Makan siang hari itu, Ciya terkejut dengan sosok lelaki berjubah putih yang familiar untuknya—namun mengapa dia? Bukannya dokter yang menanganinya, adalah dokter Hendrawan?
"Kenapa lo yang dateng?" Tanya gadis itu dengan dahi yang berkerut bingung.
Akan tetapi yang di tanya hanya melengos tak peduli, menutup pintu ruang rawat milik Ciya, dan berjalan menuju brankar gadis itu. Benar, dia adalah Hugo. Ia menekan tuas untuk membuat gadis itu setengah duduk, dan memutar table portable untuk ia letakkan tepat di depan gadis itu.
"Bisu? Gue nanya anjir," ucap Ciya sebal. "Oy kucing orange!" Sentak Ciya. Jemarinya dengan cepat menahan pergelangan tangan putih pucat milik Hugo, yang membuat lelaki itu menatap sebal kepadanya.
Hugo menghela nafasnya, kemudian merogoh saku jasnya, mengeluarkan berbagai macam obat dan juga benda tak masuk akal tepat di hadapan Ciya. Netra Ciya terbelalak lebar, "maksud lo apa?"
Terpantau Hugo belum menjawab, ia malah duduk persis di seberang Ciya, dan menata barang-barang yang ia bawa secara berurutan.
Ciya menggeleng dan terkekeh, "sinting," ucapnya sendirian.
"Liat," itu kata pertama yang keluar dari bibir Hugo, "pil ini kalo lo minum sekali lima, lo bisa mati dalam waktu satu jam." Hugo kembali menambah jumlah pil itu, "yang ini—kalo lo tambah dua, bisa mati dalam waktu tiga puluh menit." Ciya menelan ludahnya berat, namun Hugo belum selesai, "pake cutter juga boleh, tapi sakit. Lebih efektif pake yang ini—"
"STOP!" Sentak Ciya. "Maksud lo apaan anjing, lo nyuruh gue suicide?" Kekehnya miris.
Hugo melipat tangannya, dan memajukan wajahnya pada Ciya, yang membuat gadis itu sontak memundurkan wajahnya. Jantung gadis itu berdegup cepat ketika di tatap lekat seperti itu—hei, bukan karena di tatap. Namun, Ciya baru menyadari bahwa... lelaki dihadapannya, sangat tampan.
"S-sinting..." cicitnya gugup.
Sudut bibir Hugo terangkat, "katanya, lo mau bunuh diri. Gue kasih opsi yang paling enak, lo mau yang mana, hm?" Satu tangan Hugo ia letakkan untuk menopang dagunya, alisnya terangkat berulang kali, mencoba menggoda gadis yang tampak mengeluarkan peluh dingin di dahinya.
"Apa lo mau matinya karna ngeliat kegantengan gue? Boleh juga sih—"
Bugh!
Ciya melempar Hugo dengan bantal kepalanya. Ia berusaha mengatur degup jantungnya, sepertinya jantungnya akan semakin lemah— "jangan gila lo."
Hugo terkekeh, "sejak gue masuk ruangan ini, berapa kali lo bilang gue sinting?'
"D-dua..."
"Terus, kenapa lo bilang jangan gila?"
Ciya terdiam karenanya, sementara Hugo tampak mengumpulkan kembali bawaannya, dan menyingkirkannya dari atas meja. Hugo memiringkan bibirnya sejenak, kemudian kembali ke posisi semula, untuk mulai berbicara kepada Ciya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rival Baddies! [✔️]
Romance21+ || Explicit 'ℛ𝒾𝓋𝒶𝓁 ℴ𝓇 𝓁ℴ𝓋ℯ𝓇?' Sepasang muda mudi yang terus bersaing, siapa yang paling nakal di circle mereka. Lalu bagaimana jika keduanya terjebak dalam permainan Truth or Dare, yang membuat mereka harus menjadi sepasang kekasih seper...