"Ayolah. Aku tak enak denganmu, Harry." Aku membujuknya untuk membiarkanku tidur di sofa. Dia masih menggelengkan kepalanya penuh keyakinan. "Uhh. Ya sudah. Selamat malam. Sekali lagi terima kasih ya. Aku senang sekali hari ini." Aku tersenyum lebar kepadanya. Ia membalasnya dan melambai pelan sebelum aku memasuki kamarnya.
1 jam dan aku masih belum bisa tertidur. Aku masih memikirkan perkataan Harry tadi, mengenai 'perasaan'. Dan itu membuat pikiranku terganggu.
Aku memutuskan untuk keluar dari kamar untuk mengecek Harry sebentar. Meski aku tahu ia tak butuh di cek, karena jelas-jelas ini flat nya, tapi aku membutuhkan kegiatan sekarang.
Dia sedang merebahkan badannya di sofa. Mata indahnya tertutup dengan damainya. Aku tersenyum melihatnya dan menarik selimut dari kakinya menuju seluruh badannya. Sampai tangannya menangkap pergelangan tanganku yang sedang mengelus lembut bahunya.
Author's POV
Keterkejutan terpampang jelas di wajah Lexa. Harry yang masih menggenggam pergelangan tangannya perlahan tersenyum menunjukkan lesung pipinya dan membuka matanya. "Apa yang kau lakukan malam-malam begini?" Bisiknya pada Lexa. Harry menggeser kakinya sedikit, memberi ruang untuk Lexa duduk, masih menggenggam tangan Lexa.
"Uhm..aku tak bisa tidur. Maaf aku mengganggu tidurmu. Aku tak bermaksud kok. Tadi aku hanya melihatmu disini jadi kupikir aku harus menyelimutimu lagi melihat selimutmu yang berantakan. Apalagi udara disini cukup dingin." Panjang lebar Lexa menjelaskan. Harry tersenyum melihatnya gelagapan. "Kau tidak membangunkanku, kok. Dari tadi juga aku belum tidur. Tenang saja." Ucapnya menenangkan. "Jadi kau tidak tidur karena tidak nyaman disini, ya? Maaf deh aku jadi merepotkanmu. Apa aku di sofa saja, ya?" Ujar Lexa.
Harry terduduk mendengar pernyataannya. "Kau tidak salah apa-apa. Untuk apa minta maaf? Aku memang sedang susah tidur. Bukan apa-apa." Katanya meremas lembut tangan Lexa.
Wajah Lexa menunjukkan raut berpikir. Harry terkekeh melihat wajahnya yang satu itu. "Harry, bagaimana jika kau di kamar bersamaku?" Harry terbelalak mendengar perkataannya. "Bukan itu maksudku!" Sambung Lexa malu. Harry menyengir kepadanya. "Maksudku, kau bisa tidur di sampingku." Harry berpikir sebentar sebelum mengiyakan dan berdiri dari sofa menuju kamarnya.
Lexa menghadap ke langit-langit. Masih tak bisa tidur juga. Ia menatap sebentar ke arah Harry yang berada di sebelahnya. Tidur dengan begitu nyamannya. Ia tersenyum ke arah Harry, lalu mencoba untuk tidur kembali. Satu tangan Lexa diletakkan di atas pembatas bantal yang ia buat tadi di tengah-tengah kasur.
Ketika mata Lexa terpejam, tiba-tiba Harry menggenggam tangannya yang berada di batas tersebut. Mata Lexa terbuka kembali, melirik ke arah genggaman tangannya, dan memejamkan matanya lagi.***
"Pagi!" Seru Lexa mendapati Harry sedang mengerjapkan matanya beberapa kali di sofa ruang tengah. "Pagi juga, Lex." Balasnya ramah. Ia menyusul Lexa yang sedang sibuk entah melakukan apa di dapur. "Kau memasak?" Lexa mengangguk. "Hmm. Biasanya aku memesan makanan. Tapi kali ini terima kasih, ya." "Setidaknya ini yang bisa kulakukan, mengingat kau mengizinkanku tidur disini tadi malam." Balasnya menuang kopi panas ke gelas masing-masing.
"Bagaimana tidurmu semalam?" Tanya Lexa. "Baik-baik saja. Hari ini kita kuliah, ya?" Lexa mengangguk. "Untung saja, terakhir buku-bukuku kutinggal di loker. Dan kuncinya aku titipkan pada Kate karena waktu itu ia ingin meminjam catatanku." Ia bernapas lega. Lexa menyodorkan sepiring mac and cheese, karena itu satu-satunya yang bisa ia buat dengan bahan di kulkas pagi ini. "Ingatkan aku untuk belanja untuk kulkasmu Harry. Isinya benar-benar sudah kosong." Ucapnya meneguk kopinya. Harry mengangguk menyuapkan sesendok sarapannya ke dalam mulutnya.
"Aku mau membersihkan ini dulu, ya. Kau mandi saja." Ujar Lexa membereskan sisa-sisa sarapan tadi. "Iya. Terima kasih sarapannya, ya." Lexa mengangguk seraya memasukkan alat makan kotor ke dalam dish washer.
***
"Nanti kau pulang denganku. Jangan lupa. Aku tunggu kau di depan kelas sejarah ya." Ucap Harry melepas sabuk pengamannya. "Iya. Terima kasih banyak, ya. Aku tak menyangka. Bye, Har!" Balasnya melambaikan tangan pada Harry. Kelasnya berbeda dengan Harry kali ini. Ia mengambil atletik, sedangkan Harry memilih Agama Dunia."Oh my God, Lex! Sudah lama tak bertemu!" Ucap Kate setengah berteriak ketika mereka berdua berpapasan di lorong kampus. Pagi sebelum bel berbunyi. "Hehehe. Iya. Aku merindukanmu juga. Bagaimana liburanmu?" Tanya Lexa. Yup. Kate berlibur dengan kekasihnya selama hari libur kemarin. Itulah mengapa Lexa tak bisa meminta bantuannya ketika kunci flat nya hilang. Kate diajak pergi ke rumah orang tua kekasihnya, yang mana membuatnya gugup setengah mati.
"Berjalan sangat baik. Kukira orang tua nya tak akan menerimaku atau bagaimana. Pada awalnya sih iya, ibunya menatapku sangat sinis. Tapi kuabaikan saja dan tetap tersenyum padanya. Dan, semua berjalan lancar! Mereka akhirnya mulai menyukaiku, dan memberikan restu jika anak mereka ingin melakukan hubungan lebih lanjut denganku!" Jelasnya kegirangan. "Aku ikut bahagia untukmu, Kate." Lexa tersenyum bangga pada sahabatnya.
"Lalu, bagaimana hari liburmu sendiri, Lexa?" "Uhmm. Aku..." Lexa menggantung ucapannya. Kate menaikkan kedua alisnya meminta Lexa untuk melanjutkannya. "Aku diajak makan malam oleh Harry." Kate terbelalak, sebelum berteriak heboh dan memeluknya seperti orang kesetanan.
"Astaga astaga astaga! Selamat, Lexa. Uuhhhh. Aku turut bahagia demi kau, Lex. Astaga. Tak kusangka sahabatku ini sudah dewasa ya." Teriaknya mencubit pipi Lexa gemas. Sialnya, Harry sedang berjalan melewati mereka berdua. Membuatnya memperlihatkan tatapan aneh kepada Lexa dan Kate. Lexa hanya memberi tatapan 'maklumi saja sahabatku ini' pada Harry. Harry pun berlalu melalui mereka.
"Jadi? Bagaimana Harry?" Lanjut Kate, dengan suara keras. Harry yang (tentu saja) mendengarnya langsung menoleh lagi ke arahnya. Lexa menyikut pelan lengan Kate. Kate segera menutup mulutnya dengan kedua tangannya dan mengalihkan pandangannya, berpura-pura tidak bersalah.
Mata Lexa melotot ke arah Harry, memintanya untuk tak menghiraukannya dan berpaling saja. Harry sepertinya mengerti, karena ia mengangguk dan buru-buru berjalan ke arah tadi.
"Semuanya begitu baik, Kate. Ia bahkan berlaku...sangat manis terhadapku. Entah apa yang membuatnya melakukan itu. Aku tak perlu menceritakan detil-detilnya, bukan?" Jelasnya pada Kate. "Ya ya. Lalu dia mengatakan apa saja?"
"Hmm. Ada satu perkataannya yang membuatku merasa aneh. 'Kau pernah tidak, merasakan suatu perasaan yang lebih dari seharusnya kepada seseorang, padahal ia baru hadir dalam hidupmu selama beberapa minggu?'" Lexa mengimitasi ucapan Harry dengan tepat.
Kate membelalakkan matanya. Jelas-jelas ia tahu arti ucapan itu. Melihat ke orang yang menyampaikan kalimat tersebut. "Kau...kau yakin tidak tahu artinya?" Mata Kate penuh dengan tanda tanya.
Kate's POV
Astaga. Terkadang aku berharap sahabatku ini tak begitu polos. Masa ya begitu saja ia tak tahu artinya? Tapi aku tak akan memberitahunya. Karena aku yakin Harry akan menyiapkan sesuatu untuk memberitahunya juga.
"Uhmm. Aku juga tak begitu tahu artinya." Aku terpaksa berbohong. Ia mengangguk pasrah. "Hey, ini kunci lokermu. Aku sudah menaruh lagi buku catatanmu, kok." Ucapku mencoba mengalihkan perhatiannya. Ia tersenyum senang. "Aku ingin bercerita padamu, Kate. Tapi, janji tak bilang siapa-siapa ya." Ucapnya setengah berbisik.
Aku memutar bola mataku kepadanya. Apa pernah aku membocorkan rahasianya diluar keinginannya? Jawabannya satu. Tidak.
"Jadi, aku kehilangan kunci flat ku." Aku mengangguk-angguk mendengar ceritanya. "Lalu Harry menawarkanku untuk tinggal dengannya sementara kunciku diurus oleh pihak apartemen." Aku mengangguk lagi. "Aku...menerima tawarannya." Aku menghentikan langkahku saat itu juga. Kami yang tadinya berjalan beriringan kini didahului oleh Lexa.
"Kenapa kau tidak minta bantuanku saja? Kan aku selalu sedia 24 jam." Aku berpura-pura cemberut. "Ya ya. Aku tahu. Tapi kan kau juga sedang berlibur. Dan aku tak enak dengan orang tuamu. Mom ku bahkan tak mengetahui hal ini." Aku mengangguk-angguk dan menyamai langkahnya.
"Jadi aku tak ada membawa buku sama sekali. Untungnya semua bukuku ada di lokerku. Dan untungnya lagi aku menitipkan kuncinya padamu." Ia menghela napas lega ketika kami mencapai lokernya. "Kurasa kau harus mengatakan terima kasih pada sahabatmu yang satu ini." Ucapku membusungkan dada. Lexa memutar bola matanya dan memelukku erat. "Terima kasih, Kate sayang." Aku terkekeh mendengar ucapannya yang seakan dipaksakan itu.
Kami berdua memang sudah seperti saudari satu sama lain. Ketika aku memiliki masalah, Lexa pasti adalah orang yang pertama tahu dan memecahkannya. Begitupula sebaliknya. Kami saling menyayangi. Dan aku bersedia untuk memberikannya apapun. Termasuk nasihatku tentang Harry.MAAF YA INI PENDEK HAHA SORRY JG KLO BANYAK TYPO
VOMMENTS NYA JANGAN LUPA YA!
allthelove-AA