Cuaca di malam ini sangat buruk. Kilatan-kilatan garis cahaya putih menyambar di tengah gelapnya malam, terlihat seolah-olah akan membelah bumi dengan begitu mudahnya. Suara gemuruh terdengar menggelegar beberapa detik setelah kilat petir menyambar.
Di dalam hutan yang gelap, hanya cahaya remang-remang dari bulan yang menerangi, terbaring mayat seorang wanita di tanah lembab dengan kondisi yang sangat mengenaskan. Wajah cantiknya pucat membiru, tubuhnya mulai kaku dan mendingin.
Genangan darah merah yang keluar membanjiri tanah di sekitarnya. Jika ada orang yang melihatnya, mungkin orang itu akan muntah setelah mencium bau amis darah yang begitu kuat menusuk hidung.
Sekelebat cahaya putih yang sangat terang dari langit seperti kilat petir menerjang tubuh tak bernyawa itu, dan tiba-tiba saja mata yang tadinya tertutup rapat itu terbuka lebar. Jantung yang tadi sudah berhenti berdetak kini kembali berdetak dengan kencang bersamaan dengan gerak naik turun dada. Perlahan suhu tubuhnya pun mulai menghangat yang menandakan sebuah kehidupan.
Wanita itu menarik napas dalam-dalam, menghirup oksigen dengan banyak hingga sesak di dadanya berkurang.
"Aku... masih hidup?" Wanita itu bertanya bingung seorang diri dengan posisi masih terbaring menatap langit gelap.
Kepalanya menggeleng pelan. "Gak! Gak mungkin aku masih hidup. Mana ada orang yang terjun dari lantai 56 masih hidupkan? Aku yakin ini pasti alam baka."
Mulut berkata yakin, tapi berbeda dengan hatinya yang ragu. Apakah ini benar alam baka atau bukan? Rasanya alam baka tidak akan terlihat seperti yang matanya lihat ini, ya walaupun dirinya juga belum pernah pergi ke alam baka.
Menghela nafas pelan, wanita itu meletakkan telapak tangannya di pipi. Menepuk-nepuk pelan beberapa kali sebelum akhirnya menampar pipinya sendiri dengan kencang.
"Awww, sakit!" Bibirnya meringis kesakitan sambil tangannya mengelus pipi bekas tamparan.
"Kok sakit sih? Bukannya kalau udah mati gak akan ngerasain sakit lagi, ya?"
Segala tanya mulai memenuhi otak kecilnya. Raut wajahnya pun mulai terlihat kebingungan. Hatinya gelisah. Jantungnya terasa berdetak lebih cepat seperti habis berlari puluhan kilometer.
"Kalau aku masih bisa ngerasain sakit, artinya aku belum mati, dan tempat ini juga bukan alam baka."
Hahhhh... Wanita itu menghela nafas kembali, lalu terkekeh pelan sebelum kemudian tertawa terbahak-bahak. "Haha... Haha..." Suara tawanya seketika memecah keheningan malam. Cukup lama dia tertawa sendiri seperti orang gila sampai matanya berair.
"Aku yang masih hidup setelah jatuh dari lantai 56 ini termasuk keberuntungan atau kesialan, ya?"
Wanita itu terdiam. Tidak bisa menjawab pertanyaannya sendiri. Memang membingungkan bukan? Jika ada orang yang bunuh diri tapi tidak mati, kita tidak tau apakah itu sebuah keberuntungan dari Tuhan atau kesialan yang seperti memang kita tidak ditakdirkan mati untuk saat ini.
Sudah 30 menit waktu berjalan tapi wanita itu masih saja terdiam bak patung. Dia masih tidak tau harus bereaksi seperti apa sekarang. Apakah harus merasa senang? Atau sedih? Atau kecewa? Perasaannya terlalu rumit, sampai-sampai ia tidak tau harus menunjukkan respon seperti apa.
Wanita itu menengadah wajahnya lurus ke atas, menatap langit malam yang bertabur ribuan bintang di antara sela-sela pohon besar yang rimbun. Indahnya. Bibirnya tersenyum tipis, hanya sebentar karena senyumnya itu menghilang setelah menyadari ada yang hal aneh.
Sebentar, tadi apa? Pohon? POHON?!
Wanita itu segera beranjak bangkit dari posisi tidurnya lalu duduk bersila di atas tanah dengan wajah terkejut. Kepalanya menoleh ke kiri kanan menatap sekelilingnya. Selain kegelapan, hanya ada pohon besar dan tinggi yang bisa dia lihat di sekelilingnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Become A Queen
Fantastik*** Karena tertekan dengan tuntutan pekerjaan yang sangat tidak masuk akal di tempatnya berkerja membuat Laura memilih untuk mengakhiri hidupnya sendiri dengan cara terjun dari rooftop kantornya. Namun, alih-alih pergi ke alam baka, Laura malah terl...