Lucian terus menunjukkan tanda-tanda pemulihan yang lambat, meski bayangan keputusasaan masih membayangi setiap harinya. Meski Amara selalu di sisinya, memberikan dukungan tanpa henti, beban emosional yang dirasakan Lucian semakin berat.
Pagi itu, Amara duduk di samping tempat tidur Lucian, menyuapi sarapan dengan hati-hati. "Kamu harus makan, Lucian. Ini penting untuk kekuatanmu," katanya lembut.
Lucian hanya menatap makanan di depannya dengan ekspresi kosong. "Terima kasih, Amara. Aku akan mencoba," katanya dengan suara lemah, sebelum perlahan memasukkan sesendok makanan ke mulutnya.
Setelah sarapan, Amara membawa Lucian keluar ke balkon rumah sakit, berharap udara segar bisa membantunya merasa lebih baik. "Lihatlah matahari pagi ini. Indah sekali, bukan?" tanya Amara, mencoba membawa sedikit cahaya ke dalam hati Lucian.
Lucian menatap langit dengan mata yang letih. "Ya, indah sekali. Tapi rasanya keindahan ini sulit aku rasakan. Setiap hari terasa seperti perjuangan yang tak ada akhirnya."
Amara meraih tangan Lucian, mencoba menyalurkan kekuatannya. "Kita harus terus berjuang, Lucian. Meski terasa sulit, aku yakin ada harapan di depan sana."
Namun, hari itu menjadi lebih berat dari biasanya. Lucian mulai merasa kelelahan yang luar biasa, dan rasa sakit di tubuhnya semakin menjadi. Dia kembali ke tempat tidur dengan tubuh yang lemas, sementara Amara memanggil dokter untuk memeriksanya.
Dokter datang dan melakukan pemeriksaan menyeluruh. "Kondisinya semakin lemah. Kita perlu meningkatkan perawatan dan memastikan dia mendapatkan cukup nutrisi dan istirahat," kata dokter dengan serius.
Amara mengangguk, meski hatinya terasa berat. "Kami akan melakukan yang terbaik, dokter. Terima kasih."
Saat malam tiba, Lucian terbaring di tempat tidurnya, matanya menatap langit-langit dengan kosong. Amara duduk di sampingnya, memegang tangan Lucian dengan erat.
"Lucian, aku tahu ini sangat sulit, tapi kamu tidak sendirian. Aku selalu ada di sini untukmu," kata Amara dengan suara penuh kasih.
Lucian menutup matanya, air mata mengalir di pipinya. "Aku tahu, Amara. Terima kasih. Kadang aku merasa seperti sudah mencapai batas kemampuanku."
Amara merasakan kepedihan yang dalam dari kata-kata Lucian. "Jangan menyerah, Lucian. Kita masih memiliki harapan. Aku akan terus berada di sini, mendukungmu."
Malam itu, Lucian terjaga dengan penuh kekhawatiran. Setiap napas terasa berat, dan beban emosional yang dia rasakan semakin menyulitkan. Di tengah-tengah kegelapan yang menyelimutinya, harapan tampak semakin memudar.
Namun, saat matahari terbit dan hari baru dimulai, Lucian merasa sedikit lebih baik. Amara terus memberikan dukungan dan perhatian, dan para dokter terus memantau kondisinya dengan seksama. Meskipun Lucian masih berjuang dengan ketidakstabilan fisik dan emosionalnya, dia berusaha untuk tetap kuat dan tidak menyerah pada keadaan.
Hari-hari berlalu dengan perlahan, dan Lucian berusaha untuk fokus pada pemulihannya meskipun sulit untuk melupakan rasa sakit yang mendalam. Meskipun masa depan tampak samar, Amara terus berkomitmen untuk mendukungnya dan memberikan harapan di tengah-tengah ketidakpastian.

KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta tak harus memiliki
Genç KurguLucian, seorang pemuda introvert dan kalem dari Lunaria, menemukan pelarian dari rutinitasnya yang membosankan di sebuah aplikasi chat. Di sana, ia bertemu dengan Seraphina, seorang gadis populer dari Valoria yang memiliki ego tinggi namun berhati b...