𐙚 Leftover Feelings ꕮ ࣪ ׅ
"MASUK WOY! SIAPA YANG NYEBARIN HOAKS DI GC SEMALEM KALO PAK TEDJA KAGAK MASUK?! BJIRLAH! MANA GUE DAN AKUNTANSI ENGGAK RUKUN SAMA SEKALI."
"Iya lagi. Gue juga."
Nina ikut menimpali. Tapi sebatas melolong di dalam hati. Suaranya tentu akan kalah dari kebisingan suasana di kelas IPS yang mustahil senyap kecuali saat berdoa dan mengheningkan cipta aja.
Berkali-kali Nina membasahi bibirnya sebab keburu deg-degan jauh sebelum guru Ekonomi memasuki kelas. Kalau udah begitu, Nina tahan berlama-lama menundukkan kepala pura-pura berkutat pada buku. Demi apa pun, Ekonomi cuma seru di kelas sepuluh. Sisanya saban minggu di hari Rabu dan Sabtu selalu Nina isi dengan misah-misuh. Memang seenggak klop itu antara Nina, rumus, dan angka-angka dalam satu waktu.
"Salin, Kak. Kalo belum selesai dan keburu dipanggil ke depan, bawa aja bukunya."
Nina tanpa sadar mengembus napas lega. Kalo hidup layaknya film yang dikotak-kotakkan sesuai genre, bagi Nina kehidupannya di sekolah tentulah bergenre horor dengan Giyatsa Reagan Aradana berperan sebagai hantunya. Abisnya, cowok itu suka mendadak muncul. Atau lagi genre akan berganti menjadi aksi dan petualangan di mana Gatsa gemar pasang badan meng-cover kekurangan Nina dalam banyak pelajaran.
Kehadiran Gatsa hanya berselang hitungan detik lebih awal dari Pak Tedja. Selepas meletakkan tas kempes di bangkunya sendiri yang berada di tengah-tengah, Gatsa menarik kursi kosong di samping Nina hanya dengan membawa seperangkat alat tempur akuntansi.
"Gatsa, congratulation! Nggak pernah gagal dalam panjat tebing." Sembari menyalin hasil pekerjaan milik cowok yang hampir tumbang dijajah kantuk padahal jarum jam belum genap menyentuh angka delapan, Nina enggak kelupaan mengucapkan selamat sekaligus memberi sesuatu. "Nih, hadiah."
Gatsa menerima selembar kertas origami mini yang pada dasarnya udah mini-makin terlihat mini-karena Nina gunting menjadi beberapa bagian lagi. Dan seperti dugaan, sudut-sudut bibir Gatsa berkedut membentuk simpul senyum. "Yes, dapet hadiah sepatu. Besok-besok kalo juara lagi, bakal dapet apa, ya, dari Kak Niana?"
Meski sebal menyadari bahwa Gatsa tetap nggak konsisten memanggil dirinya dengan satu sapaan, Nina menjentikkan jari. "Kaos kaki!"
"Tapi kalo cuma beginian doang jatohnya penipuan nggak sih, Na? PHP juga."
"Manifesting! Kalo penipuan kedengerannya enggak enak banget. Apalagi PHP!" Nina memprotes. Siap mengambil alih kembali kertas origami yang dihiasi sebuah ilustarsi sepasang sepatu gunung di sana. "Sini, kembaliin kalo nggak mau."
Gatsa dengan segera mengamankan kertas yang udah ia lipat rapi ke selipan buku besar akuntansinya yang sedang terbuka. "Mau terus-terusan juara, ah. Penasaran next bakal dikasih hadiah lewat perantara gambar apa lagi sama Nina. Tapi bentar, sekarang mau bobo dulu."
"Semerdeka anak kesayangan semua guru aja!" Nina enggak berpaling dari tulisan tangan Gatsa. Untuk ukuran anak cowok, terus terang tulisan Gatsa bahkan lebih bagus ketimbang Nina. Udah gitu rapi juga. Jika Nina butuh pensil dan penghapus untuk menggaris supaya lurus, Gatsa dengan sekali percobaan menggunakan penggaris dan pena semata langsung gotcha! Dari ini jelas kentara, kan, letak jomplangnya Nina dan Gatsa pada hal remeh-temeh sekalipun?
"Baru dua minggu di kelas 12 gue udah hopeless banget, Gat, sama akuntansi." Nina mengeluh. Kernyitan samar di dahinya menyebar penuh. "Kata Pak Tedja kunci ngerti akuntansi itu di satu minggu pertama. Kalo enggak nyimak apalagi enggak masuk dua pertemuan berturut-turut, siap-siap aja ngang-ngong sampai mau lulus. Nah, kita kan, berdua sama-sama enggak masuk, tuh. Tapi yang terbukti dari kata-kata beliau kenapa cuma di gue, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
leftover feelings
Teen FictionIni tentang Giyatsa Reagan Aradana dan Niana yang keliatannya betah-betah aja kejebak HTS. Gatsa suka Nina, dan Nina melakukan hal yang sama. Tapi setelah ditelaah, definisi suka bagi Gatsa dan Nina sepertinya berbeda. Gatsa juga udah kenyang sekali...