Chapter 7

141 21 11
                                    

HALLO! ga nyampe 5 hari nih aku udah update! selamat baca..


********************************************************************************************

"Hmm. Terserah kau sih." Jawab Harry, bingung mau berkata apa. Kening Lexa berkerut. Ia sedang berpikir keras sekarang. Ia tak pernah mengundang siapapun masuk kedalam flatnya. Ya, kecuali tentu saja Momnya ketika ia berkunjung, dan juga Kate yang selalu mendesak untuk menemani Lexa di dalam flatnya.

"Tentu." Jawab Lexa tersenyum kecil. Keputusannya sudah bulat sekarang. Ia rasa Harry ini tak terlalu buruk juga. Dan sekarang sepertinya ia memang membutuhkan teman.

Lexa mempersilahkan Harry untuk masuk kedalam flatnya. Harry melepas bootsnya yang terkena salju lalu meletakannya di kabinet untuk sepatu yang berisi banyak sepatu. Sepatu Lexa, ia rasa.

Lexa's POV

Aku segera masuk ke kamar tidurku, mengganti pakaian, dan keluar lagi menuju dapur untuk menyeduh cokelat hangat. Minuman hangat favoritku. Aku melewati ruang tamu dan mendapati Harry sedang berdiri di depan rak buku milikku yang cukup besar, dan ia sedang mengamati buku-buku itu satu persatu. Mata hijau emerald nya mencermati semua buku-buku itu. Kurasa ia penggemar buku klasik juga.

Aku berdehem pelan untuk memanggilnya. Ia mengalihkan pandangannya dari rak buku itu dan pandangannya tertuju padaku. "Kau mau minum? Mau kubuatkan apa? Aku sedang menyeduh coklat panas di dapur." Tanyaku. "Hmm. Mungkin sama saja denganmu. Aku tak ingin merepotkan disini." Jawabnya tersenyum kecil. Astaga. Senyum indahnya dengan lesung pipinya yang menawan. Oh. Ada apa denganmu, Lex? Ia hanya kenalanmu saja. "Oke. Kau mau menunggu disini saja?" "Kurasa iya. Koleksi bukumu cukup menarik" Jawabnya. "Hahaha, iya. Aku lebih suka pada buku-buku klasik. Kurasa kau bisa meminjamnya suatu saat." Kenapa aku mengatakan itu? "Oh. Baiklah, terima kasih." Ujarnya tersenyum. Aku segera berlalu kembali ke dapur untuk membuat 1 gelas lagi minuman kesukaanku untuk Harry.

"Jadi kenapa kau pindah ke New York?" Aku mencoba untuk menghangatkan suasana dan memulai pembicaraan. "Aku tak begitu tahu. Ibuku memintaku untuk pindah langsung ke Manhattan ini. Ia bilang agar beliau bisa lebih sering menjengukku." Jawabnya menyeruput coklat panasnya. "Oh. Jadi ibumu tak tinggal bersamamu di London?" "Tidak. Ada beberapa hal yang mengharuskannya untuk tinggal di Amerika." "Hmm." Jawabku mengangguk.

"Pemandangan dari sini benar-benar keren." Ucapnya. Kami memang sedang berdiri di jendela besar kesukaanku ini. "Hahaha, Iya. My favourite spot." Jawabku menoleh ke arahnya di sampingku. "Aku suka sekali berdiri disini berjam-jam memandangi city scape dari sini sambil memegang mug berisi coklat panas di tanganku." Ucapku menjelaskan kebiasaanku padanya. Tak banyak yang tahu tentang hal ini. Hanya Mom dan Kate, seperti biasa. Karena aku memang tak mempunyai banyak teman. Aku mempunyai satu teman yang benar-benar mengerti diriku - Kate - jadi kenapa aku harus khawatir? Harry terkekeh pelan di sampingku, membuyarkan lamumanku. Kurasa ada 1 lagi tambahan teman yang kupunya. Aku sedang tersenyum menatapnya yang sedang terkekeh menertawai kebiasaanku.

"Berjam-jam? Kurasa itu waktu yang cukup banyak." Jawabnya akhirnya. "Hmm. Kurasa iya. Tak banyak yang bisa kulakukan disini selain membaca buku, menonton film, dan memandangi kota dari sini. Kurang lebih seperti itu." Aku merespon sambil menyeruput lagi coklatku sebelum menjadi dingin. "Lagipula udara kota sekarang sudah benar-benar tidak mendukung untuk ku untuk pergi keluar." Sambungku.

"Aku lebih sering membaca di flat, mungkin keluar sebentar untuk meminjam buku di perpustakaan. Tapi ya. Kurang lebih sepertinya kegiatanku disini sama saja sepertimu." Jawabnya lalu menyengir menyadari bahwa kegiatannya sama saja denganku ketika menghabiskan waktu. "Tapi aku tak berdiri memandangi jendela selama berjam-jam." Ucapnya melirik padaku. "Hahaha, memang tak banyak orang yang melakukan ini juga selama berjam-jam." Ujarku tertawa kecil.

"Jadi apa pendapatmu tentang apartemen barumu ini. Tak terlalu buruk, kan?" Tanyaku meminta pendapatnya. "Cukup baik. Memang aku harus menunggu lama di lift karena flat ku di 23rd floor. Tapi ya, kurasa kesan pertamaku terhadap kota ini cukup bagus. Tempat-tempat umum disini juga jaraknya tak terlalu berjauhan. Kudengar apartemen ini memang berada tak cukup jauh dari Times Square?" "Iya. Kapan-kapan memang kau harus kuajak kesana. Ramai sekali jika sudah mendekati liburan. Central Park juga tak begitu buruk." Aku berusaha menjelaskan padanya panjang lebar.

Percakapan kami berlangsung panjang dan selalu diselingi dengan derai tawa. Aku tak pernah menyangka ia bisa seakrab ini denganku, meskipun di hari-hari pertama ia melihatku, ia bersikap begitu dingin. Dan lihatlah. Sekarang ia berdiri disampingku bercakap-cakap dengan normal dan tertawa-tawa bersamaku.

"Kukira kau benci padaku." Ucapku. Ia menengok padaku dan menatapku dalam-dalam sebelum menjawab. "Aku tak benci padamu." "Aku ingat persis beberapa hari yang lalu kau berbicara padaku dengan ketus. Seperti, benar-benar ketus." Jawabku. "Hmm. Apa iya? Kurasa itu memang sikapku ketika pertama kali bertemu orang asing. Maaf ya." DEG. Lagi-lagi aku dibuatnya terkejut.

"Jadi kenapa kau tadi di cafe?" Tanyanya mengalihkan bahan pembicaraan. Aku tak tahu apa aku harus menceritakan itu padanya. Raut wajahku berubah. Dan Harry sepertinya menyadarinya. Ia telah membawa topik yang sensitif. "Kau tahu kau tak perlu membicarakannya jika tak mau. Aku tak memaksa." Lanjutnya, merasa bersalah, kurasa? Aku tersenyum kecut menoleh padanya, dan mengangguk, "Aku akan menceritakannya ketika aku benar-benar sudah melupakan tentangnya." "Oke." Ia mengangguk mengerti. Ia lalu membahas hal lain, video lucu di youtube yang ia tonton berkali-kali, berhasil membuatku tertawa terpingkal dan melupakan kejadian tadi.

"Aku mandi sebentar, ya. Rasanya sungguh tak enak berdiam lama-lama dan belum membersihkan diri.Kau tunggu disini dulu." Aku berlalu sambil menengok kearahnya yang sedang memangku laptopku di sofa. Seusai menikmati view kota Manhattan, kami memutuskan untuk menonton film di laptopku. Televisi memang jarang kunyalakan. Aku tak begitu suka acaranya. Harry memilih film yang kami tonton. Tentu saja ia memilih Hunger Games Mockingjay, film yang sudah kutonton berkali-kali sampai lama-kelamaan aku mengerti posisi Katniss. Kami meringkuk berdua di sofa, yang entah mengapa berdua dengannya membuatku merasa nyaman, dengan semangkuk marshmallow di tanganku, dan laptopku di pangkuannya. Entah bagaimana kami menjadi sedekat ini setelah hanya beberapa jam. Cukup aneh memang.

"Jangan mandi lama-lama. Nanti yang ada kamu sakit." Ia mengingatkanku sambil masih menatap layar laptop. "Hmmhh." Aku menjawab berjalan kearah kamar mandi di dalam kamar tidurku.

Bermenit-menit kemudian aku keluar dari kamar tidur dengan rambut setengah kering dan hairdryer di tangan. Tak ada Harry di sofa. Apa? Kemana dia? Aku mencari ke seluruh flatku, dan batang hidungnya masih tidak terlihat. Aku pun kembali ke sofa di ruang tengah, laptopku terduduk diatas selimut yang dilipat rapi diatas sofa. Ponselku tergeletak diatas meja, dan aku mengambilnya untuk mengisi dayanya kembali. Sebingung-bingungnya aku terhadap kepergian Harry yang begitu tiba-tiba, aku tak bisa menghubunginya. Sebenarnya aku bisa saja menuju ke resepsionis dan menanyakan flat Harry. Tapi aku tahu aku bukan siapa-siapa baginya, hanya seorang teman(?)


***********************************************

gimaana kabar harry ???

maaf bgt ya chap ini pendekk,gaje, byk typoooo. Maklumin aja yah

plis bgt jangan sider, author ga semangat nulis kalau yg vomment dikit:(. Makasih yg udh mau vomments {}

butuh 8++ comments+7++ vote kalau mau next chap :D

*HarryLexa on mulmed

All the love- Mrs.Styles:p



RealityWhere stories live. Discover now