"Jadi inget kita dulu ma," ucap Diego menggelengkan kepalanya.
Sementara sang istri terlihat mencebikkan bibirnya kesal, "emang mirip kamu banget. Nggak buang sama sekali. Suka nyimpulin sendiri, nggak peka, padahal perempuannya itu sayang banget. Mama yakin Yuga sama sekali nggak tau kalo Lula suka sama dia dari lama. Tapi yang lebih penting dari itu, ini sekarang gimana?"
Diego menggendong sang istri dalam dekapannya, dan membawanya untuk naik ke atas ranjang mereka. "Ya nggak gimana-mana. Sama kayak kita, biar mereka selesaikan masalah mereka sendiri." Diego menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuhnya bersama sang istri, kemudian mengecup dahi Tsanna dengan lembut, "biar mereka yang cari jalannya, kita nggak perlu ikut campur."
"Papa sengaja kan? Sengaja biar mereka nggak bareng-bareng? Bukannya kemaren papa bilang mau biarin mereka milih jalan yang mereka mau?"
Diego yang tadinya sudah memejamkan mata, kini membuka netra sabitnya untuk melihat sang istri, "sayang, dibiarin bukan berarti nggak peduli. Kita cuma orang luar yang cuma tau sepintas tentang apa yang terjadi dengan mereka. Gimana mereka bisa jadian, siapa si Davi-Davi itu, gimana perasaan Lula sekarang, dan yang pasti perasaan itu pasti bisa aja berubah. Di polaroid itu Yuga kayanya masih SMA deh. Time flies, dan kita nggak tau detail tentang mereka. Sekalipun tau, kita nggak berhak ikut campur, sayang."
Tsanna menghela nafasnya, dan menelusupkan tangannya untuk memeluk Diego sang suami. "Kalo kasih tau Yuga tentang polaroid itu, menurut papa gimana?"
"Terus mama mau jelasin apa? Sementara Lula cuma bikin caption singkat yang nggak terlalu jelasin apa-apa."
"Tapi Lula bilang suka!"
Diego tertawa kecil, dan mengeratkan rengkuhannya pada tubuh sang istri, "yaudah terserah mama aja. Besok, kalo Yuga pulang, kasih tunjuk polaroid itu. Apapun hasilnya, kita cuma bisa menghargai apa keputusan mereka."
Namun satu bulan berlalu, Yuga tidak pernah pulang ke mansion lagi. The Gloss pun kini dijaga oleh seorang leader kepercayaan Yuga, sementara sang pemilik pergi entah kemana. Sekalipun Yuga nakal, sebelum pergi, ia tetap memberi pesan kepada sang ibu bahwa ia membutuhkan waktu untuk healing sejenak, agar sang ibu tidak khawatir. Namun setelahnya, ia sama sekali tidak bisa di hubungi.
Berbanding terbalik dengan Lula yang tampak lebih diam dari biasanya, menunggu hari demi hari yang terlewat, berharap memiliki kesempatan agar bisa berbicara dengan Yuga, menggunakan kepala dingin.
Lula Pov
Jingganya senja terbias di kulitku yang terbuka, helaian rambutku kubiarkan terbang terbawa angin laut yang membuatnya bergerak sesuka hati. Rautku bingung hendak tersenyum, bersedih, marah atau kecewa. Sebab segala hal rasanya begitu terlambat untuk di utarakan.
Butiran pasir terasa menekan di setiap pergerakan lamban tungkaiku yang menekuk. Kepalaku terdongak ke atas, merasakan rintik hujan mulai turun sebutir demi sebutir, menyentuh kulit wajahku yang selalu ia puji cantik. Kebimbangan di bulan-bulan yang terlewati bersamanya, membuat aku berulang kali bertanya, apakah segala perasaanku berbalas? Namun berulang kali juga dia menyadarkanku akan sebuah perasaan yang tidak memiliki masa depan.
Semakin lama, butiran hujan semakin rapat menerpa tubuhku yang hampir basah kuyup. Kali ini air mataku ikut bergulir ke setiap bagian sisi wajahku yang masih betah melihat ke arah langit. Sudut bibirku membentuk senyum, ketika mengingat banyak hal konyol yang ia lakukan, yang membuat aku semakin penasaran — apa yang sebenarnya ada di ruang hatinya yang sama sekali tidak bisa ku tembus?
Pernah aku katakan, jika aku akan menghabiskan masaku bersamanya, sebagai sesuatu yang dapat ku kenang seumur hidupku. Merasakan manis madu perasaan kupu-kupu disaat aku bisa memiliki dia sebagai milikku, meski hanya untuk sementara waktu.
Tapi sekali lagi, semua telah terlambat.
"Pulang ya La? Hujannya makin deras," ucapnya. Bukan, yang berbicara bukan Yuga.
Kepalaku tertoleh ke asal suara, dan menatap sendu Davi yang memayungiku dari rintik hujan yang kugunakan untuk menyamarkan air mataku, yang semakin turun dengan deras. Melihat wajah Davi, membuatku mengingat lagi kejadian dua bulan yang lalu, dimana Kakekku dan ayah Davi membicarakan tentang perjodohan kami yang seharusnya sudah dilakukan sejak aku berusia dua puluh satu, beberapa tahun yang lalu.
Davi adalah lelaki yang baik, dia mencintaiku, tapi aku terlalu mencintai Yuga. Dan sialnya, Davi mengetahui hal itu.
Malang nasibku harus menggoret satu tinta kecewa dari kekasih baik yang terpaksa menjadi jahat karena rasa cemburunya. Davi pernah berusaha meniduriku, hanya karena tahu bahwa aku mencintai dia, dari polaroid yang selalu aku bawa pergi kemana-mana—dulu. Beruntungnya lelaki baik seperti Davi, tetaplah menjadi lelaki baik. Sebab melihat aku yang menangis dan gemetar, ia menarik diri dan menyiksa dirinya sendiri, mencoba menekan kemarahan dan rasa egoisnya, agar tidak membuatku semakin hancur.
Meski, segalanya menyisakan trauma yang cukup berat untukku, ketika kami harus bertemu lagi. Dan pertemuan kami lagi dua bulan yang lalu bersama kakek, membuat aku memutuskan untuk menyetujui perjodohanku dengan Davi, yang akan di lanjutkan lagi.
Aku... menerimanya.
Rasanya hidupku tidak lagi memiliki pilihan. Cintaku habis pada satu-satunya orang yang mematahkan harapanku untuk bisa mendapatkan balas yang sama.
Namun, oh... kenapa sekarang aku seperti dipermainkan?
Detik-detik waktu yang hampir berakhir, membuahkan pertengkaran yang membuat aku mengetahui, bahwa aku tidak jatuh cinta sendirian.
Dia juga mencintaiku? Apakah itu bisa menjadi kesimpulan dari pertengkaran kami beberapa minggu yang lalu? Semuanya seakan terlambat. Aku telah menyiapkan ruang kecewa sejak dia mengatakan bahwa tidak ada masa depan dari perasaan yang telah aku pupuk hingga tumbuh subur dan meliar.
Aku masih menunggu dia. Ingin mengatakan jika segala perasaannya tidak hanya sepihak saja. Lihat aku yang telah lama berada di palung yang ku gali sendirian, untuk menempatkan perasaanku di tempat yang paling dalam di hidupku. Mencintai dia. Hal yang sudah terbiasa ku lakukan selama sepuluh tahun lamanya.
Akan tetapi... dia tidak kembali. Kendati aku mencarinya, menunggunya, menghubungi kontak yang tidak lagi berdering, profil abu, dan juga ruang pesan yang terus bercentang satu.
Juga atas pilihanku yang telah memberi harapan kepada lelaki yang masih kupandangi saat ini, Davi, maka aku pun telah memutuskan... untuk melanjutkan segalanya yang telah aku mulai.
Melupakan dia, dan mulai belajar untuk mencintai... Davi.
"Boleh anter Lula ke airport sekarang?"
Davi tersenyum kecil, "tapi udah telat. Nungguin apa sih La? Harusnya kamu uda flight dari lima jam yang lalu. Lula ganti baju dulu, bawa sweater juga kan di koper? Biar Davi pesen tiket di jam terdekat."
Tentu saja aku masih menunggunya, di detik-detik terakhirku berada di kota ini. Sebelum nanti aku kembali, dengan status yang berbeda.
"Ya..." jawabku tersenyum singkat.
Kepalaku tertunduk lagi, kini hujan mulai mereda, menyisakan rintik-rintik tak kasat mata, menyadarkanku, semua akan ada masanya. Termasuk, patah hatiku.
Akan sembuh seperti langit yang mendung, menitikkan hujan, lalu kembali cerah, dan jika beruntung—akan ada pelangi setelahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rival Baddies! [✔️]
Romance21+ || Explicit 'ℛ𝒾𝓋𝒶𝓁 ℴ𝓇 𝓁ℴ𝓋ℯ𝓇?' Sepasang muda mudi yang terus bersaing, siapa yang paling nakal di circle mereka. Lalu bagaimana jika keduanya terjebak dalam permainan Truth or Dare, yang membuat mereka harus menjadi sepasang kekasih seper...