Setelah sore itu, hubungan Raila dan Arkam mengalami peningkatan. Laki-laki itu, entah diilhami apa, sikapnya berubah. Waktunya selalu ada jika Raila meminta ketemu. Pesan-pesan yang mesti membuat Raila menunggu balasannya kini segera mendapat balasan. Tidak pernah ia tanyakan mengapa Arkam tiba-tiba berubah seperti itu karena toh memang waktu awal hubungan mereka seperti itu sikapnya. Cukup sekarang Raila syukuri atas kembalinya sikap Arkam yang peduli padanya.
"Tumbenan mukanya gak ditekuk habis ketemu Arkam," komentar Maya saat Raila datang dan menarik kursi di depannya.
Raila tersenyum, ia tidak membalas kalimat sambutan Maya. Ia malah memanggil pelayan untuk memesan minuman.
"Gak pesan makanan? atau cemilan, Rai?" tanya Maya setelah pelayan yang barusa mencatat pesanan Raila berlalu di sisi mereka.
Mereka kini berada di salah satu kafe dekat kampus. Tujuan mereka ketemu adalah untuk curhat-curhatan masalah tugas akhirnya. Ide itu muncul dari Maya.
"Maaf banget, May, aku gak bisa lama-lama. Aku harus ke Titik Koma setelah ini." Raila memperlihatkan wajah tidak enaknya. "But it's okay, aku tetap mendengar curhatan kamu. Jadi, apa keluhannya, Mbak Maya?" Perempuan itu tertawa dengan tingkahnya.
Maya menyipitkan matanya ke arah Raila. "Sebelum menjawab, aku mau tanya dulu deh. Sebenarnya ada apa? kok aku ngeliatnya kamu gak seperti biasanya?"
"Gak seperti biasanya gimana?"
"Tambah ceria? biasanya muka kamu ditekuk gitu kalau abis ketemu Arkam. Tadi dianterin dia kan?"
Raila mengangguk. "Kamu gak seneng liat aku ceria?"
Sebuah decakan keluar dari mulut Maya. Ia kemudian memajukan tubuhnya dan menangkup pipi Raila. "Seneng, tapi aneh aja, Rai Rai." Rai-Rai adalah panggilan khusus Maya pada Raila dalam situasi tertentu dan panggilan khusus Raila pada Maya dalam situasi tertentu adalah May-May.
Dengan cepat Raila menurunkan kedua tangan temannya itu. "Iya, May, yang nganter aku tadi itu Arkam. Aku gak bete lagi dong karena sikap dia udah berubah. Tau nggak? aku gak perlu lagi menunggu buat dapat balasan dari pesan aku. Tiap kali aku minta jemput dan nganter, pasti dia ada waktu."
"Jadi, ceritanya apa-apa tinggal minta jemput dan dianter sama Arkam nih?"
"Nggak dong. Yah kalo emang aku gak ada kendaraan. Aku juga tau kali, dia sibuknya kayak apa." Raila tertawa ringan bersamaan pelayan tadi mengantarkan minuman yang ia pesan -- brown sugar. "Terima kasih, Kak."
Pelayan itu mengangguk dan pergi setelah membalas, "sama-sama."
"Kalau di Titik Koma gimana, Rai?" Maya mengaduk-aduk minumannya yang tinggal setengah.
"Seru, kamu gak minat gabung?" Raila menatap Maya sekilas sebelum mencoba minumannya. "Pas banget rasanya," komentarnya.
"Ada yang ganteng gak?" Canda Maya.
"Hahaha ganteng itu kan relatif."
"Menurutmu aja, kayaknya selera kita mirip-mirip deh."
"Hmmm." Raila tampak berpikir. Ia mencoba mengingat satu-satu wajah laki-laki yang ada di titik koma, dan yah wajah Fayyadh yang terbayang pertama kali. Entahlah, apa karena posisi laki-laki itu ketua sehingga yang muncul di pikirannya adalah dia yang pertama atau karena memang nyata adanya bahwa dialah yang paling ganteng di titik koma? tapi bukankah Azriel juga ganteng kata Linda? Rizki juga ganteng kata Ririn. Ah ganteng itu relatif bukan? "Ada, May. Ada kok," ucap Raila akhirnya dengan senyumnya.
"Awas loh kalo kamu ngehianatin Arkam." Maya menatap Raila memperingati.
Raila tertawa. "Kamu tau kali aku setia orangnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rambu;
Ficção AdolescenteDi Bentala yang luas ini, kita hidup tidak sekadar hidup, ada tujuan yang hendak kita capai, melalui rambu-rambu yang mesti kita taati dan patuhi. Bagi Fayyadh, hidup adalah permainan yang hanya memberikan satu kali kesempatan, maka ia harus memenan...