Kesehatan Lucian terus memburuk, dan para dokter semakin khawatir dengan kondisinya. Setiap hari, tubuhnya semakin lemah, dan napasnya semakin tidak stabil. Malam itu, Amara duduk di samping tempat tidur Lucian, merasakan ketegangan yang menyelimuti ruangan.
Lucian terbaring lemah, napasnya terdengar terputus-putus. Amara memegang tangannya, berusaha untuk memberikan kenyamanan yang bisa ia tawarkan. "Lucian, aku di sini. Kamu tidak sendirian," katanya dengan suara lembut.
Lucian membuka matanya dengan usaha. Wajahnya tampak sangat pucat, dan ia merasa sangat kelelahan. "Amara... aku merasa... semakin mendekat...," kata Lucian dengan suara yang hampir tidak terdengar.
Amara mengelus rambut Lucian dengan lembut. "Jangan berpikir seperti itu. Kamu harus tetap berjuang. Kami akan melakukan segala yang kami bisa untuk membuatmu merasa lebih baik."
Dokter memasuki ruangan, memeriksa kondisi Lucian dengan cermat. Setelah beberapa saat, ia berbalik kepada Amara dengan ekspresi serius. "Kondisi Lucian semakin kritis. Kami telah melakukan semua yang kami bisa, tetapi tubuhnya tampaknya tidak dapat menahan beban ini lagi. Kami akan terus memantau, tetapi kita harus bersiap untuk kemungkinan terburuk."
Amara merasa hatinya hancur mendengar kabar itu. "Tolong, dokter. Apa yang bisa kami lakukan?"
Dokter menghela napas. "Kita akan terus memberikan perawatan terbaik yang kami bisa, dan fokus pada membuatnya merasa nyaman. Tapi saat ini, semua yang bisa kita lakukan adalah mendukungnya dengan penuh kasih sayang."
Kembali ke sisi Lucian, Amara merasa kepedihan yang mendalam. "Lucian, kami akan membuatmu nyaman. Jangan khawatir tentang apapun. Fokuslah pada dirimu sendiri."
Lucian berusaha tersenyum, tetapi usahanya tampak melelahkan. "Aku... merasa sangat lelah. Aku tahu waktuku mungkin tidak lama lagi."
Amara menahan air mata. "Aku ingin kau tahu bahwa aku sangat menghargai waktu kita bersama. Kau telah menjadi teman yang luar biasa dan sumber kekuatan."
Lucian mengangguk pelan. "Terima kasih, Amara. Kau telah membuat masa-masaku lebih berarti."
Hari-hari berikutnya menjadi semakin berat. Lucian kadang-kadang terlihat lebih baik, tetapi seringkali ia terjerat dalam episode kelelahan yang parah. Amara terus berada di sampingnya, berbicara kepadanya dengan lembut, menceritakan kenangan indah, dan mencoba untuk menjaga semangatnya tetap hidup.
Suatu malam, saat suasana tenang dan lampu redup di kamar rumah sakit, Lucian memandang Amara dengan mata yang penuh rasa sayang dan keputusasaan. "Aku ingin kau tahu, meskipun aku merasa sangat lelah, aku merasa damai karena ada seseorang yang peduli sepertimu di sampingku."
Amara memegang tangannya dengan lembut. "Aku akan selalu peduli. Apapun yang terjadi, kau akan selalu ada di hatiku."
Lucian tersenyum lemah, merasakan sedikit ketenangan dari kata-kata Amara. Walaupun saat-saat itu penuh dengan ketidakpastian, dukungan Amara memberi sedikit harapan dan kenyamanan di tengah kekacauan.
Ketika detik-detik berlalu, kondisi Lucian semakin tidak menentu. Para dokter terus memantau dengan cermat, dan Amara tetap berada di sisi Lucian, memberikan dukungan dan cinta yang tiada henti. Meskipun masa depan tampak samar, mereka berusaha untuk tetap kuat dan memberikan yang terbaik dalam setiap detik yang tersisa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta tak harus memiliki
Fiksi RemajaLucian, seorang pemuda introvert dan kalem dari Lunaria, menemukan pelarian dari rutinitasnya yang membosankan di sebuah aplikasi chat. Di sana, ia bertemu dengan Seraphina, seorang gadis populer dari Valoria yang memiliki ego tinggi namun berhati b...