Gia menarik tangan Nova kuat. Ia memang sakit hati, marah dan kecewa saat mengetahui fakta akan bagaimana hubungan yang dijalani Nova bersama Maya dulu. Dan membayangkan Nova akan bertemu lagi dengan Maya membuatnya tidak terima.
Ia... cemburu —sedikit. Ia tidak ingin Nova kembali bertemu dengan perempuan itu walau dengan alasan demi kebaikannya.
Benar apa yang dikatakan Nova, ia tidak seharusnya jauh dari jangkauan laki-laki itu. Karena jika itu terjadi, pikirannya akan terus terpaku pada foto dan video yang Maya kirimkan. Namun melihat Nova terus-terusan pun juga sama halnya.
Ia sendiri tidak tahu harus bagaimana dan mengambil jalan apa. Karena ada atau tidaknya laki-laki itu, foto dan video yang Maya kirimkan tetap akan sering berputar diingatannya.
"Maaf. Aku minta maaf kalau aku terkesan terus mendorong mundur Mas. Maaf kalau aku terlihat seperti tidak melihat dan menghargai usaha Mas dari kemarin. Aku beneran minta maaf."
Nova menggeleng kuat. Tidak lagi. Jangan sampai Gia salah paham akan maksudnya dan justru memilih meninggalkan dirinya.
"Enggak. Jangan minta maaf, Gi. Harusnya aku yang minta maaf. Maaf, harusnya aku nggak bentak-bentak kamu tadi. Aku kelepasan. Aku cuma takut kamu pergi. Maafin Mas, ya, Sayang?" Nova meraih tubuh Anggia erat. Memeluk tubuh gadis itu dan membelai surainya perlahan.
"Ok. Mas kasih kamu waktu untuk sendiri. Tapi hanya malam ini saja. Maaf, Mas nggak bisa kasih waktu lama-lama. Kamu jelas tahu ketakutan Mas."
Anggia mengangguk lemah. Dan karena itu Nova melepaskan pelukannya dan berlalu keluar kamar saat itu juga.
Hati Nova hancur. Ia tidak ada pegangan. Ia sudah terbiasa dengan Anggia. Dan walau hanya memberikan waktu semalam untuk gadis itu menyendiri, tapi ia takut dengan berbagai macam hal yang akan muncul dipikiran gadis itu maupun dirinya sendiri.
Keluar dari lift, Nova menuju meja resepsionis untuk menanyakan kamar kosong yang berada di lantai yang sama dengan kamar Gia kini. Kalau bisa kamar untuk dirinya ini tidak terlalu jauh dari kamar Gia berada sekarang. Dan sebuah kamar dengan jarak dua pintu dari kamar Gia pun ia dapatkan.
Begitu merebahkan diri di atas ranjang, kehampaan dan kesunyian yang sejak tadi Nova rasakan semakin erat menyergap.
Sebelum masuk ke dalam kamar yang ia tempati kini, ia menyempatkan untuk masuk ke dalam kamar Gia untuk mengambil ponselnya. Ia bahkan sempat melabuhkan kecupan ringan di kening gadis itu.
Ia berharap, semoga dengan ini Gia bisa berpikir jernih untuknya —untuk mereka. Semoga Gia benar-benar melihat kesungguhannya dan mempertimbangkan usaha yang sudah ia lakukan. Kalau masih belum juga, ia rela menunggu. Tapi lagi, tidak dalam waktu yang lama. Ia tidak suka terombang-ambing tidak jelas. Tapi ia juga tidak siap jika Gia memilih pergi.
Semoga.
~~ 28 ~~
Gia menghembuskan nafasnya dengan keras.
Siang tadi, ia sudah meminta Nova untuk tidak menjemputnya dan memberitahu kalau ia akan keluar bersama Aya —berdua saja. Awalnya laki-laki itu tidak mengijinkan, mengingat tadi pagi keduanya saling diam saat Nova kembali ke kamarnya. Namun dengan sedikit gertakan akhirnya Nova memberi ijin dan pulang ke hotel seorang diri. Padahal kemarin laki-laki itu juga sudah memberi tahu Gia kalau sore ini mereka akan melihat rumah lain lagi yang ditawarkan.
"Gimana? Udah enakan?"
Gia menggeleng lemah. Ia juga tidak tahu apa yang sebenarnya ia sendiri rasakan. Terlalu banyak, sampai ia bingung bagaimana mengutarakan perasaan dan pikirannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
OPTION [✔️]
Short StoryBagaimana jadinya kalau ada orang ketiga dalam sebuah hubungan?