15. Jiwa Sosial Zein

2 2 0
                                    

Al-Isra: 32

"Dan janganlah kamu mendekati zina: (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk."

Raila mengusap sampul buku yang berada di tangannya. Buku yang tadi diberikan oleh Fayyadh. "Kalau mau simpan, simpan aja. Semoga jadi ladang amal buat aku," kata laki-laki itu saat menyodorkan bukunya pada Raila disertai senyuman tipis.

Dibukanya halaman buku itu, tulisan yang pertama kali ditangkap oleh retina Raila adalah kepada siapa buku itu dipersembahkan oleh Fayyadh.

Dipersembahkan untuk: kedua orang tua tercinta, para pemuda umat, dan perempuan yang disandingkan namanya denganku di Lauhl Mahfuz.

Senyum Raila terbit membaca tulisan terakhir itu. "Beruntung sekali istrinya Fayyadh nanti, belum juga ketemu sudah diabadikan dalam bukunya haha." Ia tertawa sendiri.

"Kak Raila."

Panggilan di luar kamarnya membuat Raila mengalihkan perhatiannya dari buku yang sedang dibacanya. "Iya, Zein? ada apa?"

"Aku mau bicara, Kak," jawab laki-laki yang bernama Zein itu. Adik Raila yang sudah menduduki semester 4 di kampus swasta.

"Apa, Zein?" Sebenarnya, Raila agak malas meladeni adiknya. Tumben-tumbenan juga Zein memintanya bicara seperti itu. Biasanya juga anak itu langsung masuk dan nyerocos apa yang hendak ia sampaikan.

"Aku masuk yah, Kak?" tanpa menunggu respon dari sang kakak, laki-laki yang berambut sebahu itu membuka pintu kamar Raila.

"Ada apa, Zein?" Raila menatap adiknya dengan tatapan malasnya.

Zein duduk di atas tempat tidur sang kakak sambil menyampingkan rambutnya.

"Itu rambutnya kapan sih mau dipotong?" Soal penampilan Zein, dari dulu memang Raila paling cerewet. Waktu masih sekolah, laki-laki itu masih mendengar, tapi setelah kuliah, ia hanya mendengar omelan Raila sebagai angin lalu.

Zein memutar bola matanya. Tanpa menghiraukan kalimat sang kakak, ia memulai pembicaraannya, "Kak, aku mau nolongin teman."

"Tolongin aja," sahut Raila.

"Aku gak ada duit."

Kening Raila mengerut. "Maksudnya?"

"Gini, tadi pagi ada temen SMA aku yang nelpon, dia butuh pinjeman duit buat bayar uang kuliahnya, soalnya beasiswanya dicabut."

Raila yang tadi tidak terlalu memperhatikan apa yang disampaikan oleh sang adik pun memutar tubuhnya untuk menghadap pada Zein dengan sempurna. "Temen SMA?"

Zein mengangguk.

Raila mengibaskan tangannya. "Halah, Zein, kamu percaya? itu temen SMA kamu, seberapa deket kamu sama dia?"

"Dulu waktu sekolah deket, Kak, dia baik orangnya, tapi emang waktu kuliah kita jarang kontek-kontekan, tapi bukan berarti kita putus kontak gitu."

"Lalu sekarang dia muncul buat pinjem duit gitu? Kamu percaya?"

"Dia orangnya terpercaya," kata Zein dengan nada melemasnya. Susah juga membujuk kakaknya. "Kasian tau dia, Kak, ayahnya tuh udah gak ada. Mokapnya kerja di tempat laundry, dan dia punya kakak yang bisanya cuma ngabisin duit."

Raila menyipitkan matanya. "Kuliah di mana dia?"

"Kampus kakak."

"Lalu kamu mau pinjemin uang dari mana?" Tampaknya Raila sudah mulai luluh. "Gak mungkin sama aku, Zein, kamu tau sendiri kakak masih kuliah. Belum kerja."

"Sama ayah?"

Raila bangkit dari duduknya. Ia berpindah tempat ke samping sang adik. "Kamu tau kan keuangan keluarga kita saat gimana?"

Rambu;Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang