Bagian 8

268 14 0
                                    

"Bang, bagaimana kalau ...." Asya menggantung kalimat, menggigit bibir bawah menahan sesuatu yang terasa perih menjalar ke hatinya.

"Kalau apa, Sya?" Erik yang tengah memeriksa beberapa berkas penjualan toko di laptop, tidak menoleh.

Asya tidak menyahut, memandang punggung sang suami dengan perasaan tak menentu. Suasana malam yang cukup sunyi kala itu, mencipta rasa berbeda. Dua buah hati mereka telah tidur dua jam yang lalu. Suara televisi pun sengaja diatur serendah mungkin. Karena Asya tak mau mengganggu konsentrasi sang suami dalam bekerja.

Asya menghela napas, memperbaiki posisi duduknya di sofa. Sementara Erik yang duduk di meja kerja, yang terletak di ruang tengah itu, tidak melihat raut sang istri yang tampak berbeda.

"Kalau semisal ... Abang menjadikan Kayla istri satu-satunya, mungkin orang tua Kayla bakalan setuju dengan pernikahan kalian."

Erik terkesiap, ia langsung menoleh pada Asya. Dahinya berkerut. "Kamu bicara apa, Sya?"

Asya tersenyum getir.

"Aku bicara yang semestinya, Bang. Mungkin ... Abang bisa ceraikan aku dan menikah dengan Kayla. Karena aku sudah tidak mampu lagi menjadi istri yang baik." Suara Asya bergetar.

Erik meninggalkan meja kerja dan mendekati sang istri. Ia duduk di sebelah perempuan yang telah memberinya dua orang anak itu.

"Sya, kamu ini sedang bicara apa? Tidak sedikit pun aku berniat menceraikan kamu, apa pun yang terjadi. Jadi, kamu jangan berpikir yang aneh-aneh. Aku sudah menolak untuk menikah lagi, tetapi kamu bersikeras mencarikanku istri kedua. Kalau itu hanya akan membuatmu bersedih, aku ikhlas menghabiskan sisa hidupku dengan kamu."

"Mustahil seorang lelaki bisa menahan diri dari tidak berhubungan badan dengan istrinya. Ketidakmampuanku yang membuatku merasa kalau aku tidak berguna lagi bersamamu." Air mata Asya mulai menetes.

Erik menghela napas, kemudian mengembusnya perlahan.

"Aku yakin, Abang akan bahagia jika punya istri lagi."

"Sudahlah, Sya! Kita berhenti membicarakan ini. Aku sudah bicara dengan dokter dan telah setuju dengan operasi pengangkatan rahim yang disarankan untukmu."

Asya diam.

"Setelah operasi, kamu tidak akan merasakan sakit lagi, bisa melayaniku secara normal dan kamu tidak perlu susah-susah mencarikan istri lain untukku."

Erik bangkit dan kembali ke meja kerja. Kata-kata Asya cukup membuatnya kesal. Walau ia sangat berharap bisa menikahi Kayla, tetapi bukan berarti ia punya niat menceraikan Asya. Walaupun tak mampu mencintai wanita itu sebagaimana mestinya, tetapi Asya telah menjadi bagian dari hidupnya.

"Kalaupun aku sembuh setelah operasi, tetap saja aku akan menjadi wanita yang tidak sempurna, Bang. Bukankah Abang menginginkan punya banyak anak? Bagaimana mungkin itu terwujud kalau rahimku sudah tidak ada? Bagaimana mungkin, Bang!"

Asya terdengar emosi. Air matanya semakin deras mengalir. Ia menatap Erik dengan mata yang merah.

Erik terdiam sesaat. Lalu, ia kembali bangkit dan menuju ke tempat Asya duduk. Dirangkulnya perempuan itu ke dalam pelukan untuk memberi kenyamanan.

"Bagaimanapun, sesungguhnya tidak ada wanita yang rela dimadu. Meskipun alasan untuk dimadu sudah sesuai dengan sunah. Lalu, untuk apa kamu memaksakan diri hanya demi membuatku bahagia?"

"Aku tidak sedang memaksakan diri. Aku hanya ingin jadi istri yang tahu diri. Aku ingin jadi perempuan yang tahu bagaimana berterima kasih, karena telah dinikahi oleh lelaki yang walaupun sejak menikah tidak pernah mencintaiku."

Erik tergemap. Bagaimana mungkin Asya tahu tentang itu? Apakah sikapnya begitu kentara?

Asya merenggangkan diri dari pelukan Erik. Ia menyeka air mata dengan jemari. Sepertinya ada beban berat yang berhasil ia lepaskan.

"Keterpaksaan Abang untuk menikahiku, adalah sebuah rezeki tak ternilai untukku. Aku tidak pernah membayangkan bisa dinikahi lelaki sebaik Abang. Aku—"

"Berhentilah bicara yang tidak-tidak, Sya!" Erik memotong ucapan Asya. "Kamu pasti sedang lelah. Pergilah tidur! Sebentar lagi aku menyusul."

Erik mengusap rambut lurus Asya, sebelum ia berdiri dan melangkah lagi ke meja kerjanya.

***

Matahari sedang bersinar dengan terik. Asya baru saja tiba di TK tempat Kayla mengajar. Ia sengaja minta izin pada sang suami dan meminta lelaki itu menjaga anak mereka untuk beberapa jam. Karena Asya beralasan ingin bertemu temannya. Ia juga menolak diantar Erik dan memilih mengendarai mobil sendiri.

Asya turun dari mobil. Ia menemui Ustazah Miftah untuk meminta izin menemui Kayla. Katanya, ada hal penting yang ingin dibicarakan dengan gadis itu.

***

Asya dan Kayla duduk berhadapan di salah satu bangku taman yang terbuat dari semen, di samping gedung TK. Di sana cukup teduh, karena dinaungi sebatang pohon yang lumayan rindang.

"Maaf, jika saya menganggu waktumu, Kay," ucap wanita berhijab cokelat susu itu.

"Enggak apa-apa, Kak." Kayla tersenyum. Ia sebenarnya tengah menerka-nerka, atas tujuan apa Asya menemuinya ke sekolah.

"Saya ... saya hanya sedang butuh teman bicara dan ... semoga kamu nggak keberatan," harap Asya.

"Kalau memang saya dipercaya untuk dijadikan teman bicara, dengan senang hati saya akan menjadi teman curhat Kak Asya."

Asya tersenyum di balik cadar. "Terima kasih sebelumnya, Kay. Saya ke sini, sebenarnya hanya ingin menyampaikan kalau dalam waktu dekat ... saya akan menjalani operasi pengangkatan rahim."

Kayla tidak terkejut mendengar pernyataan Asya. Sebab ia sudah tahu, jika operasi pengangkatan rahim adalah salah satu cara mengobati kanker serviks. Meskipun ada cara operasi yang tak mengharuskan rahim diangkat, tetapi hanya memotong tumornya saja dan membiarkan jaringan serviks yang sehat tetap utuh. Namun, mungkin kondisi Asya yang membuat rahimnya harus diangkat.

"Katanya, setelah operasi saya bisa sembuh dan normal lagi seperti semula."

"Alhamdulillaah, kalau begitu, Kak. Saya doakan semoga operasinya lancar dan Kakak diberi kesehatan oleh Allah. Sehingga Kakak pun tidak perlu lagi berkorban mencarikan istri kedua untuk Bang Erik."

Asya terkejut, memandang Kayla dengan heran. "Kamu ... tahu dari mana nama asli Bang Shabri? Perasaan, saya tidak pernah memberi tahu kamu tentang itu."

Kayla gelagapan. Ia baru sadar dengan apa yang dikatakannya. Otak Kayla langsung berputar mencari jawaban yang sekiranya tidak membuat Asya curiga.

"Eum, itu Kak ... Ustazah Miftah pernah cerita tentang suami Kakak pada saya."

Jawaban yang mengambang, tetapi Asya pun tidak mau memperpanjang. Ia menepis secuil prasangka yang menghinggapi pikirannya.

"Tapi, Kay, walau saya nanti sembuh setelah dioperasi, tetap saja saya tidak bisa menjadi wanita sempurna. Bang Shabri menginginkan anak yang banyak, sementara saya tidak punya rahim lagi. Tentu saya akan membuat dia kecewa dengan kondisi saya. Sebagai istri yang sangat mencintainya, saya tetap akan mencarikan istri kedua untuknya dan ... saya mau itu tetap kamu, Kay."

Kayla terdiam. Keinginan Asya tidak akan bisa ia penuhi sampai kapan pun. Kayla lebih memilih rida orang tua ketimbang memaksakan kehendak demi bisa bersama dengan lelaki yang ia cintai.

"Saya sendiri yang akan menemui orang tua kamu dan memintamu pada mereka, Kay."

Kayla tergemap, menatap mata teduh yang kini juga sedang menatapnya. Sekuat itukah keinginan Asya untuk menjadikannya sebagai madu?

"Kalau perlu, saya akan memohon dengan sangat pada orang tua kamu."

"Kak, Kakak nggak perlu lakuin itu. Percuma, Kak," cegah Kayla.

"Saya harus mencobanya, Kay. Demi Bang Shabri. Karena saya ... melihat cinta di mata suami saya untuk kamu."

***




Dikhitbah Masa LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang