"Gatsa mau ikut masuk?"
Mendengar ajakan itu, Gatsa segera mengekori Nina ke dalam ruangan. Hal pertama yang mereka temukan adalah seorang wanita yang sedang terbaring lemah di atas brankar. Tangan bebas wanita itu yang enggak terpasang jarum infus seperti baru aja menyeka sesuatu di sudut mata dengan sangat cepat. Seakan takut apabila sisi lemahnya tersibak.
Jika Nina hanya tersenyum, maka Gatsa mengangguk dan sedikit membungkukkan badan sebagai bentuk menyapa. Enggak ada basi-basi dari Nina untuk sekadar menanyakan keadaan wanita di pertengahan kepala tiga itu. Sebab dari situasi yang tengah terjadi, jawabannya udah pasti wanita itu sedang enggak baik-baik aja. Alhasil, keprihatinan Nina kepada Jani terakumulasi melalui sebentuk tindakan. Merapikan baju yang dikenakan Jani sebelum berganti menjadi baju pasien rawat inap, memasukkan sepatu hak tinggi ke dalam kantung belanja ramah lingkungan lalu menukarnya dengan slipper putih, hingga memijat kaki Jani dalam diam.
"Kayaknya dia enggak mau punya ibu kayak gue deh, Nin. Makanya nyerah duluan kali, ya? Apa jangan-jangan juga waktu di dalem perut dia udah di-spill kalo entar lahir ke dunia, ibunya ternyata modelan perempuan yang luntang-lantung kayak Jani sementara bapaknya nggak mau nafkahin dan ngakuin dia sebagai darah daging." Dahi Jani berkerut-kerut layaknya orang yang paling keras memikirkan kemungkinan terburuk.
"Kamu mau kasih namanya siapa, Jan?" tanya Nina belum berhenti memberi pijatan secara bergantian di kaki kiri dan kanan Jani. "Cewek, kan, jenis kelaminnya?"
"Belum sempat dipikirin," sahut Jani dengan nada ketus. "Nggak mau. Bad mood, Nin. Kalo lo punya saran nama, lo aja yang namain. Orang anaknya udah meninggal juga," sambung Jani lagi ceplas-ceplos. Tapi suaranya terdengar parau.
"Edelweiss gimana?" Nina memberi sumbangsih. "Abadi, Jan. Dia bakal abadi dalam ingatan kamu. Fyi, Gatsa anak gunung. Dari cerita Gatsa aja selain abadi, bunga Edelweiss itu aslinya cakep pake banget. Apa lagi kalo di lihat saat sunrise. Alamat enggak mau buru-buru turun saking cantiknya view yang ada. Ya kan, Gat?"
Gatsa yang belum berkutik sama sekali lantas mengangkat kepala. Sekon itu juga netranya bertemu pandang dengan Jani yang masih memalingkan muka dari Nina. Kendati agak canggung, Gatsa tersenyum meyakinkan. "Iya, bener. Sering disebut sebagai bunga keabadian." Sejurus kemudian Gatsa merogoh ponselnya untuk memperlihatkan foto-foto bunga Edelweiss yang sempat ia potret di beberapa puncak gunung yang berhasil ia daki.
"Semerdeka lo aja, Nin." Jani menutup mata, enggak mau ambil pusing. Cuma bertahan berkisar lima belas menit, tetapi Jani udah bergerak-gerak gelisah.
"Kenapa, Jan? Sakit di bagian mana? Mau aku panggilin suster?"
"Gue mau pipis, Nin...," rengek Jani bak bocah lima tahun yang serba apa-apa butuh peran orang dewasa di sisinya.
Nina ber-oh-ria. Menjentikkan jemari, Nina bergegas memutari ranjang untuk memapah Jani guna buang air kecil. Senyum Nina juga sempat terukir lembut tatkala menyadari tubuh menjulang Gatsa telah sedikit membelakanginya untuk bantu memegang botol infus sampai ke ambang pintu toilet. Enggak cuma itu, Gatsa bahkan menggeser slipper tepat di mana Jani akan turun.
Beberapa menit kemudian, dua perempuan beda generasi itu udah keluar. Gatsa mengambil alih kembali botol infus dari tangan kiri Nina usai menutup pintu hingga menggantungkannya lagi ke tempat semula.
"Nin, tau nggak? Dulu pas masih kecil, lo pernah nyeletuk dengan semangatnya mau ngurusin gue sama Bagja. 'Nanti, Nina urusin Ibu sama Ayah, ya. Ya, ya, ya? Pokoknya Nina bakal urusin, jagain, dan sayangin!'." Suara Jani melunak, menirukan bagaimana nada Nina kecil yang terdengar begitu antusias sisa-sisa kenangan yang barangkali masih tertata rapi di kepalanya.
