Ini tentang Giyatsa Reagan Aradana dan Niana yang keliatannya betah-betah aja kejebak HTS. Gatsa suka Nina, dan Nina melakukan hal yang sama. Tapi setelah ditelaah, definisi suka bagi Gatsa dan Nina sepertinya berbeda. Gatsa juga udah kenyang sekali...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Bilang, kek, kalo lo posisinya lagi bareng sama temen-temen lo." Jani mendengkus. "Tandanya lo masih bisa ngerayain dunia."
"Hindia banget, sih, Jaaan!" seru Nina gemas lantaran orang dewasa satu itu masih menyinggung sebuah lirik lagu yang beberapa saat lalu dikirimkan kepadanya.
"Iyaaa. Abisnya setelah gue nggak sengaja renungin, Alexandra bukan lagu. Tapi kisah lo." Jani komat-kamit. "Dan gue berasa jadi salah satu orang dari point of view 'kami' di lirik lagunya. Ah, jablay banget! Enggak lagi-lagi gue dengerin tuh lagu." Jani menoleh kiri-kanan, lengang tentu aja. Sebab jarum jam udah merangkak hingga pukul satu lewat tiga puluh pagi. Layaknya induk ayam, Nina di belakang adalah anak ayam yang senantiasa ngekorin ke mana pun Jani pergi. "Siapa lagi temen cowok lo tadi selain si Gatsa Aradana, Nin?"
Nina lantas ber-oh-ria. "Val! Valiant. Temennya Gatsa juga sedari orok. Menariknya, ternyata kami bertiga udah pernah ketemu di Hari Anak Sedunia, Jan," tutur Nina meriah. "Kalo Gatsa baru ketemu lagi waktu di SMP, sama Val udah dari kelas dua SD. Enggak satu sekolah, sih, cuma hampir setiap satu-dua kali dalam seminggu pasti ketemu karena Val ngapelin gerobak cuankie mulu di depan toko Akong Han."
"Itu definisi 'dunia sempit' yang lo temuin, Nin." Jani merespons. "Pasti SMA kalian bertiga sekelas. Bener apa bener?"
Dan Nina menyengir sebagai jawaban. "Makin sempit lagi pas tau yang punya Happy Gym itu si Sehran Malik. Nah, Sehran Malik adik papanya Val yang paling kecil, Jan."
Jani yang berjalan terlalu gesit sontak tersandung ranting pohon hingga kedua lututnya mencium aspal jalanan. "Sialaaaan!" umpatnya habis-habisan memukul ranting yang membikin kedua lututnya terluka. Lebih-lebih lagi mendengar nama yang Nina sebut-sebut dengan penuh antusias.
"Bukan Jani kalo nggak clumsy." Nina dengan cekatan bantu menuntun Jani untuk kembali lanjut berjalan. Hanya belasan menit lagi mereka akan tiba di sebuah rusun tempat tinggal Jani beberapa tahun terakhir. "Eh, baru aja diomongin. Itu ada potret Sehran Malik sama keluarga kecilnya di papan reklame. Denger-denger suaminya jadi kandidat calon wali kota, ya? Kayaknya udah saatnya aku bikin KTP, deh, Jan. Aku mau make hak suara aku buat nyoblos suaminya Sehran Malik."
"Ewh! Gue mending golput aja." Jani mendesis. "Lo stop, ya, ngomongin tentang Sehran Malik kalo lagi bareng gue. Gue sama sekali nggak minat."
"Aaaa ... okay, Jan. Noted! Aku balik jadi pengagum rahasia aja kalo gitu. Soalnya Gatsa juga kurang tertarik. Masa doi bilang cantikan aku ke mana-mana ketimbang si Sehran Malik?! Nggak apple to apple banget."
"FAKTA KOK!!!" timpal Jani berapi-api. "Lagian apa sih yang lo kagumin dari tuh orang?!"
"Um ... karena positive vibes?" tukas Nina dengan senyum kikuk dan cukup berhati-hati dalam berekspresi agar Jani enggak murka lagi. Karena kelihatannya, Jani betul-betul enggak sejalan dengan pendapat Nina kali ini.