"Dibalik wajah yang tersenyum, apakah ada rahasia yang tak pernah bisa diceritakan?"Kala senja yang membiru, saat angin berbisik lembut memeluk dedaunan, dia duduk sendirian di pojok kafe yang sepi. Matahari terbenam, meninggalkan jejak warna merah dan orange di langit, seperti lukisan yang tak sempurna. Di tangan kanannya, secangkir kopi dingin yang tak pernah disentuh, di tangan kirinya, selembar kertas putih yang kosong. Lila, sosok yang selalu menghadirkan senyuman di wajahnya, bahkan di saat-saat yang paling sulit. Namun, di balik senyuman itu, Lila menyimpan rahasia yang begitu berat. Lila bukanlah sosok yang mudah didekati. Di dunia yang penuh dengan sorotan dan ekspektasi, dia seringkali menjadi penonton, bukan aktor utama. Hari ini, seperti biasa, dia datang ke kafe ini, bukan karena kopi yang terkenal, tapi karena tempat ini memberinya ruang untuk berpikir, untuk mencari dirinya yang hilang di antara keramaian kehidupan.
Lila menatap kertas putih itu, seolah mengharapkan kata-kata akan muncul begitu saja, menulis cerita hidupnya sendiri. Tapi, seperti biasa, kertas tetap kosong. Hidupnya begitu penuh dengan kegagalan dan penyesalan, hingga dia lupa bagaimana merasa puas dengan dirinya sendiri. Lila pernah mengalami trauma masa kecil yang membekas. Ayahnya, seorang pengusaha yang sukses, meninggalkan keluarganya tanpa alasan yang jelas. Semua orang sering menyalahkan Lila dari kejadian itu. "Itu anak yang membuat ayahnya pergi," sering kali kata-kata itu terngiang-ngiang di telinga Lila dari gosip sekitarnya. Namun, dirinya tak pernah menunjukkan kesedihannya, ia selalu menghadirkan senyuman di wajahnya, seolah tidak ada yang salah.
"Bu, aku harus bagaimana?aku takut dan bingung" ucapnya pelan setiap menatap langit.
***
Lila bertemu dengan Dr. Mira, seorang psikolog yang baru pindah ke kota itu. Dr. Mira melihat keprihatinan di matanya, meskipun Lila selalu tersenyum. "Apakah kamu baik-baik saja?" tanya Dr. Mira dengan lembut. Lila hanya tersenyum dan menjawab, "Tentu, saya baik-baik saja."Pertemuan itu membuka jendela baru bagi Lila. Dia mulai merasa tertarik untuk berbicara dengan Dr. Mira, dan Lila diberi usulan untuk menulis setiap hal-hal kecil yang berarti untuk hidupnya. Bukan tanpa tujuan, Dr. Mira berharap itu bisa membuat Lila jauh lebih baik.
"Kamu tidak sendirian, Lila. Kamu perlu belajar untuk mencintai dirimu sendiri sebelum mencintai orang lain," ucap Dr. Mira.
Senyapnya dalam diam, di pojok kafe yang sama, dia memutuskan untuk menulis. Tidak tentang kegagalan atau penyesalan, tapi tentang hal-hal kecil yang pernah membuatnya tersenyum. Tentang aroma kopi yang hangat di pagi yang dingin, tentang lagu yang membuatnya merasa tidak sendirian, tentang buku yang mengajarkan banyak hal tentang cinta dan kehilangan. Seiring kata-kata mengisi kertasnya, wajah Lila mulai terlihat lebih cerah. Dia menemukan bahwa mencintai diri sendiri bukanlah tentang membangun diri yang sempurna, tapi menerima dirinya apa adanya, dengan semua kekurangan dan kelebihannya.
Ketika dia meninggalkan kafe, langit telah berubah menjadi biru gelap yang dalam. Malam semakin larut, Lila menutup buku catatan kecilnya, tersenyum puas. Dia tidak lagi menonton dari luar. Hari ini, dia memilih untuk menjadi bagian dari cerita, bukan hanya sekadar penonton. Di hati Lila, ada cahaya kecil yang mulai bersinar, mungil namun penuh dengan harapan. Hari ini, dia belajar untuk mencintai dirinya sendiri, satu kata pada satu waktu.
"Kali ini aku akan jauh mencintai diriku sendiri" dia berbisik, merasa lebih ringan dari sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak Langkah : Petualangan dalam Setiap Halaman
Historia CortaAntalogi Cerpen by myself >,< no copas, no plagiat ❌