Bukannya kapok dengan keadaannya kemarin, Gia saat ini turun dari kamarnya hanya dengan menggunakan rok a-line selutut dipadukan dengan kemeja berlengan sebatas siku.
Sungguh, Nova pusing melihatnya.
Gadis itu tengah malam tadi muntah-muntah dan lemah tak berdaya. Tapi saat ini, Gia justru sudah tersenyum lebar dengan penampilannya yang sedemikian rupa.
"Gan-ti ba-ju se-ka-rang!"
"Ih, apaan, sih?" Gia memberontak saat Nova menariknya naik kembali ke kamarnya.
Bahkan laki-laki itu sempat terdiam beberapa detik sebelum akhirnya membawa Gia dalam gendongannya tanpa peduli Gia berteriak-teriak karenanya.
"Diem, atau aku cium."
Spontan Gia menutup mulutnya rapat-rapat. Tapi dalam hati ia dongkol bukan main. Nova sering kali memaksakan kehendaknya sendiri, dan itu kebanyakan merugikan dirinya. Tapi giliran dirinya yang protes, Nova tidak menggubrisnya.
Setiba di dalam kamar Anggia, Nova menutup pintu dengan kuat lalu menurunkan gadis itu yang menatapnya dengan tatapan membunuh.
Oh, tapi tenang. Ia tidak akan peduli. Karena ini semua jelas demi kesehatan Anggia, sang istri.
"Ganti sekarang, atau nggak aku ijinin kamu berangkat kerja."
Gia mengepalkan kedua tangannya erat-erat. Ia terlalu gemas dengan Nova. Dan rasa ingin mencakar laki-laki itu sudah sampai diubun-ubunnya.
"Nggak bisa, No. Aku nggak ada celana dan baju lain lagi. Semuanya belum aku cuci. Lagian ini seragam untuk pameran, aku nggak bisa kalo pake baju yang lain."
Nova menggeram, bingung harus bagaimana. Hingga, "Aku antar. Nggak ada penolakan."
Dan di sinilah keduanya sekarang berada, duduk berdampingan di dalam mobil Nova.
Gia terlihat sekali masih jengkel dengan laki-laki di sebelahnya, terbukti dengan bagaimana ia yang sedari tadi hanya memandang keluar jendela berpangku tangan. Sementara Nova tampak biasa saja sembari bersenandung pelan mengikuti irama lagu yang terputar dalam radio mobil. Tanpa tahu saja, kalau sebenarnya di dalam hati Nova, laki-laki itu menjerit melihat paha mulus Gia yang tersingkap.
Dan ia tidak rela kalau mata laki-laki lain melihat kulit istrinya itu.
"Pamerannya selesai sampai jam berapa?"
Gia menoleh, ia malas menjawab pertanyaan Nova. Tapi karena kejadian tadi di rumah, ia jadi takut kalau harus melawan laki-laki itu lagi.
"Jam sepuluh malem. Tapi nanti aku jaga cuma sampai jam empat sore..."
"Aku jemput nanti."
Berniat menolak tapi ia tahu kalau jelas tak bisa, Gia hanya mengangguk pelan. Di sampingnya, Nova memutar roda kemudi yang mulai memasuki pelataran Gandaria City. Tapi bukan itu yang menjadi fokus Gia sekarang, melainkan tempat yang dituju oleh Nova.
"Kok, masuk ke parkiran? Antar aku sampai lobby aja, No."
Gia panik, tapi Nova tidak peduli. Bahkan laki-laki itu dengan lihai memarkirkan mobilnya tidak jauh dari pintu masuk mall.
"Ayo, sarapan dulu!" ajak Nova dan turun dari mobil, meninggalkan Gia begitu saja.
Keduanya memang tidak sempat sarapan tadi. Gia tidak memasak, dan Nova berniat untuk membuat mie instan saja karena ia sadar bagaimana keadaan Gia sebelumnya.
Berbeda hal dengan Gia. Gadis itu bukannya sadar dengan keadaannya semalam, justru ia berhasil membuat Nova kesal. Padahal kalau Nova tahu, Gia memang sering seperti itu. Hanya saja memang yang semalam itu lebih parah dari biasanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
OPTION [✔️]
Short StoryBagaimana jadinya kalau ada orang ketiga dalam sebuah hubungan?