"Oh ya?" netra Nina membulat sempurna. Dengan kedua alis bertaut, Nina berusaha keras mengingat-ingat. Tapi berikutnya yang Nina lakukan hanyalah tersenyum semringah. "Kalo gitu pas banget! Anggap aja ini aku lagi simulasi ngurusin kamu ya, Jan."
Jani menangis tanpa suara. Hanya air mata saling berkejaran untuk jatuh ke pipi sebagai saksinya. "Nin, besok pagi-pagi coba lo pergi ke toko emas buat jualin cincin sama kalung gue, ya. Seberapa pun nominal yang ditawarin, gas aja." Satu-satunya cincin di jemari Jani beserta kalung yang senantiasa melingkari leher jenjang perempuan itu telah dilepas, siap diserahkannya ke tangan Nina. "Suratnya udah nggak tau di mana, jadi harganya pasti turun drastis. Nggak papa," katanya lagi yang kali ini diikuti kekehan sumbang. "Ada baiknya juga, Nin, dia nggak sampai lahir. Gue ternyata nggak punya persiapan apa-apa. Modal bikinnya doang. Ini pasti gue kemakan omongan sendiri karena suka ngata-ngatain Bagja."
Nina mendecak. "Padahal, kamu masih dan bakal tetep jadi peringkat pertama di hidup aku, Jan. Karena sekalinya udah kenal kamu sebagai sosok ibu, sampai kapan pun bakal terus kayak begitu predikatnya." Nina lalu mengacungkan dua jempol. "Keren banget, tauk! Jani si ibu dua anak cewek," tutur Nina lagi tanpa bermaksud menghibur. "Oh ya, soal biaya rumah sakit nggak usah khawatir. Udah Niana beresin. Dan ditalangin juga sama cowok di belakang. Um ... bilang apa ya, Jan?"
Gatsa menggerak-gerakkan tangan sewaktu bersirobok kembali matanya dengan Jani. "Jangan bilang makasih, Tan. Gatsa talangin karena Nina mau ngejual jam tangan yang Gatsa kasih buat nutupin sisa biaya rumah sakit."
"Definisinya 'orang kaya mah bebas' banget, ya, si Gatsa anak Radana ini." Gelagat Jani seperti sedang ngerumpi secara terang-terangan di depan muka orangnya langsung. "Lo nggak sampai nukar tubuh lo beneran kayak apa yang diasumsiin sama Bagja, kan, Nin?"
Lain halnya dengan Gatsa yang udah membeliak nggak percaya, Nina justru terkikik geli. "Orang Gatsa-nya aja udah keep dari jauh-jauh hari mau menikah sama aku, kok, Jan. Ya kali aku kasih cicip duluan cuma-cuma. Entar kalo udah dikasih terus di tengah jalan dia tetiba putar haluan alias bosan sama aku, gimana? Yang banyak dirugiin otomatis pasti aku. Nggak maulah! Lagian Gatsa juga anak baik-baik. Jadi cukupin di aku aja ya, Jan, usaha buat ngajak ngerasain dunia luar yang bisa membikin sampai kebawa arus itu. Aku kebal soalnya."
"Oh ya, omong-omong soal Bagja ...," Nina menggantungkan kalimatnya agak lama. "Waktu aku lagi keluar sebentar buat ambil baju di Happy Gym, Gatsa yang aku mintain buat tinggal di kursi tunggu katanya sempat ngeliat ada Bagja. Pasti Bagja lagi dalam mode waras mau nyari tau kondisi kamu."
"Cuih!" Jani mendecih. "Sori, nggak kemakan. Dan kalo niat lo mau menghibur gue dengan informasi kacangan itu, nggak mempan, Nin. Kayak template anak jaman sekarang, Bagja b-nya tuh buta, bajingan, beruk! Buta karena nggak bisa lepas dari jeratan cinta pertamnya."
Nina tertawa, namun matanya berkebalikan. Ada kesedihan terpancar di sana. "Padahal kamu juga sama parahnya kayak Bagja kalo soal dibutain sama hal begitu, Jan...."
𐙚 Leftover Feelings ꕮ ࣪ ׅ
yeay up lagi. masih sama: terima kasih buat bestie-bestie virtual-ku yg masih baca cerita ini🙆♀️🫀🦋
Ikuti saluran scarf merah gatsa di WhatsApp: https://whatsapp.com/channel/0029VanGzxY9Bb65LS5P9u39
Regards,
Ichaaaaa
KAMU SEDANG MEMBACA
leftover feelings
Teen FictionIni tentang Giyatsa Reagan Aradana dan Niana yang keliatannya betah-betah aja kejebak HTS. Gatsa suka Nina, dan Nina melakukan hal yang sama. Tapi setelah ditelaah, definisi suka bagi Gatsa dan Nina sepertinya berbeda. Gatsa juga udah kenyang sekali...