Bagian 4

337 19 0
                                    

Kayla tak juga sanggup mengangkat kepala yang tertunduk. Begitu pun dengan Shabri, jantung lelaki itu kini berdetak sangat kencang. Ia berharap jika nama yang disebutkan Asya hanyalah kebetulan belaka. Sebab nama itu sama dengan seseorang yang pernah dikenalnya di masa lalu.

"Kayla, ini suami saya, Bang Shabri." Asya lalu bangkit dan duduk di samping Kayla. Ia tahu, Kayla pasti gugup. Jadi, Asya memutuskan untuk menemaninya.

Kayla masih berusaha mengatur irama jantung. Seperti Shabri, Kayla juga berharap jika suara itu bukanlah suara lelaki di masa lalunya dan hanya kebetulan saja mirip. Lagian, namanya juga sangat jauh berbeda.

"Bolehkah beliau melihat wajah kamu, Kay?" pinta Asya hati-hati.

Kayla mengangguk samar.

Shabri yang menunggu pun menahan napas, tatkala secara perlahan Kayla mengangkat wajahnya. Sampai pada detik di mana mata mereka akhirnya saling bertemu, ruang dan waktu seketika terasa sempit. Oksigen seakan tak mampu lagi mereka hirup. Jantung pun seperti enggan berdetak. Keduanya seakan masuk ke dimensi alam yang berbeda.

Kayla yakin, Shabri adalah pria masa lalunya walaupun dagu lelaki itu sudah dihiasi janggut. Demikian juga dengan Shabri, ia juga sangat yakin kalau itu adalah perempuan yang pernah mengisi relung hatinya beberapa tahun yang lalu. Meskipun dengan penampilan yang sudah sangat jauh berbeda.

Ada rasa cemburu yang menyusup diam-diam, saat Asya menyaksikan sang suami begitu terpana menatap wajah Kayla. Pria itu seakan-akan tidak mau memalingkan wajahnya. Namun, Asya mencoba memahami kalau itu adalah sebuah kewajaran. Sebab Kayla memang cantik. Bohong jika ada lelaki yang tidak terkesima jika melihatnya. Apa lagi untuk orang yang baru pertama kali memindai wajah gadis tersebut.

"Bang, ¹ghadul bashar!" tegur Asya pada akhirnya. "Belum sah jadi istri, masih taaruf." Wanita itu mencoba tertawa untuk menepis rasa cemburu.

Shabri dan Kayla sama-sama terkesiap. Mereka saling membuang pandangan. Kini, gemuruh di dada masing-masing membuat keduanya dilanda rasa yang tak bisa dijabarkan dengan kata-kata.

"Jika Abang ingin menanyakan sesuatu pada Kayla, silakan!"

Shabri tersenyum pada istrinya, kemudian mengangguk. Ia tidak ingin bersikap yang bisa membuat istrinya curiga. Shabri berusaha berpikir keras, mengenai apa yang ingin ia tanyakan pada perempuan pilihan Asya itu. Padahal, sejak dari rumah tadi, Shabri sudah menyusun hal-hal apa saja yang ingin ia tanyakan. Namun, semua lenyap saat ia melihat wajah Kayla.

Berulang kali Kayla menghela napas, mencoba memberi rongga pada dada yang sesak. Semua ia lakukan dengan perlahan agar tidak terlalu kentara terlihat oleh Asya yang duduk sangat dekat dengannya.

Shabri berdeham, lalu akhirnya bertanya, "Maaf, kalau saya boleh tahu, kenapa kamu mau ditaarufkan untuk menjadi istri kedua? Gadis seperti kamu, seharusnya bisa mendapatkan pemuda yang masih single."

Pertanyaan Shabri membuat hati Kayla sakit. Luka lama kembali berdarah.

"Karena menjadi istri kedua itu berat. Baik secara lahir maupun batin. Kamu harus siap dengan tudingan miring orang-orang. Harus siap juga mengelola perasaan cemburu "

Asya menatap tak senang pada sang suami. "Abang kenapa malah menakuti Kayla?"

"Bukan menakuti, hanya bertanya saja. Agar dia siap menghadapi hal-hal tidak mengenakkan sebagai istri kedua."

Asya tidak menimpali. Ia lalu memandang Kayla.

"Saya belum memutuskan untuk menerima atau menolak. Karena Kak Asya hanya meminta saya berkenalan dengan suaminya. Jadi, pertanyaan itu sebaiknya diajukan kalau memang saya atau ... Anda, sebagai suami Kak Asya sudah memutuskan untuk melanjutkan ke jenjang selanjutnya."

Shabri mengulum senyum. "Dia masih sama saja seperti dulu," batinnya.

"Tapi, tadi istri saya sudah bilang kalau kamu yang akan menjadi adiknya kelak. Artinya, kamu sudah menerima."

Kayla menggeleng. "Saya masih butuh waktu untuk memikirkannya."

"Dan saya sangat berharap kamu mau menerima suami saya," sela Asya. "Ucapan saya tadi, adalah sebuah doa dan harapan, agar kamu tidak menolak Bang Shabri."

Ketiganya lantas terdiam.

"Sya, biarkan Kayla berpikir. Jangan dipaksa!" tegur Shabri memecah keheningan.

Asya mengangguk.

"Untuk sekarang, kita akhiri saja pertemuan ini. Biarkan Kayla berpikir!"

Bukan tanpa alasan Shabri berkata demikian. Ia hanya tak sanggup melawan rasa yang tiba-tiba muncul ke permukaan hatinya jika terlalu lama berada di ruangan yang sama dengan Kayla.

Tak lama setelah itu, Asya dan Shabri pamit duluan, meninggalkan Kayla sendiri di ruangan itu. Ketika pintu ditutup dan pasangan suami istri tersebut tak lagi terlihat, tangis Kayla pecah. Air mata yang susah payah ia tahan sejak tadi pun akhirnya tumpah.

Kayla tidak berani bercerita pada Ustazah Miftah saat wanita itu bertanya kenapa ia menangis. Kayla hanya mengatakan kalau ia terharu dipertemukan dengan pasangan yang begitu baik.

"Jadi, apakah ini pertanda baik?" Ustazah Miftah memandang Kayla penuh harap.

"Saya masih harus berpikir dan istikharah lagi, Ustazah. Masih panjang proses yang harus dilewati jika memang saya memutuskan menerima pinangan Kak Asya. Karena banyak hal yang harus saya pertimbangkan terlebih dahulu."

"Ya, tentu saja. Melibatkan Allah dalam setiap mengambil keputusan adalah yang paling baik."

Kayla tersenyum, meskipun getir.

"Oh, ya, apa Asya sudah memberi tahu kamu kalau Muhammad Shabri itu bukan nama asli suaminya?"

Kayla menggeleng.

"Muhammad Shabri itu nama hijrah yang dia gunakan. Dia lebih senang menggunakan nama tersebut ketimbang nama aslinya. Kalau nggak salah, namanya itu Erik siapaaa gitu, saya agak lupa nama panjangnya."

"Erik Bastian. Itu adalah nama aslinya, Ustazah. Aku tidak akan pernah lupa nama itu dan aku sudah menebak alasan kenapa namanya diganti menjadi Muhammad Shabri."  Kayla membatin.

***

"Ya, Allah! Kenapa Engkau pertemukan aku dengannya pada saat aku tengah belajar menghapus namanya? Kenapa aku harus masuk ke dalam kehidupannya lagi dalam situasi seperti ini? Inikah takdir yang harus aku terima? Karena selama ini, hatiku seperti terkunci untuk menerima laki-laki yang jelas-jelas masih sendiri. Kenapa saat ada yang mencari istri kedua ... aku malah seperti tidak berkutik dan mau menjalani proses ini?"

Rasa gundah Kayla semakin memuncak. Doa demi doa terus ia panjatkan di setiap waktu, agar diberi petunjuk atas apa yang sedang ia hadapi. Air mata pun terus menemani sujud-sujud panjangnya pada sepertiga malam.

Ibu Kayla sempat heran melihat perubahan yang terjadi pada putri keduanya itu. Karena Kayla yang biasanya cerewet dan ceria, berubah menjadi pendiam. Akan tetapi, sang ibu tidak pernah berhasil membuat Kayla mengakui permasalahan yang sedang dihadapinya.

"Nanti, jika sudah waktunya, Kayla pasti cerita sama Ibu dan Ayah," ucapnya, saat ia dan kedua orang tuanya baru selesai makan malam.  Karena ibunya yang masih dilanda penasaran, masih saja menanyakan ada apa dengan Kayla.

"Untuk saat ini, biarlah Kayla yang menyelesaikannya sendiri dulu. Ibu dan Ayah tidak perlu khawatir, ini hanya masalah kecil saja." Kayla masih berusaha menghibur orang tuanya. Padahal, yang sedang dihadapinya bukanlah perkara kecil. Ia perlu teman bicara sebenarnya. Namun, ia tidak tahu harus berbagi dengan siapa.

***

¹Ghadhul bashar : menundukkan pandangan

Dikhitbah Masa LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang