HALO! MINAL AIDZIN WALFAIDZIN YAH... HAPPY READING....
Ia berdiri di hadapanku.
Sampai detik ini juga aku masih tak tahu apa maksud dari semua sikapnya ini. Tiba-tiba saja ia berlaku..baik padaku? Dan ternyata beberapa hobinya merupakan hobiku juga. I don't know how that happened.
Ia memang memiliki kelas yang sama denganku, well kurasa ia memiliki 3 kelas yang sama denganku dari total 5 kelas. Entah bagaimana itu terjadi. Aku tak pernah mengira ia adalah salah satu pria yang tertarik dengan obrolan-obrolan klasik seperti sejarah, dan buku-buku novel klasik. Pride and Prejudice. Novel karangan Jane Austen yang pernah kulihat duduk di tangannya. Ada sesuatu tentang pria di hadapnku ini yang membuatnya berbeda dari pria regular lainnya.
Ia menjentikkan jarinya di depan wajahku.
"Hey."
Aku menutup mataku sebentar, malu dengan kejadian tadi. Aku melamun di depannya. Tunggu. Kenapa aku harus malu?
"Lex?"
Aku membuka kembali mataku, mendapati ia berdiri di sampingku dengan raut wajah bingung. Aku tersenyum padanya. "Aku tidak tahu. Bus mungkin?" Ujarku mengangkat sebelah bahuku, karena jujur, aku memang tak tahu apa yang harus kulakukan.
"Mungkin...kau bisa pulang denganku? Lagi?"
Aku tak tahu harus menjawab apa. Aku agak merasa tak enak padanya karena selalu saja mengekornya ketika pulang kuliah. Aku tak ingin dicap sebagai gadis yang memanfaatkan kebaikan seorang pria dan sebagainya. Namun aku juga tak tega untuk menolaknya. Ia selalu berlaku baik, bahkan manis padaku belakangan ini.
Mata emeraldnya berusaha untuk menatap masuk kedalam mata blue ocean ku. Aku tak berani menatapnya. Mencoba untuk memikirkan ini berulang kali.
"Kalau kau tak mau juga aku tak memaksa. Maaf aku menanyakanmu itu."
Ia berbalik cepat dan berjalan pergi.
Durasi ku untuk memikirkan hal itu mungkin mengarahkannya pada jawaban tersebut. Dan aku tak mau ia untuk berpikir bahwa aku tak mau bersamanya saat ini.
"Aku belum menjawabmu, Harry." Ucapku cepat dan sedikit...berteriak?
"Aku mau saja pulang lagi denganmu." Jawabku padanya. Ia berbalik dengan mata berbinar, berjalan ke arahku dan menarik tanganku cepat agar aku berjalan di sebelahnya.
Harry berjalan disampingku sekarang menuju parking lot. Beberapa kali aku menoleh ke arahnya, dan lebih dari sekali aku mendapatinya sedang menatapku(?) Aku tak tahu apa maksudnya.
"Shit."
"Ada apa?"
"Motorku dipinjam Daniel saat lunch break tadi. Sekarang orang sialan itu belum kembali juga."
Aku berpikir keras (lagi), maksudku, apa yang harus kita lakukan? Salju lebat ini tentu sudah menumpuk di rute bus yang biasa aku jalani. Udara sekarang di tempat kami berdiri seperti -4 degrees Celsius. Dan memakan waktu sekitar 30 menit jika menggunakan kendaraan. Who knows how long does it take to walk there?
"Kau tidak kenapa-napa jika kita berjalan kesana?"
Pertanyaannya persis seperti yang kukira.
Sayangnya aku memang tak memiliki pilihan lain.
Aku mengangguk kearahnya, dan dia segera memasukkan satu tanganku lagi ke dalam sakunya bersama tangannya.
***
40 menit sudah kita berjalan menuju Herald Towers. I can barely feel my legs. Tanganku serasa sudah mau membeku sekarang. Entah berapa lama lagi aku bisa menahan dingin. Tapi aku tak berkata apapun kepada Harry. Sedari tadi ia berbicara denganku, mencoba mengalihkan perhatianku dari kakiku yang rasanya sudah membengkak sekarang. Aku tahu ia sedang melakukan itu. Aku tak meresponnya selain anggukan, gelengan, dan senyuman. Karena jujur, aku merasa tak dapat lagi menggerakkan anggota tubuhku kecuali kakiku yang kugunakan untuk berjalan. Dan Harry masih dengan semangat mencoba untuk membuatku tak menghiraukan kedinginan ini. Meskipun aku tahu ini. Ia sama kedinginannya denganku.
***
HUEKKK!
Seluruh isi perutku meluncur dari mulutku. Semua. Harry memijat-mijat pelan tengkukku dari belakang. Aku terbatuk-batuk pelan, berlutut tepat di depan closet duduk ini. Tangan kiriku menyatukan seluruh rambutku menjadi satu dan menahannya ke belakang agar tidak masuk ke lubang tempat muntahanku tadi meluncur. Harry menyodorkan segelas chamomile tea ke depanku.
Perjalanan satu setengah jam dalam radang dingin itu benar-benar membuatku sakit. Sangat-sangat sakit. Tak ada yang lebih buruk dari ini.
"Mau kutemani ke dokter?"
Aku menengok ke samping dengan wajah hancur dan mendapati Harry disana. "Tak apa. Mungkin ini hanya flu atau sejenis itu."
"I don't want to hear a no."
Aku memutar bola mata dan segera bersiap ke dokter.
"Kunci mobilku belum ketemu."
Harry menghela nafas, menyuruhku duduk di sofa dengan selimut di tubuhku, meminum chamomile tea ku tadi, dan ia mencari kunci mobilku di seluruh sudut flat ku. Yang mana sudah kulakukan.
"Ketemu."
Apa?
"Kau lupa mencari di kabinet sepatu."
Aku hanya memandangnya dan kunci mobil itu malas.
"Kau sudah siap kan?"
"Hmmhh." Aku hanya bergumam. Muntahan akan keluar dari mulutku jika aku bicara.
Harry menarik tanganku pelan, menutup dan mengunci pintu flat ku dibelakangnya. Ia berjalan cepat sambil masih menarik tanganku. Dan aku tak bisa menyamai langkahnya. Kepalaku seakan diputar-putar.
Aku menarik kembali tanganku, berusaha melepaskannya dari genggamannya. Mukaku sudah benar-benar merah menahan muntah. Harry menengok ke belakang untuk melihatku. Aku yakin 'muka menahan muntah'ku ini sangat mirip dengan 'muka ingin menangis'. Mungkin itu alasannya ia kini melihatku dengan khawatir. Ia melambatkan langkahnya, dan kini menyamai langkahnya denganku.
***
"Suhu badan kamu 39° Celsius. Perbanyak istirahat." Ucap dokter itu. Harry berdiri bersender di pintu dan melipat kedua tangannya di dada, mengangguk-angguk mendengar pernyataan dokter di hadapanku ini. Ugh aku tak pernah suka pergi ke dokter. Bau obat-obatan dan sebagainya membuat kepalaku tambah pusing dan perutku tambah mual. Aku benar-benar tak menghiraukan sama sekali perkataan dokter di depanku sekarang ini.
Aku dan Harry segera menebus resep setelah pertemuan dengan dokter membosankan tadi itu selesai.
"Kau mau langsung kuantar pulang?"
Harry bertanya di sampingku melihat ke arahku. Kepalaku terlalu pening untuk berpikir, apalagi untuk menyetir.
Aku mengangguk kearahnya.
Author's POV
Di mobil, Lexa dan Harry hanya terdiam. Kehabisan topik untuk dibicarakan.
"Maaf ya."
Mata Lexa setengah tertutup menaikkan kedua alisnya ke Harry.
"Ini kan gara-gara kita pulang berjalan 1 setengah jam di tengah hujan salju."
Lexa menghela napas panjang mendengar perkataan Harry.
"Memang."
"Ya jadi aku minta maaf."
"Tak ada pengaruhnya. Bersama ataupun tidak bersama kau, aku juga akan pulang berjalan kaki ke apartemen." Jawabnya pendek. Ia merasa lebih baik sekarang, setelah mereka berdua masing-masing meminum a cup full of hot chamomile tea dan sepiring muffin di café rumah sakit tadi yang membuatnya merasa sedikit lebih baik. Setidaknya menghangatkan dan mengisi perut.
Harry berkali-kali menoleh kearah Lexa yang sedang sibuk menatap jalanan dari kaca jendela mobil dan menyenderkan kepalanya disana.
"Maaf aku merepotkanmu."
Harry sekali lagi menoleh ke sumber suara. Lexa masih menyenderkan kepalanya di kaca jendela dan menghadap ke luar.
Harry merespon perkataan itu dengan senyuman manis. Sesuatu yang pernah membuat Lexa terpesona. Atau mungkin Lexa masih?
tolong tinggalkan jejakkk vote n comments nya ya
All the love-AA