3. Tanggung Jawab

23 13 1
                                    

Langkah Fayyadh yang baru memasuki kamarnya terhenti saat ekor matanya menangkap buku yang tergeletak di atas meja belajarnya. Judulnya, "Hidup Sekali, Jangan Merugi", karya Muhammad Syukri. Ia kemudian menarik kursi dan duduk sembari melepas topi dan tasnya.

Tangannya membuka acak buku yang sudah ia tamatkan itu sebelumnya. Ia teringat salah satu bab yang ada di dalamnya. Segera dicarinya di daftar isi. Halaman 182.

Soal
Momentum

"Hidup adalah pembicaraan tentang satu momentum dan momentum lainnya."

Fayyadh berusaha memahami dan memaknai 3 baris kata itu, kemudia ia membaca keseluruhan isi babnya, yang pada intinya adalah sebuah kesempatan belum tentu merupakan momentum karena momentum lahir dari kesempatan dan kesiapan atas kemampuan kita, dan ntuk menciptakan momentum itu tentunya butuh Allah dilibatkan untuk merancangnya.

"Beasiswa itu sebuah kesempatan untukku, tapi bukan momentumnya aku menerima," ujar Fayyadh lirih dalam hatinya. Ia memijat-mijat pelipisnya, sungguh banyak wacana di dalam pikirannya kini. Banyak hal tentang Titik Koma yang ingin ia lakukan.

Untuk menyegarkan pikirannya, Fayyadh segera mandi, lalu bersiap-siap ke masjid. Azan Isya sudah berkumandang. Ayahnya sudah terdengar membuka pintu utama rumah untuk ia lewati menuju masjid yang hanya beberapa langkah dari rumahnya

*

"Jadi, kamu menolaknya?" tanya Ridwan -- Ayah Fayyadh saat mereka tengah makan malam di meja panjang.

Sebelumnya, Fayyadh sudah menjelaskan bahwa ia telah mendaftar beasiswa dan ia diterima, tetapi menolak kemudian menolak beasisnya itu. "Iya, Yah, dengan berbagai pertimbangan yang aku sampaikan."

"Kalau ibu sih, ibu setuju dengan sikap yang kamu ambil," kata Ratih -- Sang Ibu -- sambil menambahkan nasi ke piring sang suami.

Ridwan tidak menghiraukan kalimat istrinya. "Bukannya kamu sangat ingin ke Turki?"

"Prinsipku lebih penting, Yah, pun tanggung jawabku. Kami baru mau memulai Titik Koma, dan aku dipercayakan oleh teman-temanku jadi ketua untuk memimpin mereka," ujar Fayyadh.

Ayahnya mangguk-mangguk. "Sama seperti ibumu, ayah setuju dengan keputusanmu. Kamu sebagai ketua Titik Koma memang harus bertanggung jawab dengan apa yang kamu pimpin, tidak meninggalkannya begitu saja demi mimpi kamu yang ada di depan mata, apalagi posisi komunitas kamu itu baru mau memulai, pasti berat. Kalau kamu tinggalkan di saat seperti itu, apa itu yang dikatakan bertanggung jawab?"

Fayyadh mengangguk-anggukkan kepalanya. "Iya, Yah, aku mengerti maksud ayah."

"Dan ayah bangga sama keputusan kamu." Ridwan tersenyum-senyum tipis melihat putranya itu. Dari kecil, Fayyadh memang selalu diajarkan rasa tanggung jawab oleh kedua orang tuanya, terutamanya sang ayah.

Ibunya ikut tersenyum. "Insyaa Allah kalau rezekimu kuliah di Turki nanti juga akan ada lagi kesempatan buat kamu, yang datangnya di waktu yang tepat, dan kamu sudah siap."

Begitulah bersahajanya potret keluarga Fayyadh. Ayahnya bekerja sebagai jurnalis di salah satu kantor koran swasta yang ada Jogja. Sedangkan ibunya, ia bekerja sebagai pekerja sosial di panti jompo. Ia memilili dua adik perempuan yang sedang bermukim di pesantren. Satu sudah kelas 2 Aliah, sementara satunya lagi yang paling bungsu kelas 1 tsnawiyah.

*

Seperti perjanjian mereka untuk beres-beres di tempat sekretariat barunya, mereka pun melakukannya dengan personil yang lengkap, 14 orang. Tidak sulit dan tidak berat karena rumahnya juga tidak terlalu butuh untuk dibersihkan. Hanya perlu disapu dan dihilangkan debu-debunya, dan itu sudah beres. Sisa penataan barang-barang yang sudah mereka bawa dari rumah syakir menggunakan mobil Rizki -- satu-satunya anggota mereka yang bawa mobil ke mana-mana.

Rambu;Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang