"Kenapa kamu selalu gagal, Adi? Kenapa kamu tidak pernah bisa seperti saudaramu, Bara? Dia selalu menjadi yang terbaik di segala hal," teriak Ayah Adi, wajahnya merah merona akibat kekesalan dan amarahnya.
Adi, seorang pemuda berusia 25 tahun dengan wajah yang terlihat lelah dan mata yang penuh dengan rasa putus asa, menjawab dengan suara yang hampir tak terdengar, "Aku sudah berusaha, Ayah. Aku benar-benar sudah mencoba, tapi... tapi aku tidak bisa seperti Bara. "
Konflik ini menjadi titik balik dalam kehidupan Adi. Ia merasa selalu hidup di bayang-bayang saudara kandungnya yang selalu menjadi pusat perhatian dan teladan dalam keluarga. Bara, yang merupakan seorang pengusaha sukses dengan reputasi yang terpuji, selalu menjadi tolak ukur kesuksesan bagi keluarga mereka. Itu membuat Adi memutuskan untuk meninggalkan rumah dan memulai hidup baru di kota lain. Di sana, ia mulai bekerja sebagai seorang kasir di sebuah toko kecil. Kehidupan di kota baru terasa lebih tenang dan Adi mulai belajar untuk menghargai dirinya sendiri tanpa perlu membandingkan dirinya lagi dengan saudaranya, Bara.
Waktu pun membuatnya bertemu dengan seorang lansia bernama Pak Darma yang bekerja sebagai penjaga malam di gedung kantor yang sama tempat Adi bekerja. Pak Darma, memiliki mata yang penuh dengan cerita, dan akan sering mengajarkan Adi tentang nilai-nilai hidup dan pentingnya motivasi dalam menghadapi tantangan.
"Adi, hidup ini ibarat seperti sebuah buku. Kamu tidak bisa menilai sebuah buku hanya dari sampulnya kan? Kamu harus membacanya, mengenal isinya, dan menemukan maknanya sendiri," kata Pak Darma saat mereka berbagi teh di bawah sinar bulan yang cerah.
Dengan bimbingan Pak Darma, Adi mulai mengembangkan minat barunya dalam hal fotografi. Ia menemukan kegembiraan dan ketenangan dalam menangkap momen-momen indah di setiap tempat. Melalui lensa kamera, Adi mulai melihat dunia dengan perspektif yang berbeda, ia mulai percaya diri bahwa ia memiliki kontribusi yang berharga. Adi juga memutuskan untuk mengadakan pameran foto pertamanya. Ia mengundang Pak Darma dan beberapa teman baru yang ia kenal di kota itu. Pameran itu berhasil, bahkan bisa melampaui ekspektasi Adi. Banyak orang terkesan dengan keindahan dan keaslian foto-foto yang ditampilkannya.
***
Pada hari penutupan pameran, Adi menerima sebuah surat dari ayahnya. Surat itu berisi permintaan maaf yang tulus dari ayahnya atas semua kritik dan perbandingan yang tidak pernah membuahkan hasil. Ayah Adi mengakui bahwa ia telah salah dan meminta Adi untuk pulang dan membangun hubungan keluarga baru yang lebih baik. Adi terpukul namun merasa lega. Ia membaca surat itu berulang kali, merasakan perubahan di dalam hatinya. Adi memutuskan untuk pulang, tidak untuk menunjukkan kepada ayahnya bahwa ia bisa sukses, tetapi untuk menunjukkan pada dirinya sendiri bahwa ia telah tumbuh dan belajar untuk mencintai dirinya apa adanya. Ketika Adi kembali ke rumah, ia dipeluk hangat oleh ayahnya. Bara, yang juga hadir, mengucapkan selamat atas kesuksesan pameran foto yang diselenggarakan Adi. Keluarga Adi mulai membangun hubungan yang lebih baik, belajar untuk menghargai setiap anggota keluarga berdasarkan kualitas dan keunikan masing-masing.Adi melanjutkan karir fotografernya, tetapi yang lebih penting, ia belajar untuk tidak hanya melihat dirinya melalui mata orang lain, tetapi juga melalui mata yang penuh dengan cinta dan penghargaan kepada dirinya sendiri. Adu percaya bahwa setiap orang memiliki jalan dan ritme kehidupan yang unik. Motivasi yang sejati datang dari dalam diri kita sendiri, menghargai diri sendiri adalah langkah pertama menuju kesuksesan dan kebahagiaan yang sebenarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak Langkah : Petualangan dalam Setiap Halaman
Cerita PendekAntalogi Cerpen by myself >,< no copas, no plagiat ❌