11. Psikologi & Sastra

15 7 10
                                    

Rapat usai dilaksanakan yang pada inti pembahasannya, Fayyadh meminta anggotanya mengajukan saran untuk mendapatkan dana pembangunan gazebo mereka guna ditempati untuk kumpul, adakan diskusi dan semacamnya.

Ririn menyarankan untuk galdan di jalanana. Ivy menyarankan untuk membuat sesuatu yang kemudian bisa dijual dan mendapatkan keuntungan. Azriel menyarankan untuk membuka webinar berbayar, tentu hal itu langsung ditolak oleh Fayyadh. Katanya, "gak etis kalau kita adain webinar berbayar, sementara komunitas kita tujuannya untuk membantu, ini malah memberatkan kalau berbayar, dan mengingat juga komunitas kita yang masih baru. Belum banyak yang minati."

Raila mencoba mengangkat tangannya untuk memberi saran. "Gimana kalau kita ajuin proposal ke instansi-instansi yang bisa membantu? atau nggak ke dosen-dosen kita atau orang yang berada lah, yang sekiranya peduli sama kesehatan mental? aku ada kok beberapa kenalan yang bisa aku ajuin ke mereka."

Fayyadh tampak berpikir. Ia melirik Azriel di sisinya dan juga Alfian yang langsung menyahut, "Boleh tuh. Aku setuju."

"Yang lain?" Fayyadh menatap semua anggotanya.

Ivy menganggukkan kepalanya. "Yap, aku juga setuju. Kok baru kepikiran yah?"

Syakir ikut angkat suara, "ide bagus sih menurutku."

"Aku sih ngikut aja," kata Trian.

"Aku setuju banget, Kak, sama idenya Raila. Itu proposalnya bisa diajuin sama Pak Halim. Dosen aku, Kak, yang karena sedikit paksaannya aku masuk di sini," tutur Linda.

"Nah. Pak Halim pasti sangat mau itu," sambung Jihad -- mahasiswa Pak Halim juga mungkin. "Aku yah kemarin sampai ditelpon-telpon, disuruh masuk ke sini sama beliau," dan betul, dia mahasiswa Pak Halim.

"Iya, Pak Halim memang gitu orangnya, suka maksa." Itu suara Rizki yang membuat Fayyadh dan yang lain -- yang mengetahui bahwa dia anak Pak Halim -- tertawa.

"Betul banget, Kak. Aku sebenarnya malas ikut komunitas-komunitas, tapi kata dia masuk aja Linda. Komunitas itu bagus untuk kamu. Kamu bisa mempelajari apa yang tidak kamu pelajari di kelas. Itu bisa menjadi nilai tambahan buat kamu, yah setidaknya kamu punya ilmu baru yang tidak didapatkan oleh teman-teman kamu yang gak ikut." Linda menirukan cara bicara Pak Halim yang membuat Fayyadh tidak bisa menahan tawanya, pun yang lain.

"Awas loh, itu anak Pak Halim." Masih dengan tawanya, Fayyadh menunjuk Rizki.

Linda kaget mendengarnya. "Eh yang bener."

"He em." Fayyadh hanya mengangguk-anggukkan kepalanya sambil meredahkan tawanya.

Rizki mengeluarkan ponselnya dan memperlihatkan fotonya bersama sang ayah.

Linda menepuk kepalanya. "Aduhhh, Kak, maaf banget. Jangan diaduin plis." Sontak orang-orang yang ada tertawa melihatnya.

"Hahahaha awas aja Linda, nilai kamu terancam sepertinya," canda Ivy.

"Kak Rizki, jangan plis. Aku tuh sangat bersyukur Pak Halim ngedorong aku masuk ke sini, bisa ketemu kakak-kakak yang baik hati, terutamanya Kak Rizki, dan aku senang banget diajar sama Pak Halim. Dia dosen terthe best, terfavorit aku. Teristimewalah pokoknya."

Cerocosan Linda barusan membuat orang-orang yang ada semakin tertawa. Sementara Rizki tidak berniat menenangkan, ia sangat menikmati reaksi Linda.

Fayyadh yang memimpin jalannya diskusi pun menengahi. "Udah, udah. Rizki gak suka ngadu kok orangnya hahaha. Jadi, gimana? Setuju ikhitiarin proposal dulu?"

Sontak semuanya menyahut setuju. Kecuali Ririn yang sudah tahu akan tugasnya jika semuanya menyetujui usulan Raila. "Kak." Ia pun mengacungkan tangannya.

Rambu;Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang