𐙚 : seels

43 11 7
                                    

Nina melompat turun dari pembatas tembok setinggi pinggang orang dewasa yang ia duduki sejak setengah jam lalu untuk bergegas memperkecil jarak begitu kemunculan Gatsa tampak tergesa ingin menyeberangi jalan.

"Hi!" sapa Nina tatkala ujung sepatu mereka bersinggungan. "Maaf, ya. Buat yang tadi pagi. Gue enggak ada maksud ikutan ketus sama lo."

"Perasaan jidatnya yang kemaren-kemaren baru sembuh, kan? Sekarang udah nambah lagi aja. Di tempat yang sama persis malah." Meraih tangan Nina, dibawanya gadis itu menuju bangku umum terdekat dengan cahaya lampu temaram menyirami. Enggak jauh dari sini, sebuah taman masih menunjukkan eksistensi. Banyak pengunjung di malam hari sekadar duduk sendiri, berpasangan, hingga membawa keluarga kecil menikmati camilan sambil memandangi kolam air pancur. Beberapa spot jajanan juga turut meramaikan. Gatsa memesan dua cup es krim rasa cokelat lengkap dengan tela-tela rasa jagung manis kesukaan Nina yang langsung disambut hangat oleh gadis itu.

"Scarf-nya gue cuci dulu, ya." Nina menyenggol lengan Gatsa pelan. "Gue diskors dua hari, omong-omong. Entar kita janjian ketemu lagi lusa kisaran jam empat sore, gimana? Buat balikin scarf-nya. Mau dipake buat acara diksar, kan?"

"Simpan aja nggak papa."

"Kok gitu?" Nina mengernyitkan alis. "Jangan, dong. Kan udah berdarah-darah ngedapetinnya waktu kelas sepuluh. Gue aja ngerasa bersalah banget scarf-nya terpaksa dipake buat nahan luka di kening gue."

"Mana ada terpaksa." Gatsa mendengkus. "Memang sengaja, ya. Bukan terpaksa."

"Lo enggak pengin nanya, gitu?"

Menandaskan es krimnya yang mencair, Gatsa melirik Nina sekenanya. "Untuk?"

"Semua yang enggak sengaja lo denger dan lihat." Nina mengambil satu tela secara random dari dalam kantong kertas makanan yang ia pegang kemudian mengarahkannya ke mulut Gatsa yang telah otomatis menganga lebar.

Gatsa menggeleng. "Kalopun mau, gue juga bingung harus mulai nanya dari mana. Balik ke pengaturan awal aja, Na. Soal menghargai privasi, Gatsa juaranya."

"Asikkk!" Nina tertawa menabok bahu Gatsa berkali-kali. Tabokan yang meski refleks, enggak menimbulkan rasa sakit karena naboknya ngelibatin perasaan. Diusap-usapnya punggung cowok yang melapisi seragam sekolahnya dengan bomber hitam sebagai penanda anggota komunitas pecinta alam Gantara itu. "Lo nggak harus selalu ngebela gue, kok. Kalo gue salah, tegur aja. Enggak usah segan. Definisi umur hanyalah angka berlaku juga buat konteks kayak gini."

"Enggak. Udah bener. Justru lo perlu protes. Enggak make sense, Kak, kalo cuma lo doang yang kena skors. Terlepas lo salah ngejambak rambut Yara, lebih parah dia ngelempar vas bunga sampe jidat lo hampir kena jahitan karena lukanya cukup dalam. Mau benar atau enggak setiap perkataan yang nggak sekali dua kali Yara lontarin ke elo, cara dia memang salah dari awal. Kesannya sengaja nyoba nyari atensi supaya anak-anak ikutan ngebenci lo. Udah gitu peran sekolah di sini keliatan banget jomplangnya. Enggak tegas ke anak-anak kayak Yara yang punya power sebagai anak pejabat atau orang berada."

Nina bergeming. Barulah sekon-sekon berikutnya ia mengedipkan mata lamat-lamat, terkesima. "Gaaaat. Demi apa, deh, lo keren terus! Lebih ke ... apa, ya. Ini kayaknya salah satu alasan kenapa lo kepilih jadi ketua PA!" Nina bertepuk tangan, walau pelan tetap meriah. "Jarang-jarang Gatsa ngomong panjang lebar. Sekalinya ngomong, isinya daging. Tipikal yang diem-diem pemikir abis. Coba nanti alasan 'letak kurangnya di mana' lebih variatif lagi, ah! Jangan jawab cuma nggak bisa milikin gue doang mulu."

"Katanya, kalo kita lagi jatuh cinta sama seseorang, hal-hal kecil dan remeh-temeh sekalipun jadi nampak sempurna, Na. Enggak ada minusnya." Gatsa lantas mengulum senyum. "Jadi semisal enggak ada angin enggak ada ujan lo akhirnya tetiba bilang suka balik ke gue, guenya pura-pura kaget aja, ah."

leftover feelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang