yang tengah mengenang masa lalu nya semakin merasa terluka, begitupun mereka yang menikmati nya akan semakin bahagia di buatnya.
Tidak ada yang bisa Karina lakukan selain membiarkan telapak tangan nya basah akibat percikan hujan yang mengenainya.
"Aku mau muallaf demi kamu, Na. Tunggu aku ya?"
Karina terdiam mendengar pernyataan tersebut. Bahkan ia merasa ini bukanlah dunia nyata, melainkan dunia mimpi.
Apakah ada yang salah dengan pendengarannya? Atau kah mungkin dirinya benar-benar berada di dalam mimpi?
"Karina?" Panggil Angga yang menyadari diam nya Karina.
"Ah, iya?" Karina tersadar, itu artinya ini bukanlah dunia mimpi, melainkan kehidupan nyata.
"Kamu kenapa?" Tanya Angga dengan tatapan bingung nya.
Menggeleng pelan sembari memijit pangkal hidung nya, sepertinya Karina belum mempercayai ucapan Angga sebelumnya.
Dirinya memilih untuk diam sejenak, mencoba mencerna apa yang sebelumnya terjadi.
"Kamu yakin mau muallaf, Ga? Atas dasar apa kamu muallaf? Semisal cuma karena aku, lebih baik jangan. Harusnya muallaf itu karena kemauan kamu sendiri, bukan orang lain," ujar Karina setelah menetralkan degup jantung nya.
Angga menaikkan sebelah alisnya, apakah hal ini terlalu tiba-tiba untuk ia ungkapkan? Ah, jika tahu begini.. ia memilih untuk tidak mengungkapkan nya.
Menggelengkan kepala, Angga memilih untuk menjelaskannya agar tidak terjadi salah paham pada Karina.
"Karina.. denger aku ya? Aku milih buat muallaf bukan sepenuhnya karena kamu, melainkan karena keinginan dalam diri aku sendiri. Kalau kamu tanya apa alasannya, itu murni karena aku merasa tenang waktu ada yang mengumandangkan adzan." Tutur Angga menjelaskan alasan mengapa dirinya memilih untuk muallaf.
"Angga, kamu kemana? Katanya mau muallaf, tapi kenapa justru kamu menghilang? Bahkan kamu pergi tanpa alasan," monolog nya dengan sudut bibir yang mengarah kearah bawah.
Rasa-rasanya ia sudah tidak memiliki harapan lagi. Semua nya pergi meninggalkan nya sendiri, tidak ada yang tersisa di sekitarnya. Hanya dirinya dan orang-orang asing.
Dirinya mungkin merasa tenang, namun dalam ketenangan tersebut, ia juga merasakan kesepian. Dirinya rindu hal-hal dulu, dirinya ingin semua itu terulang kembali. Bahkan jika boleh, rasanya ia ingin untuk memutar waktu.
Namun, yang terjadi sudah pasti berlalu. Dan yang tersisa hanya sebatas kenangan, yang mungkin tidak bisa terulang kembali.
Hujan mulai mereda, membuat orang yang sebelum-sebelumnya meneduh, kini kembali melakukan aktivitas nya masing-masing.
Berbeda dengan Karina, dirinya justru enggan untuk pergi dari tempatnya. Dirinya terlalu dalam mengulik kenangan yang sulit untuk di lupakan. Bukan nya merasa bahagia, dirinya justru semakin membuat batin nya terluka dan menyesal.
Membiarkan isi pikirannya kosong dengan sendirinya, pandangannya mulai kosong kearah depan. Lebih-lebih lagi, ia tidak peduli dengan orang-orang yang melewatinya atau mungkin menatap aneh pada dirinya.
Dalam keterdiaman nya, Karina tidak sadar dengan sosok yang kini berada tepat di sampingnya.
Membiarkan Karina asik dengan dunia nya, sosok itu hanya menatap Karina dengan senyum khas pada dirinya.
Dikala keheningan tercipta, tiba-tiba Karina menghembuskan nafasnya secara kasar. Membuat orang di sampingnya menggeleng, merasa tidak heran dengan perilaku Karina.
"Berat banget rasanya, kenapa tuh, neng?" Ujar sosok itu, berusaha menyadarkan Karina atas keberadaan dirinya.
Karina menoleh pada sang pemilik suara, merasa kaget dengan keberadaan sosok tersebut.
Apakah dirinya tengah bermimpi? Sosok di hadapannya, adalah sosok yang ia rindukan sebelumnya. Benar, ia adalah Angga.
"ANGGA?!" ucap Karina tidak percaya, bahkan sampai menutup mulutnya.
Angga hanya mengangguk sembari tersenyum, "maaf ya, udah lama ninggalin kamu, sini peluk dulu."
Usai mengucapkan itu, Angga membuka tangan nya lebar-lebar agar Karina masuk ke dalam dekapannya.
Tanpa pikir panjang, Karina memeluk Angga dengan cukup kuat. Rasanya ini seperti sebuah mimpi, namun ia tahu, ini adalah hal yang nyata.
"Aku udah muallaf, Na. Aku udah beragama Islam."
"Jadi gimana, Na? Perasaan kamu masih sama kan? Kalau iya, apa boleh aku melamar kamu nantinya?"
Karina tidak bisa berkata-kata, benar-benar terdiam dengan penyataan Angga barusan. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, Karina mengangguk dalam dekapan Angga.
Akhirnya, apa yang ia inginkan menjadi nyata. Yang sebelumnya ia kira tidak mungkin, kini justru menjadi mungkin. Benar apa kata orang, takdir Tuhan memang tidak bisa di tebak, bahkan justru lebih baik dibanding rencana yang ia miliki.
. . . .
Haloo readers kuuu, gimanaa?? Puas ga sama endingnya? Ada yang mau di sampaikan buat Karina, Angga, atau cast lainnya?
Semoga kalian suka sama endingnya yaa! Jangan lupa vote dan komen!
KAMU SEDANG MEMBACA
Amin kita beda
Teen Fiction"Angga, maaf... maaf karena terlalu jatuh dalam pesona mu. Padahal aku tau betul, disini kita benar benar tidak bisa bersama," monolog gadis itu di pinggir danau yang sepi. Entahlah, perasaan nya benar benar sulit dijelaskan. Bahkan kini, air mata n...