𐙚 : tujuh

60 17 0
                                    

𐙚 Leftover Feelings ꕮ ࣪ ׅ

"Mana lagi, Kak, yang mau dibersihin?" Gatsa meregangkan otot-ototnya saat sedang bersih-bersih pada pukul setengah tiga dini hari. Tanpa menunggu komando atau sinyal dari Nina, cowok itu udah berinisiatif melepas matras, mengumpulkannya menjadi beberapa tumpukan lalu hilir-mudik membawanya menepi sebelum kelak dipasang lagi. Begitu Nina mulai menyapu, Gatsa menyusul di belakang untuk mengepel lantai. Ada pun pekerjaan terakhir yang menanti mereka ialah mengelap kaca cermin besar. Nina di sisi kiri, sementara Gatsa di sisi kanan. Tawa membaur tatkala bahu mereka berbenturan sesampainya di tengah-tengah cermin.

"Pesona anak cowok pertama dan pecinta alam emang bikin silau!" Nina memberi pujian di sela tawa. "Emang boleh lebih cekatan ketimbang gue yang notabenenenya anak cewek?"

Gatsa menyugar rambutnya ke belakang yang udah bersimbah keringat. "Ini basic. Tolong bangkunya. Biar gue yang bersihin bagian atas."

"Menyala manly man-ku!" Nina sudah menahan kursi saat Gatsa mulai naik untuk meminimalisir hal yang enggak diinginkan terjadi. Seperti kepeleset jatuh mengingat lantai yang masih licin, misalnya. "Di rumah pasti Gatsa jadi ketua rodi."

Gatsa refleks tergelak. "Iya. Ancamannya buat Gani, Gelar, dan Garvi enggak boleh ada yang main sebelum ngelarin jobdesk masing-masing."

"Siapa yang ngasih mandat? Body Gat juga, ya?"

Tawa Gatsa menyeruak lagi. "Lo sedemen itu ya, Na, sama pelajaran IPS khususnya Sejarah? Istilah yang lo pake suka bikin salfok parah." Berikutnya Gatsa mengangguk, siap merespons pertanyaan Nina sebelumnya. "Mama banyak kesiannya. Jadi gue yang ambil alih. Enak aja punya empat anak lanang—khusus jobdesk Gael menyusul—tapi enggak dimanfaatin tenaganya buat sekadar beres-beres rumah doang."

Nina menyipitkan mata, penuh selidik. "Apa jangan-jangan lo jago masak juga?"

"Lumayan, ya. Tapi sengaja, enggak seenak dan se-sat-set mama. Untuk yang satu itu gue mau jadi amatir terus aja. Masakan mama abisnya juara!"

Nina sependapat. "Bekal yang lo bawa surga dunia semua. Enggak ada yang gagal."

Walau enggak ngaruh, Gatsa tetap menerima uluran tangan Nina untuk membantunya turun. Mereka kompak merebah tanpa alas begitu aja dan menerawang ke langit-langit ruangan yang serba putih. "Ini jatohnya pekerjaan sukarela ya, Na?"

"Lebih ke politik etis alias balas budi, sih." Nina menahan kekehannya agar enggak tumpah. "Gue dibolehin tidur di sini. Udah gitu selain dapet upah per dua jam ngajar, dikasih bonus lagi. Jadi bisa dibilang ini atas dasar kemauan diri gue sendiri. Yah ... semacam kalo orang baik ke gue, gue harus tau cara terima kasih."

"Lo nggak takut? Persetan sama hantu. Kalo tetiba ada orang jahat yang masuk, gimana?"

"Hampir empat tahun so far nggak ada kejadian yang aneh-aneh, deh, Alhamdulillah. Kenapa? Khawatir?"

"Ketebaklah gue bakal respons apa."

"Retoris," ucap Nina sambil tertawa. Hafal sekali tabiat Gatsa yang satu itu. "By the way, Gat. Habis ini arah lo mau ke mana?"

"Spesifikin pertanyaan, Kak. Ini gue diem-diem sambil nge-refill energi soalnya."

"Aaa ... hari yang panjang untuk Body Gat!" Nina mengelus-elus rambut Gatsa yang masih agak basah. "Cita-cita. Mau jadi apa? Tapi kejauhan kayaknya. Kita sempitin bahasannya. Kelar SMA lo ada niatan mau lanjut kuliah kah?"

"Mau jadi petugas damkar, Kak."

"OH YA?!" Nina sontak mengambil posisi duduk dan menepuk paha cowok di sebelahnya hingga terdengar ringisan. "COOL! Astagaaa gue ke mana aja sampe enggak kepikiran! Pantesan Gatsa serba bisaaa." Mendekatkan kedua tangannya di bibir layaknya toa yang siap menyebar pengumuman, Nina berteriak lepas, "Perhatian, perhatian! My lover boy pengin jadi Ahli Bomba!" Tawa Nina menggema bersamaan dengan riuh tepuk tangannya sendiri. "Ah, bangganyaaaa."

Gatsa turut bangkit dari merebah. Dengan memeluk lutut menatap Nina ia kemudian bertanya, "kok lo happy banget, Na, denger pekerjaan impian gue?"

"Lo mau nyebut impian apa aja sebenernya gue bakal tetep happy dan support. Tapi pas denger lo mau jadi petugas damkar, perasaan meletup-letupnya entah kenapa makin melonjak naik! Enggak heran lagi. Demi apa pun, Gat ... lo emang keren terus!"

Nina masih belum selesai dengan euforianya. "Harusnya gue bisa nebak nggak, sih? Dari lo yang serba bisa ini arahnya pengin jadi Ahli Bomba kayak di Upin-Ipin itu?! Benerin speaker sekolah yang macet saat kepsek mau kasih pengumuman penting, ngerahin temen-temen PA lo buat ngebantu anak PMR yang kewalahan nanganin siswa pada jatuh pingsan saat Persari, terus totalitas nyiapin kegiatan lomba panjat pinang sampe seluruh badan lo berlumuran oli. Aduh, Gatsa s-nya tuh beneran serba bisa. No debat."

Walau sebenernya udah pengin meleyot kayak yupi, Gatsa all out untuk tetap bertahan duduk. Hanya sebentar mengalihkan pandangan guna menetralisir kinerja jantung dan menutup bibir yang otomatis senyam-senyum menggunakan punggung tangan. Sejurus kemudian Gatsa kembali menatap Nina dengan ekspresi yang lebih terjaga. "Yang belum bisanya cuma milikin Niana aja."

"Bebas, deh. Kali ini gue nggak bakal sebel denger gombalan mautnya Gatsa di setiap kesempatan."

"Lo sendiri, Na. Apa yang bakal lo lakuin setelah beres dari Gantara?"

Nina menggaruk dagunya yang tetiba gatal. "Enggak tau bakal kerealisasi apa enggak ... gue pengin kuliah ambil Pendidikan Olahraga deh, Gat." Manakala sepasang netra mereka yang sama—cuma beda satunya cokelat terang dan satunya lagi cokelat gelap—saling bertemu dan mampu berkomunikasi hanya lewat tatapan, Nina mengangguk. "Kalo lo jadi Ahli Bomba, gue jadi Cek Gu, ah!" Nina berujar seraya tertawa-tawa kecil. "Jadi guru Penjas yang hari-harinya lebih banyak pakai kaos dilapisin jaket parasut sama celana training sambil megang papan LJK, pena, dan ngalungin peluit."

"Sialan, Na. Kecenya udah kebayang dari sekarang." Gatsa lantas mendecak. Pipinya penuh rona merah alami yang kali ini sungguh enggak bisa lagi disembunyiin.

"Iya, dong! Niana nih, Bos." Nina lagi-lagi tertawa, tepatnya menertawakan kepedeannya yang melejit. "Tapi itu pun kalo kuliah, sih. Kalo enggak kesampaian, gue ya ... di sini-sini aja. Paruh waktu atau malah full time jadi instruktur senam."

"Nggak. Pasti kewujud, kok! Gue juga rencananya mau kuliah dulu baru tes buat jadi petugas damkar." Gatsa mengangkat tangan, mengajak Nina untuk ber-high-five sebelum kembali menumbangkan diri pada lantai dingin yang belum kunjung terpasang matras. Dipandanginya Nina lekat-lekat yang keceriaannya betul-betul stabil. "Petugas damkar disandingin sama Bu Guru Penjas entar bakal semenyala apa ya, Na?"

"Aw, sankyu untuk suntikan semangatnya!" Nina kemudian mencubit lengan Gatsa gemas sebagai bentuk respons dari khayalan berkedok pertanyaan itu. "Eh, kita tidur bentar yuk! Masih ada sisa waktu kurang lebih satu jam. Gue udah setel alarm di jam lima supaya lo bangun buat subuhan. Kamar mandinya ada di ujung. Untuk ruang salat ada di samping ruang ganti. Gue nggak ikut bangun, ya." Dengan gelagat berbisik Nina lanjut berkata tanpa menghapus cengiran yang demi apa pun paling Gatsa sukain, "I mean ... masih ada tamu."

𐙚 Leftover Feelings ꕮ ࣪ ׅ


Regards,

Ichaaaa

leftover feelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang