𐙚 : tujuh els

33 6 0
                                    

"LHO?!" satu dari dua orang perempuan yang sedang menunggu di lobi mall seketika terperangah. "Kaget, ih. Kirain siapa! Lain, ya, yang udah legal sekarang. Mainnya enggak pesen Go-car atau Go-jek lagi."

Meletakkan helm-nya ke kaca spion, Gatsa mematikan mesin motor untuk pertama-tama menyalami Jani penuh takzim.

"Gue kirain lo sendiri. Kenapa enggak kasih info yang spesifik sih, Kak?" tukas Gatsa sedikit gemas tertuju kepada Nina. "Tunggu sebentar, ya. Tujuh menit. Enggak, lima menit."

"Eh mau ke mana? Jangan bilang Gatsa ngambek?"

Gatsa tancap gas, melajukan kembali Vespa GTV berwarna Grey itu. Estimasi yang Gatsa lontarkan beberapa saat lalu betul-betul enggak meleset. Tepat lima menit, sebuah Range Rover berwarna senada dengan motor yang tadi Gatsa kendarain menepi. Begitu turun dari pintu kemudi, Gatsa bergegas membukakan pintu penumpang samping sekaligus pintu penumpang di tengah. Tangan Gatsa terangkat, memberi isyarat supaya baik Nina maupun Jani bergegas masuk.

"Lo pake pelet apa sih, Nin? Spill, coba. Bisa-bisanya dapet cowok full effort kayak begini."

Nina senyam-senyum aja mendengar hal itu. "Aku malah salfok ke Gatsa-nya deh, Jan. Gatsa bisa aja make mobil apa motor yang udah kayak show room di garasi rumahnya itu. Tapi kamu tahu? Gatsa punya prinsip nggak bakal belajar berkendara sampai umurnya nyentuh angka tujuh belas. Keren banget, kan?! Makanya tadi aku sempet heran siapa yang tetiba muncul di hadapan kita. Enggak ekspek ternyata udah di era Gatsa bisa nyetir."

"Ew! Polos banget, Nin," semprot Jani sambil menyikut lengan anak cewek di sisinya. Tatkala baru agak memiringkan kepala buat menyapu sepintas keadaan di dalam mobil, Jani spontan memekik heboh. "OEMJI! ADA ANAK KICIIIIK! NIN, ANAK KICIK! JANGAN BILANG KALO INI--"

Alhasil, Nina ikut menyembulkan kepala. Kernyitan di dahinya musnah, tergantikan dengan senyum lebar. "Singkirin, ya, pikiran liar kamu! Ini tuh adeknya Gatsa yang paling bontot, Jan."

Gatsa mengangguk kecil. "Karena abis tukaran kendaraan, Gael jadinya ikut diajak. Takut Gael keujanan kalo ditinggal bareng papa. Papa belum tau pulang jam berapa soalnya."

"Kali aja ya kan ... lo dan anak sulungnya Radana mainnya udah kejauhan." Layaknya perumpamaan "lain di mulut, lain di hati", ucapan dan tindakan Jani adalah dua hal yang sangat berkebalikan. Sekonyong, kedua tangan Jani bergerak impulsif untuk membawa Gael ke dalam gendongan. Dalam sekejap mata, anak balita itu udah anteng Jani pangku. "Bikinnya gimana sampai bisa selucu dan segemoy ini, sih? Heran!"

Nina tertawa aja di kursi belakang. "Mau tau satu fun fact nggak, Jan? Dulu Gatsa ceritanya seneng banget karena kata mamanya, adeknya yang keempat ini bakal berjenis kelamin cewek. Tapi begitu lahir, taunya dapet cowok lagi, dong. Padahal udah semangat bener dari jauh-jauh hari mau kasih nama kayak aku. Nina. So ... ya, yang lagi kamu pangku sekarang itu adalah si Nina enggak jadi alias Gael."

Jani terkikik. Diliriknya Gatsa yang mulai membelah jalan raya. Muka beserta telinga cowok itu memerah pertanda tersipu sekaligus malu di satu waktu. "Keliatan, sih. Ibaratnya, lo napas aja nih cowok bucin abis, Nin, sama lo. Nggak neko-neko anaknya. Bagus, deh!" tukas Jani enteng seraya mengedikkan bahu. "Yang namanya hubungan dan perasaan emang harus ada feedback. Saling lah, ya, istilah sederhananya. Justru yang menyedihkan itu-minjem bahasa anak jaman sekarang-kalo kita cuma excited sendirian. Bertepuk sebelah tangan jatohnya. Dipikir-pikir nyesek juga nggak, sih? Nyesek banget malah."

Mendapati keheningan menyelinap, Gatsa yang merasa sedari tadi enggak terlalu banyak bersuara lantas menoleh di sela-sela fokus menyetir buat bertanya, "Udah mendingan, Bu?"

leftover feelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang