Hari terakhir mos (2)

21 14 6
                                    

Langit cerah mengawali pagi mereka. Nampaknya, pertemuan diantara dua insan ini tak menimbulkan apa-apa. Atau, jika Senja sudah tidak bisa menahan perasaanya. Mungkin, Ia akan pergi menyatakan perasaan yang dipendam.

Bel berbunyi nyaring. Pertanda bahwa mereka harus segera memulai acara. Sedangkan Senja sudah merapalkan banyak doa di dalam hatinya.

Semoga ketika Mas Fajar tiba, Ia tidak berada di dalam ruang yang sama. Semoga ketika Mas Fajar tiba, ia tidak memancing hal-hal yang diluar kendalinya. Semoga ketika Mas Fajar tiba, perasaan itu tak kembali mengganggunya.

Mungkin, ini hanya perasaan rindu sementara. Mungkin, ini hanya perasaan yang Senja rasakan karna sudah lama tidak bersua. Mungkin, ini hanya perasaan yang Senja miliki sendiri. Perasaan yang mungkin hanya dirinya sendiri yang merasakan.

"Mbak Sen, tolong jadi Mc buat hari ini aja. Boleh gak?" Haidar tiba-tiba menghadangnya ketika mau memasuki ruang osis. Tanpa aba-aba, Tanpa rencana.

Senja mengernyitkan dahi, mendecih. "Gak bisa. Itukan bagianmu. Aku gak mau kebagian apa-apa hari ini dar. Lagian, aku mau ke pak as mau nanyain soal pergantian jabatan. Sorry dar, hari ini aku sibuk pol" pergantian jabatan OSIS tahunan sudah di depan mata. Tadi, Senja sudah di WhatsApp beliau selaku guru pendamping.  Meskipun, itu salah satu alasannya untuk tak bertemu Mas Fajar.

Sedangkan Haidar menggerutu. "Sibuk beneran, apa pura-pura sibuk? Mau menghindar dari  Mas Fajar ya?"" Entahlah, Haidar suka sekali menggoda Senja yang sering naik pitam.

Senja memelototkan matanya. Membekap mulut Haidar yang benar-benar tidak bisa diajak kerja sama.

Melepaskan bekapan tangannya. Senja menghentakkan kakinya "Ah, haidar loh! Udah deh kita gak usah temenan lagi! Gak akan aku cerita apapun ke kamu lagi!"

Senja hendak pergi, tapi tangannya dicekal Haidar yang sedang tertawa tanpa henti. "Mbak Senja ini lucu parah kalau mode anak kecil kayak gini. Yaudah deh gak jadi. Takutnya nanti Mbak Senja gak pernah cerita apapun lagi. Padahal ya Mbak, aku ini baik hati. Telinga-bahuku ini selalu ada buat Mbak"

Senja mau muntah mendengarnya. "Stop Dar. Daripada aku muntah-muntah pagi ini. Lagian, ngapain kamu gak mau jadi mc? Tugasmu itu anjir main ditinggal aja. Udah ya? Anak-anak juga udah pada masuk. Aku kayaknya cuman nongolin muka beberapa menit, terus habis itu mau ke Pak As. Duh kepalaku mau pecah. Masuk duluan aja Dar."

Senja menyuruh Haidar agar cepat masuk. Bukan apa, berdua di ruang Osis sedangkan yang lain ada di aula. Senja takut hal-hal tak terduga datang tiba-tiba. Masalahnya, mulut tak bertulang tapi mampu menyakitinya lebih dalam.

.
.
.

Setelah dari ruang Pak As untuk melakukan konsultasi. Dan menceritakan hal-hal yang membuat Senja pusing-mual-muntah belakangan ini. Ia kembali turun ke bawah, dimana para osis dan peserta didik baru sedang menonton ekstrakulikuler yang ditampilkan.

Kali ini ada Al banjari, grup yang sering tampil kece di beberapa lomba ternama. Bahkan, sering menggotong piala bergengsi.

"Sayang, habis darimana?" Bu din, guru BK nya yang pertama kali menyapa Senja ketika baru memperlihatkan wajahnya di hadapan mereka.

Salahnya Senja adalah, Ia masuk dari pintu pertama. Sedangkan, ada pintu kedua di belakang yang terdapat para teman Osis nya.

Senja memperlihatkan deretan giginya, menyalami sang guru yang baik hati. Bahkan, sering membantu Senja tanpa pamrih. "Eh bunda. Udah ngenalin diri bun? Ini Saya habis dari Pak As. Konsultasi soal pemindahan jabatan."

Bu Din, atau yang sering Senja panggil Bunda. Mungkin beliau memang tak melahirkannya. Tapi, kasih sayangnya tumpah ruah seperti sang cinta pertama. "Udah dong. Duh kasian nya anak Bunda ini. Mantanmu ada di sini loh Nduk. Udah ketemu?"

Bukan menanyakan kabarnya, Bu Dini malah memperjelas hal-hal yang Senja sudah tau pasti.

Senja menggarukan kepalanya yang sedang tertutup hijab. "Iya Senja tau kok. Belum ketemu sih. Tolong doain biar gak ketemu ya Bunda. Takut move on nya senja gagal total"

Bu Dini tertawa sambil menutup mulutnya. "Kamu ini loh, kalau masih sayang omongin aja. Gakpapa tau nduk. Apalagi, Fajar itu orang yang baik. Bukan orang yang petantang petenteng kayak yang lain. Orangnya kan bener-bener lurus dia itu. Bunda dukung kalau Senja balikan sama Fajar"

Bukan itu yang Senja permasalahkan. Tapi, Senja takut merusak harga dirinya yang ia junjung tinggi. Memang seorang Fajar tak pernah menyakitinya. Memang seorang Fajar tak pernah meminta ini-itu.

Senja hanya tersenyum menanggapi. Senja mau. Tapi, belum tentu Fajar juga Sama. Senja bisa. Tapi, belum tentu Fajar menjilat ludahnya kembali.

Senja pamit undur diri. Ia harus bertemu rekan-rekannya untuk menanyakan penutupan acara yang sebentar lagi. Evaluasi diri yang memakan waktu banyak jam. Sedangkan, Di depan sana sudah banyak perlombaan dan acara yang menantinya.

"Ril, kata Mbak Fat laporan keuangannya ditunggu. Udah kan tapi?" Senja langsung menanyakan laporan yang Mbak Fat minta tadi pagi.

Niril mengacukan jempol. Tanda laporan sudah selesai sesuai perkiraan.

"Mbak, bentar lagi pencak silat loh. Saranku mbak ngumpet deh." Niril memberikan informasi penting. Padahal, Senja baru saja mendudukkan pantatnya di kursi. Baru saja Senja mau bernafas dengan tenang. Naik-turun lantai 3 ke lantai 1 membuat nafasnya tak karuan.

Senja langsung berdiri dari duduknya setelah mendengar informasi tersebut. "Beneran ril? Allahu Akbar. Sembunyi dimana ya ril? Duh bentar mau keluar"

Senja yang ingin keluar, tiba-tiba ditahan oleh Bu Endah. Ditarik ke depan untuk duduk di samping Bu Endah Dan Bu Dini. Sedangkan Senja sudah ingin menangis.

Grup al-banjari sudah selesai dengan penampilan mereka untuk menarik peserta didik baru. Sedangkan sebentar lagi, para atlet pencak silat sudah memasuki ruangan yang tersedia. Sedangkan Senja, Terperangkap di depan bersama Bu Dini dan Bu Endah.

"Ibu-Bunda, Senja mau pipis please. Kenapa ditarik kedepan gini deh? Duh" salah satu alasan yang tidak dapat Senja duga keluar dari mulutnya. Terperangkap di antara dua manusia yang mengetahui seluk beluk kisah cintanya.

Bu endah mendudukan Senja di samping kursinya. Memegang tangan Senja agar tidak bisa bergerak kemana-mana. "Gak bisa. Gak ada alesan apapun. Udah nikmatin pemandangan mantan yang bentar lagi tampil. Eman"

Tiang luka Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang