masih mos (2)

31 18 8
                                    

Masih subuh, tapi anak perempuan pertama ini sudah gerusa-gerusu. Sudah melakukan ini-itu, yang membuat kamarnya berantakan seperti terjadi badai. Padahal, nanti jam 06.15 ia harus berangkat ke sekolah, melakukan kewajibannya sebagai seorang siswa dan sebagai wakil ketua osis tentunya.

Untungnya, tadi malam ia tertidur jam 20.00 malam. Dan sekarang ia sudah melek melakukan banyak macam hal.

Senja sudah membuka jendela, kata orang jaman dahulu "membuka jendela pada waktu subuh akan mendatangkan rezeki" entah orang jaman dulu siapa yang bilang, senja hanya melakukannya. Siapa tau, rezekinya bisa selebar daun kelor kan?

Senja duduk di samping meja belajar yang di dekat jendela, udara sejuk surabaya sejak tadi menghampirinya. Menyiapkan barang yang diperlukan untuk pengenalan lapangan sekolah sudah ia siapkan semua. Kali ini ia malah membuka laptop untuk membuka luka lama.

Hal-hal yang seharusnya ia tak perlu untuk mengulang, kini malah ia membukanya untuk kembali mengenang.

"Sedang apa ya, lelaki itu?"
"Sudah bahagia kah?" Padahal senja ditikam banyak pilu.

Kalau diingat kembali, meskipun banyak luka yang pria itu beri. Tapi, tidak ada yang membuat senja se-linu ini, jika mengingat kenangan yang mereka berdua ukir. Padahal, dulu mereka menjadi pasangan muda-mudi yang berbahagia, tertawa tanpa jeda, merangkai banyak mimpi padahal masih remaja.

Apa, kisah-kasih jaman SMP memang sesusah itu untuk dilupakannya? Atau memang ia yang tidak mau berusaha?entahlah, senja hanya menakar sampai mana kisah menyakitkan ini ia kenang?

Melihat jam masih jam 05.00 pagi, senja beranjak untuk kembali ke tempat tidur. Kembali merangkai mimpi yang indah untuk ia ukiri. Toh, ia sudah menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslimah. Tidur sebentar tak apa, ia juga sudah menghidupkan alarm.

.
.
.
.

"Ya allah senja, ini udah jam 06.00. bisa-bisanya masih belum bangun" bundanya datang, membangunkan senja dengan suara yang menggelegar.

Sedangkan sang putri masih belum terjaga, ia kembali menggoncakan tubuhnya. Anak perempuan ini, meskipun ada gempa pun tak akan membuatnya terjaga.

"Astagfirullahaladzim, gempa" senja langsung bangun karna goncangan yang ia rasa.

"Gempa-gempa! Ini udah jam berapa? Bisa-bisanya gak bangun-bangun. Mandi senja!" Sudah dari tadi sang bunda menggoyangkan badan senja, tapi malah dikira gempa.

Meskipun agak linglung, diasa buru-buru mengambil handuk yang ia gantungkan di jendela. Berjalan terbirit-birit, dengan kecepatan setara cahaya.

Bundanya hanya menggelengkan kepala. Mau diapakan lagi manusia satu ini? Masih sama saja kelakuannya.

"Cepet! Bunda tunggu di bawah buat sarapan." Sebelum turun ke bawah, bundanya menggedor pintu kamar mandi. Menyuruh agar sang putri untuk menyelasaikan kegiatannya dengan cepat.

.
.
.
.

Mengambil bekal yang sudah bundanya siapkan, memakan roti yang sudah bundanya hidangkan. Buru-buru hingga ia lupa untuk mencium tangan sang bunda.

"Senja! Terusin aja kayak gitu!" Sang bunda bertolak pinggang, sedangkan sang putri hanya memamerkan deretan behelnya.

"Hehehe, maaf bunda. Senja udah telat. Tolong jangan marah-marah dulu. Kalau mau marah nanti pas senja udah pulang ya. Kali ini, tolong dicancel dulu emosinya. I love you bun!" Mencium tangan sang bunda, lalu senja juga mencium pipinya. Urusan mengomelinya bisa nanti. Kali ini, banyak hal yang harus diurusnya.

.
.
.
.

Senja tiba di sekolahnya pukul 06.35. jarak dari rumah ke sekolahnya memang lumayan, sedangkan ia diantar oleh sang ayah dengan kecepatan yang lumayan. Ayahnya memang tau waktu, tapi senja sering mengulur-ngulur waktu.

Tiang luka Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang