𐙚 : du

101 27 13
                                    

𐙚 Leftover Feelings ꕮ ࣪ ׅ 

"Gimana? Oke, belum? Kesempitan atau kelonggaran?"

Nina memastikan bahwa harness yang ia bantu pasangkan di seputar pinggang Gatsa udah aman. Begitu Gatsa mengangguk dan mulai mengenakan pelindung kepala, Nina beralih ke chalk bag dan mengaitkannya pada pinggang bagian belakang cowok itu. Lalu dielusnya punggung Gatsa dua kali. "Siiip! Bubuk magnesiumnya juga masih banyak."

Dengan kedua tangan bersidekap di dada, Nina menyaksikan Gatsa yang sedang berbaur dengan dunia yang cowok itu sukai. Sepengamatan Nina, Gatsa memang sangat menyukai alam dan tantangan. Jadi begitu bergabung ke Pecinta Alam Gantara yang mana di dalamnya juga menaungi Rock Climbing dan Flying Fox, kecintaan Gatsa pada hal tersebut bertambah besar. Bahkan saking klopnya antara Gatsa dengan berbagai aktivitas di klub PA, cowok itu ditarik menjadi brand ambassador sebuah perusahaan perlengkapan rekreasi alam milik anak bangsa sejak satu setengah tahun yang lalu.

"Heran. Keren terus, deh."

Di tengah aktivitas, tawa Gatsa mengudara sekenanya. "Nina doang kalo lagi muji bikin orang yang denger bukannya salting malah kerepotan mikir."

"Enggak usah repot-repot dipikirin sih, Gat." Nina balas tertawa. Sepasang jempol dan jari telunjuknya bertemu, membentuk persegi panjang layaknya digicam yang sedang menyoroti Giyatsa Reagan Aradana untuk mendapatkan pose terbaik sebagai atlet panjat tebing. "Justru gue yang aneh. Cowok semenyala Gatsa, kok, konsisten suka sama cewek yang pernah tinggal kelas, ya?"

"Konsisten banget nggak, tuh, Kak!" Gatsa dengan suatu kebiasaan memanggil Nina dengan kata sapaan yang diperuntukkan kepada orang yang dianggap lebih tua kembali spontanitas hadir. "Tinggal kelas doang bukan berarti gagal seumur hidup, kok."

"Move on dong, Gat," celetuk Nina berkelakar. "Tuh, banyak adik kelas dan temen seangkatan dari kelas lain pada curi-curi pandang merhatiin lo."

"Sementara lo yang bisa terang-terangan ngeliat gue kapan pun malah nggak suka gue, Na." Gatsa meloloskan kalimat itu tepat ketika sudah menuruni wall climbing dengan sempurna. Satu-satunya tujuan yang Gatsa pikirkan sekarang adalah berhadapan dengan Nina. "Jangan sering-sering minta gue buat berhenti suka sama lo secara halus kayak barusan ya, Na. Biar gue berhenti sendiri aja kalo udah jenuh." Lalu Gatsa melewati Nina begitu saja yang masih memaku di posisinya. "Itu pun kalo jenuh."

Nina mengangkat bahu seraya mendecak kecil. Disusulnya Gatsa yang telah membebaskan peralatan sport climbing dari tubuh dan menenggak air mineral dalam tumblr. "Noted kalo gitu. Jangan keburu jenuh dulu, ya. Di hidup yang cuma satu kali ini, kapan lagi punya seseorang yang bisa rangkap peran sekali tiga. Temen, adek, dan ... kakak!"

Gatsa tersedak minumannya sendiri. "Udah bener gue berhenti nyoba ngertiin lo dari lama ternyata, Na. Omongan sama sikap lo suka nggak sinkron."

Gatsa berlutut di depan Nina yang sedang menarik ritsleting jaket parasut hitam kesayangannya yang udah belel lantaran sering dipakai sejak cewek itu SMP. Dengan cekatan Gatsa mengikatkan ulang tali sepatu Nina yang terlepas lalu mendongak untuk menemukan netra cokelat terang gadis itu. "Beli baru, yuk?"

"Apanya? Ini?" selain jaket, sepasang sepatu milik Nina kalau bisa berteriak barangtentu udah sedari lama ingin demo minta diganti. Enggak cuma kusam, tetapi juga udah sempit tetap Nina paksakan agar muat di kaki setiap kali harus bergerak lincah mengikuti irama lagu senam. "Masih layak pakai, kok."

"BUSEEET ENGGAK EKSPEK KALO CANDID-NYA BAKAL SECAKEP INI!"

Gatsa dan Nina kompak menoleh pada sumber teriakan. Greg Ethan, teman sekelas mereka berjalan tanpa mengalihkan fokus dari kamera yang dikalunginya. "Bisa banget dipake buat bahan update di feed sama story ig lo yang berdebu, Gat. Lagian gimana, dah, ceritanya BA Eiji tapi malah jarang nge-post!"

leftover feelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang