𐙚 : sepuluh

38 9 3
                                    

Tujuh hari pasca menerima penanganan dari RS yang baru kali pertama ini rasanya dipermudah karena ayahnya Gatsa, jahitan di kepala Nina semalam udah bisa dilepas. Gatsa yang belakangan sibuk mempersiapkan diksar sekaligus HUT KPA Gantara bahkan tetap membikin waktu untuk menemaninya.

Ah, kata-kata milik salah satu musisi indie favorit Nina jadi terlintas kembali. Dalam sebuah wawancara, Baskara pernah bilang kalo makna cinta itu sendiri menurutnya ketika ada sesuatu yang kita rela bikin waktu buat itu. Entah ke orang, benda, atau kegiatan. Kata-kata "enggak ada waktu" hanya omong kosong dan akal-akalan belaka. Sebab waktu bukan dicari, melainkan kita yang membikin waktu untuk itu.

"Dan di saat gue melakukan atau nge-treat sesuatu atau seseorang dengan seperti itu, gue tau kalo gue sayang sama hal itu."

Nina menggeleng, menepis pikirannya yang mulai merambat ke mana-mana. Nina ingin menyudahi perasaan seakan dirinya tampak begitu istimewa di mata seseorang. Terus terang rasanya enggak menenteramkan. Serasa ada beban berat yang menimpuk dadanya sehingga ia kesulitan untuk bernapas.

Sederhananya, Nina terlalu takut dan merasa enggak pantas buat dicintai oleh siapa pun. Perasaan semacam demikian sungguh melelahkan, ya?

"NIANI SIALAN! SIALAN! SIALAN!"

Nina terenyak. Pulpen yang ia ketuk-ketuk di jidat serta merta terjatuh begitu aja dan meninggalkan coretan kecil di buku tulisnya yang lagi terbuka. Rasa keheranan Nina terwakilkan lewat teman-temannya yang lebih dulu bereaksi melihat Yara melempar tas dan menggebrak meja saat tiba di kelas. Serta jangan lupakan perihal Yara yang seenaknya memelesetkan nama Nina menjadi terdengar sarat umpatan.

"ENGGAK ANAK ENGGAK NYOKAP SAMA GILANYA! SESUSAH ITU YA IDUP LO PADA SAMPAI NGEGODA LAKI ORANG?!"

Di kursinya, Nina duduk bersandar dengan kedua tangan bersidekap. Menatap setengah minat kegaduhan yang sedang Yara coba pertontonkan.

"BUTUH BERAPA HAH? BUTUH BERAPA? SESUSAH APA EKONOMI DI KELUARGA LO SAMPE NGEGODAIN LAKI SEKALIGUS BOKAP ORANG? NYOKAP LO KAYAK ENGGAK PUNYA LAKI AJA BUAT NGENAFKAHIN! BILANG YA KE NYOKAP LO YANG KEGATELAN PLES MATA DUITAN ITU! DASAR KURANG BELAIAN!"

"Mental pecun. Ganti aja, tuh, nama jadi Niani sekalian! Emang itu, kan, mau lo? Pengin jadi ani-ani kayak emak lo!"

Beranjaknya Nina tanpa aba-aba membuat bangku yang gadis itu duduki kontan terperanyak ke lantai hingga makin menggemparkan seisi kelas. Nina menghampiri Yara dan membalikkan tubuh gadis itu. Sebuah tamparan seketika mendarat di pipi kanan Yara. Keras. "Keterlaluan! Lo udah keterlaluan namanya." Nina makin menghabisi jarak hingga Yara terpojok ke tembok, enggak diberikannya Yara akses untuk membalas apa lagi membebaskan diri. Nina udah muak, betul-betul muak memaklumi setiap kata-kata kurang ajar yang dilontarkan oleh Yara hampir saban hari. Dan kali ini, sungguh enggak dapat Nina tolerir lagi manakala Yara mencerca ibunya habis-habisan.

"Apa? Mau ngejambak? Nih, nih Yar. Tarik rambut gue sampai ke akar-akarnya." Nina melepas ikat rambut hingga rambut hitam pekatnya yang dikucir satu lantas terurai. "Enggak berani?" tantang Nina dengan senyum sinisnya. "Sini, sini gue ajarin." Nina membawa paksa Yara yang telah antisipasi. Tatapan Yara mulai ciut, namun tetap berusaha agar nyala kebencian yang mengakar itu enggak redup sepenuhnya. "Gue tarik rambut lo sampai kita tiba di ruang BK. Di sana bebas lo numpahin carut-marut dan sumpah serapah. Tapi enggak di sini, di depan temen-temen seolah negasin kalo gue dan keluarga gue senista itu."

"LEPAS! LEPASIN, NIN! ANJING LO!"

"Gue bisa lebih anjing daripada ini, asal lo tau aja. Makanya berdiri, Yar." Nina enggak melepaskan jambakan di rambut Yara meski si penyulut masalah udah berlagak menjadi korban yang paling tersakiti dengan sengaja menjatuhkan diri di ambang pintu.

leftover feelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang