19. CAUGHT IN THE ACT

43 7 100
                                    

Matahari begitu terik di atas sana, membuat siapapun merasa panas ketika menginjakkan kaki keluar rumah. Sama hal nya dengan Marvin, dirinya begitu malas untuk melangkah ke arah kelasnya.

Entah mengapa, parkiran belakang ke arah kelasnya terasa begitu jauh saat ini. Padahal kemarin-kemarin pun tidak sejauh ini. Ah, malas sekali rasanya melangkah!

Kaki nya bergerak dengan niat seadanya, meski hanya sekedar menyeret kedua kakinya, setidaknya ia bisa sampai ke kelas.

Srett... srett...

Tidak adakah sedikit angin yang ingin menghampiri nya? Dirinya benar-benar membutuhkan angin walau hanya sebentar.

Menaikkan pandangan nya ke arah atas, dirinya melihat dua sosok yang terlihat familiar bagi nya.

Tunggu, dirinya tidak salah liat kan? Sosok di depannya seperti Karina bersama... Arjun? Ah, mana mungkin. Lagipula Arjun tidak bersekolah disini.

Tapi penglihatan nya pun tidak mungkin salah. Dirinya benar-benar mengenal bagaimana sosok Arjun, jadi tidak mungkin dirinya salah.

Mempercepat sedikit langkah nya, kini dirinya berada tidak begitu jauh dari Karina dan Arjun. Ya.. dirinya hanya ingin memastikan bahwa penglihatan nya ini benar.

Dan ternyata, penglihatan nya benar. Itu adalah Karina dan Arjun, yang bahkan dirinya tidak tahu, sejak kapan Arjun pindah ke sekolah ini.

"Gawat, kalo Arjun ada disini, berarti dia dalang di balik semua ini?"

"Argh, Marvin! Jangan terlalu gampang suudzon!"

Untuk apa juga dirinya memikirkan ini? Lagipula Jevan dan Angga pun juga sudah tidak lagi peduli. Bahkan dirinya pun sudah lelah terlalu memikirkan Karina, saat ini terserah pada Karina saja akan percaya pada siapa?

Yang pasti satu, sepintar-pintarnya bangkai ditutupi, baunya tetap tercium juga. Hanya perlu menunggu waktu itu tiba, dan semuanya akan selesai dengan sendirinya.

Ah, sudahlah! Dirinya tidak ingin peduli-meski dalam hatinya justru berkata sebaliknya. Kini dirinya hanya perlu melangkah melewati dua orang tersebut untuk sampai ke arah kelasnya.

Karina menatap kearah samping nya, terlihat Marvin yang kini tengah mendahului nya berjalan. Apakah Marvin tidak melihat keberadaan nya? Bukankah biasanya ia menyapa Karina lebih dulu?

Ah, apakah Karina sudah salah memilih jalan? Mengapa pikiran nya tidak terbuka akan hal semacam ini? Marvin pasti sudah lelah mengurus dirinya, buktinya ia sudah mulai tidak peduli.

Jika Karina meminta maaf, akankah dirinya akan dimaafkan oleh Marvin?

"Juna, gua duluan ya. Masih ada urusan soalnya," ujar Karina berlalu pergi dari samping Arjun.

Arjun hanya mengangguk sembari tersenyum, menatap hal apa yang membuat Karina pergi dari sampingnya.

Marvin, Arjun melihat sosok itu berada di hadapannya. Ah, pantas saja Karina pergi dari hadapan nya. Karina belum benar-benar menjauhi Marvin, yang itu artinya dirinya perlu memikirkan cara lain.

"Believe me, you will be completely controlled by me"

. . . .

Merasa senang karena berhasil melewati Karina tanpa melirik ataupun menyapa nya, Marvin tersenyum singkat di sela dirinya yang berjalan di koridor kelas.

Dirinya memilih untuk tidak begitu perduli pada Karina, biarkan Karina saja yang merasakan nya lebih dulu.

Bukankah seseorang akan terlihat berarti jika sudah merasakan kehilangan?

Amin kita beda Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang