5. Mental vs Iman

22 15 5
                                    

Pamflet dengan tanda baca titik koma yang mencolok di sisi terdepan sudah tersebar di berbagai kampus. Mahasiswa-mahasiswa sudah membicarakannya, sebagian dari mereka mengaku kenal salah satu anggota komutas titik koma, sebagian lagi mengaku ikut di webinarnya yang pernah diadakan, sebagian lagi -- mahasiswa Pak Halim -- direkomendasikan untuk bergabung oleh dosennya itu, sebagian lagi yang perempuan tertarik masuk karena katanya anggota laki-laki titik koma semuanya pada tampan-tampan, apalagi ketuanya.

Namun, tidak bagi perempuan yang duduk di ujung koridor Fakultas Ilmu Budaya . Ia punya alasan sendiri mengapa tertarik dengan komunitas titik koma. Ia amati baik-baik pamflet yang ada di tangannya -- yang baru beberapa menit diberikan oleh seorang laki-laki beserta dua temannya.

Titik koma. Sebuah komunitas kesehatan mental yang tujuannya bukan hanya memulihkan mental, tapi juga iman. Hmmm, menarik. Ditambah tulisan di pojok kiri pamflet, "mental yang sehat sejatinya mengokohkan iman."

Mengingat ia sudah berada di semester akhir, tidak ada lagi mata kuliah, sisa skripsi yang baru ia mulai pengerjaannya, tidak ada salahnya jika ia bergabung bukan? sekadar mengisi waktu luang saat penat dengan skripsi? tidak mungkin juga waktunya sepanjang hari ia habiskan dengan per-skripsi-an, bisa gila nanti dia.

Ah tapi bukan itu alasannya tertarik untuk bergabung, bukan sekadar mengisi waktu luang, tapi entahlah, rasanya hatinya terpanggil. Ia pun segera mengeluarkan ponsel yang ada di dalam tasnya, lalu mengambil gambar pamflet titik koma, kemudian mengirimkannya ke seseorang dengan pesan susulan.

"Aku mau gabung di sini yah?"

***

"Widih, mental yang sehat sejatinya mengokohkan iman. Quotes siapa nih?" Syakir yang baru pulang dari kampus ketemu pembimbingnya meraih satu pamflet yang tergeletak di lantai.

"Siapa lagi kalau bukan ketua kita, alias Ustaz Zafran," sahut Alfian yang sedang baring di sisi kertas-kertas yang berserakan.

Syakir tertawa sambil mendudukkan badannya dan meraih kertas formulir yang juga berserakan di sisi Alfian. "Yang lain pada ke mana?"

"Kan sebar pamflet mereka sama formulir," jawab Alfian sembari memainkan ponselnya.

"Kamu gak ikut?"

Alfian bangkit dari baringnya. Ia memperbaiki duduknya. "Ini baru balik, baru juga lima menit. Tadi aku ama Rizki dari kampus bokapnya. Gila sih bokapnya, pada ngumpulin mahasiswanya terus disuruh gabung hahaha."

"Keren itu, berarti ntar kita dapat banyak anggota."

"Semoga aja."

"Terus si Rizki mana?"

"Beli makan, disuruh sama Pak Ketua. Eh tadi dia belinya cuma tujuh. Kamu gak dihitung, soalnya gak ada tadi. Kalau mau telpon aja Rizki, kayaknya dia masih di tempat penjual," tutur Alfian.

Syakir menggelengkan kepalanya. "Gak usah, aku udah makan di kantin tadi. Yang lima orang lainnya mana?

"Belum balik semuanya. Fayyadh ke UGM bareng Alim sama Azriel. Ivy bareng Naimah ke kampusnya Naimah."

Syakir mangguk-mangguk.

"Terus gimana bimbingan kamu?"

Mendengar pertanyaan Alfian barusan membuat Syakir mengingat sesuatu. Ah ia lupa tadi mengabari kabar baiknya pada sahabatnya yang satu itu. Ia langsung membuka tasnya dan mengeluarkan tumpukan kertas, kemudian membuka beberapa lembar dari depan. "Acc dong," katanya gembira memperlihatkan dua tanda tangan dosen pembimbingnya di halaman persetujuan.

"Alhamdulillah. Berarti maju sidang nih?"

"Yah, pekan depan lah insyaa Allah aku daftar. Kamu gimana?"

Rambu;Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang