Jantungnya berdetak, mengikuti jam yang kian berdetik. Tatapannya tak berkedip, seakan takut jika ia mengedipkan mata-maka akan hilang objek yang ia suka.
Suara yang tadinya ramai di kepalanya, kian hening mengikuti alur yang kian menarik.
Senja, tak berkutik-sama seperti pemuda yang berjarak hanya beberapa meter dihadapannya kini. Andai ia tau, bahwa rindunya semakin mengusik.
"Senja" tepukan di bahunya menyadarkannya setelah sekian lama ia hanya termenung kaku.
Senja menolehkan kepalanya di sebelah kanan, Haris.
"Katanya mau ke ruang guru, ayo" Haris mengelengkan kepalanya, seakan menyuruh seorang Senja untuk segera kembali menjadi manusia normal.
Senja menghela nafas, menutup matanya sekian detik agar kembali sadar dari keterkejutan.
Setelah sekian purnama, akhirnya Senja dapat kembali melihat mata yang seindah mutiara. Detik dan detak seakan saling bersahutan. Mengejeknya karena selalu menjadi manusia denial.
Sedangkan di depannya, sudah hilang seorang yang sudah membuat Senja kehilangan fokusnya.
"Ayo Nja, lupain aja!" Lagi-lagi perkataan Haris membuat Senja terpana-seakan menjadi mantra.
Senja melipat bibirnya ke bawah "aku kangen Ris. Mau ngomong bentar aja, boleh gak?" Suara yang ia keluarkan, seperti menahan bongkahan batuan. Di tahan sesak-dikeluarkan membuat ia tak berpijak.
"Mau ngomongin apalagi Nja? Udah habis masanya." Haris menghela nafas, padahal ia tak merasakan perasaan sedih. Tapi, ketika ia melihat Senja yang ingin menangis, ada perasaan sesak yang menyambarnya seketika.
"Padahal, dulu kita pernah ngomongin hal-hal yang gak berguna. Padahal ya Ris, dulu kita pernah ngomong sampe mulut kita berdua hampir berbusa. Kenapa secepat ini ya? Waktu kita- sama waktu Tuhan emang gak sama ya? Kalau mau minta ke Tuhan buat puter waktu boleh gak ya? Aku mau ngerasain hal-hal sederhana yang aku lakuin berdua dulu sama Dia. Meskipun cuman dipinjemin waktu 30 menit. Gakpapa." Senja duduk di kursi yang ada di depan ruang Osis. Matanya kembali menghadap ke depan, seakan-akan satu sosok itu masih ada di sana dan masih menjadi orang yang sama-dengan sifat yang dulu Senja suka.
Haris ikut duduk di sebelah Senja "Nja, gak ada gunanya minta ngulang waktu. Yang harusnya kita lakuin sekarang tuh, jangan ngebuat kejadian dulu keulang lagi."
Menolehkan kepalanya, Senja kembali bersuara. "Tapi Ris, dia punya perasaan yang sama kayak aku gini gak ya? Dia ngerasain hal yang sama kayak yang aku rasain ini gak? Kalau Dia ngerasain hal yang sama, gimana cara Dia ngobatin sesaknya? Aku mau nanya, biar aku tau jawabannya. Tapi, kalau aku udah tau jawabannya, terus caranya gak worth it gimana?"
"Senja, perasaan manusia biasanya terhubung. Apalagi, udah ngejalanin hubungan yang cukup lama. Kalau kamu nanya ke dia, kamu yakin pertaanyanmu dijawab sama Dia? Kamu gak capek Nja, mikirin satu orang yang Dia aja bisa hidup dengan baik. Kamu gak lihat Dia tadi? Dia baik-baik aja Senja. Gak kayak kamu! Kamu mikirin Dia tiap hari-tiap waktu. Dia? Belum tentu! Maaf kalau kesannya omonganku kasar, tapi aku ngomong gini biar kamu cepet sadar." Haris kembali menyadarkan Senja. Meskipun, suara dari sepatunya membuat Senja menggerutu.
"Iya ya? Tapi, aku masih belum bisa. Udah ku coba buat paksa, tapi gak bisa Ris. Gakpapa kalau Dia udah ada yang baru. Gakpapa kalau Dia udah lupa aku. Gakpapa. Dia berhak ngelanjutin hidupnya yang baru meskipun gak ada aku. Dan aku juga berhak, buat ngenang hal-hal yang dulu. Jadi, tolong jangan paksa aku buat ngelupain dia secepet itu ya? Aku coba, tapi gak sekarang" Senja kembali berdiri, menatap Haris seolah-olah ia akan pergi bertarung kembali.
Haris mengangguk "Gakpapa. Masih ada banyak waktu Senja. Kenang Dia sampe kamu ngerasa memori di kepala mu udah gak bisa lagi nampung kenangan kalian berdua."
"Ayo aku temenin ke ruang guru, buat ketemu sama Hilmi yang otaknya lagi gak waras itu" Haris bukan menggandeng lengan Senja, tapi menggeret tali ranselnya. Padahal, di sekolahnya ini termasuk sekolah yang Islami. Tapi, selama masih dalam batas wajar dan tidak ada yang bersentuhan satu sama lain tidak masalah. Yang jadi masalah adalah ketika kedekatan mereka dilihat oleh kepala sekolah. Maklum, kepala sekolahnya adalah seorang pria yang menjunjung tinggi ahlak dan derajat wanita.
.
.
.Senja memanggil nama Mbak Nisa sebelum membuka pintu. Sedangkan Mbak Nisa sudah tau siapa yang akan datang dari suaranya saja.
"Kok, lama amat? Perasaan ruang osis ke sini gak sejauh perasaan kamu ke Fajar deh Nja" Diasa belum menginjakan kakinya di depan meja Mbak Nisa. Tapi, sindiran Mbak Nisa sudah menancap di ulu hatinya.
Senja duduk di samping Hilmi sambil ber-istighfar. Percuma saja jika ia meladeni Mbak Nisa. Jadi, Senja hanya mengelus dadanya.
"Mbak, aku tadi udah konfirmasi sama Pak As. Kalau pemindahan jabatan Osis dan pemilihan ketua Osis dilakuin setelah bulan agustus. Kalau dipindah sekarang, siapa kandidatnya? Terus, kalau kita lepas masa jabatan sekarang, mereka ini pastinya amburadul karena gak ada bimbingan dari kita sama sekali." Senja langsung membuka suara, ia tak mau basa-basi. Posisinya, Mbak Nisa ada di balik mejanya seperti biasa. Sedangkan, Hilmi-Senja-dan haris ada di depan Mbak Nisa.
"Iya paham. Kalau gak ada kandidatnya, kamu kasih pengumuman ke mereka, siapa yang mau jadi ketua dan wakil ketua Osis buat ajaran tahun ini sampe tahun depan. Nah, karena kita hari ini hari terakhir. Tawarin adik-adik kalian yang baru ini buat ikut Osis, kasih taulah ke mereka buat jangan pulang dulu nanti kalau yang ikut organisasi ini.Kalian? Pilih kandidatnya yang bener-bener jangan asal-asalan!" Mbak Nisa memberi saran.
Mereka bertiga menganggukan kepalanya paham. Nah, begini kan Senja suka. Tidak ada tarik-tarikan emosi seperti yang ia duga.
Senja mengalihkan perhatian dari Mbak Nisa, kearah hilmi yang sedang cengengesan. "Gara-gara kamu ini, aku ketemu Mas Fajar di lorong kelas. Kan, jadi gagal move on."
"Dih, makanya jangan gamon. Giliran ketemu hilang semua caci makinya." Ujar Hilmi, yang masih dengan tawa cengengesnya.
Sedangkan Senja enggan mengalah "enak aja! Aku gak pernah ya caci maki Mas Fajar. Kalau caci maki kamu sih sering."
"Senja, ditatap 5 detik kebayangnya bertahun-tahun pasti. Gimana rasanya ketemu mantan setelah sekian lama gak ketemu Nja? Masih gantengkan? Masih sama gak perasaanya?" Kali ini, Mbak Nisa kembali bersuara. Menggoda seorang Senja yang merupakan kebahagian kecil mereka.
Senja mencebik "Ah Mbak Nisa loh mesti! Bodo amat deh! Pulang dari sini kalian berdua traktir aku mie gacoan level 3. Bodo amat aku gak mau tau! Kalau gak dibeliin, aku bocorin ban motor kalian berdua."
Senja dengan ancaman kecilnya, Untungnya Senja dipertemukan dengan mereka yang selalu membuat tertawa meskipun setengah memaki. Allah, memberikan Senja kehidupan yang berwarna-warni setiap hari.
Tolong, lindungi Anak perempuan pertama yang masih belum mengerti dunia luar Ini ya rabb.

KAMU SEDANG MEMBACA
Tiang luka
Roman pour AdolescentsDiantara hal-hal yang dibuat oleh semesta, pertemuan mereka adalah salah satu hal terindah yang mereka terima. Luka yang menganga, tertutup dengan beribu cerita sederhana.