𐙚 : empt els

36 7 6
                                    

"Gimana-gimana? Niana masih belum ada kabar sama sekali?"

Kehadiran Gatsa yang terbilang paling akhir dibanding teman-teman 12 IPS 5 yang lain seketika dibombardir pertanyaan. Gatsa menggeleng sebagai jawaban. Bahkan sejak kemarin WhatsApp Nina selalu centang satu.

"Yah ... padahal misi buat supaya Nina-Yara baikan di makrab cuma bercanda doang. Nggak mungkin Niana seriusin, kan?" Greg—selaku tuan rumah tiga kali berturut-turut dalam penyelenggara acara tahunan kelas mereka—mendesah kecewa.

"Guys, beneran di antara kita enggak ada satu pun yang tahu alamat rumahnya Nina di mana?"

"Yeuuu kocak! Lo kan ketua kelas, Yas. Justru kita yang harusnya nanya gitu ke elo. Apa gunanya punya bekingan guru tapi nggak nyoba nyari tau identitas temen sendiri. At least arsip guru BK pasti ada biodata lengkap tuh cewek." Celine dan Fanny yang sedari tadi senantiasa berdiri di jangkauan Yara layaknya dayang buka suara. Sarkas.

"Temen sendiri?" kutip Trias agak tersulut emosi. "Plis, sejak kapan lo nganggep Nina temen? Nggak usah ngompor deh, Cel!"

"Buseeeet udah-udah!" Greg melerai. "Ini makrab terakhir bjir! Kurang-kurangin dah dramanya!"

"Gue tau."

"What?!"

"Tau apa, Val?"

Gatsa yang banyak diam dan hanya memandangi nyala api dari kayu bakar di tengah-tengah tanah lapang villa pribadi milik keluarga Greg Ethan Silalahi lantas menoleh ke sumber suara. Sekon itu juga mata Gatsa dengan sohibnya sedari kerucil bertumbuk.

Dengan helaan napas terdengar agak berat, Valiant meninggalkan kursi empuk yang keburu membuatnya malas buat ngapa-ngapain. "Iya, gue tau rumah Nina. Biar gue aja yang coba ke sana," tukasnya sambil mengenakan bomber hitamnya kembali. "Ikut, Gat?"

"VALL?!" Greg baru lepas dari jerat ketersiapan. "AH ELAH BANGSUL KE MANA AJA BARU NGOMONG SEKARANG?"

Valiant tersenyum tipis sepanjang menuju ke arah Gatsa untuk merangkul cowok itu hingga masuk ke dalam mobilnya. "Yuk, Sa-yang!"

𐙚 Leftover Feelings ꕮ ࣪ ׅ

"Lo nggak bercanda, kan?"

"Iya. Akal-akalan aja. Aslinya pengin nyulik lo buat diajak malmingan," goda Valiant dengan watadosnya. Melihat Gatsa tampaknya lagi dalam mode enggak sreg buat bercanda, Valiant mendeham. "Beneran gue tau, Gat."

"Kenapa lo nggak bilang?"

"Ya ... karena lo nggak pernah nanya?" jawaban Valiant terdengar layaknya pertanyaan yang diumpan balik. "Tenang. Gue lebih suka lo ketimbang Niana, kok. Percaya, deh. Enggak ada hubungan apa-apa gue sama kakak favorit lo."

"Nggak lucu, Homo."

Tawa Valiant kontan meledak. Saking lucunya muka tanpa ekspresi Gatsa barusan membuat Valiant tanpa sadar memukul-mukul setir. "Lo tegang banget kayak bakal ketemu camer aja. Rileks, Sa. Rileks," seloroh Valiant masih jail tipis-tipis lewat nama panggilan yang paling Gatsa hindari.

Karena bagi Gatsa, setiap kali Valiant memenggal namanya jadi "Sa" seperti tadi, kedengerannya bener-bener sus. Pernah saking jengkelnya dengan tingkah Valiant, Gatsa nyeletuk begini, "di hidup yang cuma sekali ini, rugi banget kalo lo berakhir doyan sesama batang."

Walhasil Valiant Cuma nyengir masam. Menepuk tangan dengan jeda yang berarti dan menukas, "pait, pait, pait!"

Hampir dua puluh menit membela jalan raya, belum ada hilal mereka akan tiba di tempat tujuan. "Lo punya utang cerita ya, Val, kenapa bisa tau rumah Nina."

leftover feelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang