BAB 02 - antara baik dan buruk

21 2 0
                                    

"Assalamualaikum."

"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh."

Arkan menyalami tangan kedua orang tuanya ketika laki-laki itu sampai ke dalam rumah. Selesai mengajar, Arkan kembali pulang kerumahnya sekitar pukul 17:20 sore.

Arkan duduk di sofa kosong bergabung dengan kedua orang tuanya di ruang keluarga, selain malas ke kamar, ada sesuatu hal penting yang ingin Arkan sampaikan pada mereka.

"Kamu sudah sholat Ashar, Arkan?" Tanya Danita, wanita cantik yang sering dipanggil Ami oleh Arkan. Lebih tepatnya, wanita itu adalah ibu kandungnya.

"Alhamdulillah sudah, Ami." Jawab Arkan.

"Arkan. Ada hal penting yang mau Abi sampaikan pada kamu, Abi harap kamu tidak menolak permintaan Abi yang satu ini."

"Hal penting apa, Abi?"

Mendengar ucapan Abi nya, Arkan jadi khawatir. Melihat ekspresi serius diwajah Abi dan Ami membuat Arkan jadi urung memberitahu sesuatu yang tadi ingin ia sampaikan.

Arkan duduk dengan wajah serius sembari menunggu ucapan Abi selanjutnya.

"Kamu akan Abi jodohkan dengan gadis pilihan Abi."

Deggg... Bak di sambari petir, jantung Arkan rasanya sesak sekali. Bahkan sekujur tubuh Arkan juga sudah mematung di tempatnya.

Sementara Abi Yusuf terus menatap wajah Arkan seakan memintanya untuk mencerna ucapan Abi. Untuk Ami Danita sendiri, ia juga tidak bisa berekspresi apa-apa sebab rencana ini sudah mereka setujui dari lama secara matang.

Yusuf dan Danita hanya ingin melihat anak mereka menikah, usia mereka sudah hampir 50-an. Sedangkan mereka hanya di karuniai anak satu yaitu Arkan. Lantas, siapa lagi yang bisa mereka harapkan untuk dimintai menantu.

"Abi? Ami?" Lirih Arkan sulit membuka suaranya.

"Arkan, perjodohan ini sudah lama Abi rencanakan. Dia anak dari sahabat dekat Abi, 5 tahun yang lalu beliau meninggal karena sakit keras dan sebelum beliau meninggal dia mewasiatkan Abi untuk melanjutkan menikahi anaknya dengan kamu."

"Abi tau kamu pasti akan menolak, bagaimana pun kamu berhak memilih pasangan hidup mu sendiri. Tapi, Abi mohon sama kamu, Ar, menikah dengan gadis ini. Dia anak yang baik, sopan, akhlak nya bagus udah gitu pintar. Setelah kamu menikahinya, tugas kamu hanya melanjutkan membimbing dia."

Arkan menundukkan kepalanya, sulit dan keluh untuk membuka suara. Kenyataan yang baru saja ia terima sama sekali tidak sesuai dengan yang Arkan harapkan. Niat hati membawa kabar gembira untuk orang tua namun malah dirinya harus terluka.

Arkan adalah type anak yang tidak pernah atau berani melawan serta membantah perintah orang tua. Selama puluhan tahun Arkan hidup, ia tidak pernah menolak apapun permintaan dari Abi maupun Ami nya. Lantas untuk permintaan kali ini, apakah Arkan juga harus menerima walau kenyataannya itu menyakiti hati Arkan.

"Abi, sebelum pulang ke rumah. Arkan punya kabar baik untuk kalian, apa boleh Arkan beritahu kabar itu dulu?" Deru Arkan.

"Silahkan, nak." Jawab Ami Danita.

"Selama ini, Arkan mencintai seorang perempuan, Bi, Mi. Dia juga dosen di kampus kita, tapi Arkan gak pernah punya keberanian untuk mengungkapkan perasaan Arkan selama ini. Tadi, baru Arkan bisa untuk jujur. Arkan sudah bilang sama dia kalo Arkan mencintainya."

"Arkan bahkan sudah berjanji untuk menikahi dia, Bi, Mi. Perempuan itu minta Arkan untuk datang menemui orang tuanya Minggu depan, niatnya tadi Arkan ingin menyampaikan ini sama kalian. Tapi, sepertinya tidak akan diterima sama Abi dan Ami."

"Sekarang Arkan bingung, berita ini termasuk kabar baik atau kabar buruk."

Abi Yusuf dan Ami Danita sontak saling memandang, mereka terkejut dengan kabar yang disampaikan Arkan barusan. Mereka jadi merasa bersalah sekarang, mengapa disaat mereka sudah memilih jodoh untuk Arkan tetapi anak nya itu sudah mempunyai pilihan sendiri.

Kini, mereka bingung harus bagaimana. Satu sisi Abi Yusuf dan Ami Danita tidak mau mengecewakan Arkan, tapi disisi lain mereka juga tidak bisa membatalkan perjodohan Arkan dengan Qiara. Ini sudah menjadi janji Abi Yusuf kepada Almarhum ayah Qiara.

"Abi mohon sama kamu, terima perjodohan ini. Abi ingin kamu menikah dengan gadis itu, walau terbilang usianya sangat muda dan jauh sama kamu. Tapi sifat dan karakter dirinya sangat baik, Ar." Abi Yusuf mencoba untuk membujuk Arkan.

"Tapi, Bi. bagaimana dengan perasaan Arkan terhadap perempuan yang Arkan cintai? mana mungkin Arkan mengkhianati kepercayaannya setelah Arkan berjanji untuk menikahi dia."

"Abi paham. Kamu coba jelaskan sama dia secara perlahan, lagi pula kalian selama ini tidak pernah komunikasi kan?" Tanya Abi Yusuf dan Arkan mengangguk.

"Untuk itu, tidak terlalu berat untuk dia melepaskan kamu. Kalian belum terlalu dalam, Abi percaya kalo rencana kalian masih bisa di batalkan secara baik-baik. Abi paham, Abi sadar Abi egois. Tapi ketahuilah, Ar. Abi melakukan ini karena Abi mau yang terbaik untuk kamu." Ucap Abi Yusuf.

"Ami juga sudah melihat sendiri gadis itu, dia memang baik. Hatinya cantik secantik wajahnya. Ami yakin kamu bisa mencintai dia seiring berjalannya waktu." Ami Danita ikut membujuk Arkan.

Jika sudah mendengar nada permohonan dari orang tua nya, Arkan tidak bisa berkutik. Mereka berdua adalah sumber kelemahan Arkan. Sedikit pun tidak akan pernah Arkan rela melihat mereka kecewa apalagi karenanya.

Tapi untuk mempersetujui perjodohan ini kenapa rasanya berat sekali. Arkan tidak bisa membuang perasaannya dengan Kalista, perempuan itu wanita pertama yang bisa membuat Arkan jatuh cinta.

Apa Arkan boleh egois untuk situasi kali ini?

Melihat ekspresi wajah kedua orangtuanya, Arkan tidak bisa tenang. Terlihat jelas jika mereka berdua sangat mengharapkan Arkan menyetujui permintaan mereka ini.

"Abi? Arkan--"

*****

Qiara melipat sajadahnya setelah gadis itu selesai menunaikan sholat isya dikamar. Kemudian, Qiara membuka laci meja belajar nya lalu mengambil mushaf miliknya, Qiara duduk di kursi belajar dan membuka mushaf tersebut.

Perlahan lidah Qiara melantunkan ayat-ayat Alquran dengan khusyuk. Ditengah tengah gadis itu mengaji, tiba-tiba saja Qiara menangis. Dadanya sesak dan sontak ia menghentikan suaranya.

Qiara beranjak mengambil minum di meja sebelah kasur lalu menegak habis air minum tersebut. Setelah itu Qiara menarik nafas dalam-dalam lalu kembali ia hembuskan.

"Astagfirullah'alazim."

Qiara duduk di pinggir kasur. Matanya terus menangis hingga sesenggukan. "Ya Allah, aku kenapa?" Lirih dalam hati.

Tiba-tiba saja ingatan Qiara tentang obrolan dirinya dengan sang ibu tadi sore membuat Qiara semakin menangis. Pedih, perih mulai menjalari hati Qiara.

"Nak, kamu harus bahagia. Ibu gak bisa membahagiakan kamu, kalau bisa setelah menikah kamu bisa bahagia bersama suami kamu." Ucap Ibu Hani sore tadi.

"Buk, Qia bahagia asalkan sama ibu. Apa bisa Qia bahagia nantinya kalo gak ada ibu yang tinggal sama Qia?"

"Ingat pesan ibu, Nak. menikah bukan soal bahagia atau gak bahagia, mencintai atau tidak mencintai pasangan kita. Tetapi, menikah soal seberapa besar niat kamu untuk menjalani rumah tangga bersama pasangan mu hingga kalian meraih surga bersama sama."

"Jadikan pernikahan itu sebagai ibadah, niatkan pernikahan kamu karena Allah. Insyaallah pernikahan mu Kelak tidak akan mengecewakan."

Qiara benar-benar tidak siap berpisah dengan ibunya. Wanita itu banyak berjasa dalam hidup Qiara, berapa kali ibu Hani memarahi Qiara namun gadis itu tidak pernah sakit hati, malah Qiara selalu menjadikan motivasi setiap yang di ucapkan ibunya.

"Ya Allah, tolong bantu Qia untuk lebih tenang. Yakinkan hamba jika semua akan baik-baik saja."

Perjodohan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang