Zayyan melamun sambil mengikuti langkah-langkah kakaknya, Hyunsik, yang berjalan mantap di depannya. Hari ini, ia akan belajar cara menggunakan sihir—sesuatu yang baru baginya, sesuatu yang selama ini hanya ia dengar dalam cerita dan legenda. Namun, pikirannya berputar, terpecah antara kegembiraan dan kekhawatiran. Apakah ia bisa menguasai sihir seperti kakaknya? Ataukah ia hanya akan mengecewakan?
Mereka terus berjalan menuju tempat latihan yang berada jauh di belakang istana. Zayyan mulai merasa lelah, langkahnya melambat seiring dengan bertambahnya jarak yang mereka tempuh. Seiring mereka melewati taman-taman indah dan hutan kecil di belakang istana, Zayyan akhirnya tak bisa menahan diri untuk tidak bertanya.
"Kak, kenapa kita tidak pakai sihir saja untuk sampai ke tempat latihan? Cape, tahu," keluhnya dengan suara malas.
Hyunsik menoleh ke belakang, menatap Zayyan dengan senyum tipis yang penuh kebijaksanaan.
"Kita tak boleh terlalu tergantung pada sihir, Zayyan. Sihir itu hanya pelengkap. Jika kita terlalu bergantung padanya, kita akan lupa tugas, kewajiban, dan hak kita sebagai manusia."
Zayyan mengerutkan kening, bingung dengan penjelasan kakaknya. "Apa maksudnya, Kak?"
Hyunsik menghela napas lembut, namun tetap melangkah maju.
"Sihir memang memudahkan banyak hal, tapi kalau kita mengandalkannya terus-menerus, kita bisa kehilangan disiplin dan kemampuan alami kita. Manusia harus kuat dengan atau tanpa sihir. Sihir hanya alat, bukan tujuan."
Zayyan mengangguk pelan, meski ia masih merasa bingung dan sedikit kesal. Bagaimana mungkin sihir bisa menjadi sesuatu yang tidak penting padahal ia melihat kakaknya menggunakannya dengan begitu mudah?
Mereka akhirnya tiba di tempat latihan, sebuah lapangan luas dengan berbagai alat dan target latihan yang tersebar di sekitarnya. Hyunsik, tanpa membuang waktu, langsung memulai pelajaran. Ia berdiri di depan Zayyan dan menjelaskan sihir pertama yang akan dipelajari adiknya—cara mengangkat suatu benda menggunakan sihir.
Hyunsik mengangkat tangannya, dan dengan mudahnya sebuah batu besar terangkat dari tanah, melayang di udara sesuai kehendak Hyunsik.
"Perhatikan dengan baik," katanya, sebelum menurunkan batu itu kembali dengan lembut.
"Sihir itu soal fokus dan ketenangan hati. Jika pikiranmu tidak tenang, sihir pun tidak akan patuh padamu."
Zayyan mengangguk dan mencoba meniru gerakan kakaknya. Ia fokus pada sebuah batu kecil di depannya, mencoba memusatkan pikirannya seperti yang dikatakan Hyunsik. Namun, tidak peduli seberapa keras ia berusaha, batu itu tidak bergeming sedikit pun. Setelah beberapa kali mencoba, Zayyan merasa frustrasi.
"Kak, kenapa saat aku melihatmu terlihat gampang, tapi saat aku coba ternyata sangat susah!" keluhnya dengan napas terengah.
Hyunsik, yang telah memperhatikan dengan tenang dari samping, hanya terkekeh mendengar keluhan adiknya.
"Sihir bukan sekadar gerakan tangan atau kata-kata mantra, Zayyan. Ini tentang bagaimana kau mengendalikan energi dalam dirimu. Pikiranmu harus tenang, dan kau harus mengendalikan sihir itu dengan hatimu."
Zayyan menatap kakaknya dengan keraguan. "Mengendalikan dengan hati?"
Hyunsik mengangguk dengan lembut. "Ya. Kau harus merasakan sihir itu, bukan hanya berpikir tentang bagaimana cara melakukannya. Bayangkan energi yang mengalir dalam dirimu dan arahkan dengan hati yang tenang dan yakin. Ketika kau bisa melakukan itu, sihir akan tunduk padamu."
Zayyan menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. Ia menutup matanya, berusaha merasakan energi yang mengalir di dalam tubuhnya seperti yang dikatakan Hyunsik. Dengan hati yang lebih tenang, ia mencoba lagi. Perlahan-lahan, ia merasakan ada sesuatu yang berubah—batu kecil di depannya mulai bergerak, terangkat sedikit dari tanah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terlempar ke dunia kerajaan
FanfictionZayyan tertidur di perpustakaan sekolahnya, tiba-tiba saja saat terbangun ia berada di perpustaakan mewah di sebuah kerajaan sihir!! Ia awalnya sangat bingung, mengapa ia tiba-tiba berada di sini. Zayyan mulai perlahan mengenali dunia nya yang sekar...