Sinar di Sudut Ruang Tamu |Keluarga

60 50 0
                                    


   Di sudut ruang tamu yang berdebu, ibu duduk bersandar pada dinding yang kusam. Matahari sore menembus jendela tua, melemparkan sinar yang terbelah-belah di antara tirai yang kusam. Ibu mengulurkan tangan, mencoba meraih sinar itu seolah ingin menangkap kenangan yang terbang begitu saja.

   Ayah pernah bilang, sinar di sore hari itu seperti harapan yang masih bisa dipegang. Tapi sekarang, ayah sudah tidak lagi di sini. Dia pergi mengikuti sinar yang lebih jernih dan indah, meninggalkan ibu dan Alia di rumah yang terasa semakin besar dan hampa. Ayah dan ibu pernah bersama di sudut itu, tertawa memandang foto-foto keluarga yang tertempel di dinding. Foto-foto itu masih ada, tapi sekarang hanya menjadi pengingat dan kenangan yang menyakitkan. Ibu sering menatapnya berlama-lama, seolah berbicara dengan ayah melalui bayangan-bayangan wajah mereka di dalam bingkai.

   Alia duduk di sebelahnya, mencoba mengisi kekosongan dengan kisah-kisah sekolah. Tapi ibu hanya mengangguk pelan dengan senyum tipis di wajahnya, matanya terpesona oleh sinar yang semakin lama semakin redup. Alia tau, di benaknya berjalan cerita yang sama berulang kali seperti hari-hari ketika ayah masih berada di sisi kami, mengisi ruang tamu dengan canda tawa dan harapan.

***

   Suara TV yang berdesis di ruang tengah terasa jauh, seakan dunia luar tidak punya hak untuk masuk ke dalam keheningan ini. Tiba tiba ibu berbicara, suaranya hampir terdengar seperti bisikan, "Ayah suka sinar ini, ingat? Dia mengatakan ini seperti harapan."

Alia mengangguk, menahan air mata yang ingin jatuh. "Iya, Ibu. Ayah selalu bilang begitu."

   Ibu tersenyum kecil, lalu berdiri perlahan. Dia mendekati jendela, menarik tirai yang kusam itu. Sinar dari sore hari ini masuk perlahan dan semakin banyak, membanjiri ruang tamu dengan sinar yang sekilas terlihat seperti harapan. Ibu bersandar di jendela, menatap luar seolah melihat dunia yang baru, yang mungkin ayah lihat sebelum dia pergi.

"Ayo, kita lanjutkan apa yang ayah tinggalkan," kata ibu lembut, sambil menoleh ke arah Alia dengan senyum yang penuh arti. "Kita harus terus berjalan, seperti sinar ini, meski terbelah-belah, tetapi tetap dapat menembus kegelapan."

   Alia mengangguk, berdiri dan mendekati ibu. Bersama, kami menatap sinar yang memancar di sudut ruang tamu, mencoba meraih harapan yang pernah ayah pegang.
Di saat itu, Alia merasa, meski ayah tidak lagi bersama kami, sinar itu tetap membawa kisah tentang ayah dan ibu, yang takkan pernah sirna.

Jejak Langkah : Petualangan dalam Setiap HalamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang