Kata Terakhir Lucian

4 1 1
                                    

Pagi itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Lucian merasakan kelemahan yang luar biasa di tubuhnya. Amara duduk di sampingnya, memegang tangannya erat, merasakan setiap detik berlalu dengan cemas.

"Lucian, bagaimana perasaanmu hari ini?" tanya Amara dengan suara lembut, mencoba menyembunyikan kekhawatirannya.

Lucian menghela napas dalam-dalam, matanya tampak berat dan penuh kelelahan. "Amara, aku merasa sangat lemah. Seperti ada sesuatu yang salah."

Amara merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. "Jangan khawatir, Lucian. Aku akan memanggil dokter sekarang."

Namun, sebelum Amara sempat bangkit, Lucian menahan tangannya. "Tunggu, Amara. Ada sesuatu yang ingin aku katakan."

Amara kembali duduk, menatap mata Lucian dengan penuh perhatian. "Apa itu, Lucian?"

Lucian menatap Amara dengan mata yang penuh rasa sakit tapi juga penuh kejujuran. "Amara, aku tahu bahwa waktu kita mungkin tidak lama lagi. Aku ingin kamu tahu bahwa kamu telah menjadi sumber kekuatan yang luar biasa bagiku. Cinta tak harus memiliki, Amara. Aku tahu kamu mencintaiku, dan aku sangat menghargai itu. Tapi aku juga tahu bahwa aku tidak bisa memberimu apa yang kamu layak dapatkan."

Amara merasa air mata mengalir di pipinya. "Lucian, jangan bicara seperti itu. Aku mencintaimu apa adanya. Aku di sini untukmu, apapun yang terjadi."

Lucian tersenyum lemah. "Aku tahu, Amara. Dan itu membuatku sangat berterima kasih. Tapi aku juga ingin kamu bahagia. Jika suatu hari nanti kamu menemukan seseorang yang bisa memberimu kebahagiaan lebih dari yang bisa aku berikan, jangan ragu untuk mengejarnya. Cinta tak harus memiliki, tapi aku akan selalu mencintaimu dari jauh."

Amara merasakan hatinya hancur mendengar kata-kata Lucian. "Lucian, kamu adalah segalanya bagiku. Aku tidak bisa membayangkan hidup tanpamu."

Lucian menggelengkan kepala dengan lembut. "Kamu kuat, Amara. Kamu akan menemukan cara untuk terus hidup dan menemukan kebahagiaan. Aku yakin itu."

Amara menangis terisak, menggenggam tangan Lucian erat-erat. "Aku akan selalu mencintaimu, Lucian. Kamu adalah segalanya bagiku."

Lucian mengangguk perlahan. "Aku tahu, Amara. Terima kasih atas segalanya."

Beberapa saat kemudian, Lucian merasakan tubuhnya semakin lemah. Nafasnya menjadi semakin berat. Dengan sisa kekuatannya, dia memandang Amara untuk terakhir kalinya. "Sampaikan juga pesan ini untuk Seraphina. Cinta tak harus memiliki. Aku berharap dia bahagia, apapun yang terjadi."

Amara mengangguk, air mata terus mengalir. "Aku akan menyampaikannya, Lucian. Aku berjanji."

Lucian tersenyum lemah, kemudian matanya perlahan menutup. Amara memanggil dokter dengan suara penuh kepanikan. Dokter dan perawat segera datang, memeriksa kondisi Lucian yang kini kritis.

Waktu seakan berhenti, dan Amara hanya bisa berdoa agar Lucian bisa bertahan. Namun, meskipun dokter berusaha sebaik mungkin, Lucian tetap tidak sadarkan diri.

Amara duduk di samping tempat tidur Lucian, memegang tangannya yang dingin, merasa hatinya hancur. Kata-kata terakhir Lucian terus terngiang di telinganya, membuatnya sadar bahwa cinta memang tidak selalu harus memiliki.

Hari-hari berikutnya, kondisi Lucian tetap kritis. Amara setia berada di sisinya, berharap keajaiban bisa terjadi. Meskipun hati kecilnya tahu bahwa harapan semakin tipis, cinta dan dedikasinya pada Lucian tidak pernah pudar.

Dengan hati yang penuh kesedihan, Amara terus berjuang untuk tetap kuat, berharap bahwa Lucian akan kembali membuka matanya dan bersama-sama menghadapi dunia. Tapi kenyataan yang pahit terus menghantuinya, membuatnya sadar bahwa mungkin, cinta mereka hanya bisa dikenang dalam hati.

Cinta tak harus memilikiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang