Tak...Tak...Tak...
Mengetuk pulpen ditangan dengan nada seirama terus menerus, lalu melirik jam tangan berulang kali. Lima menit, orang yang membuat janji dengannya baru saja terlambat. Memang baru lewat lima menit dari waktu yang mereka sepakati, tetapi Peat tak suka orang yang ingkar dengan janji mereka sendiri.
"Jika satu menit lagi dia tak datang, aku akan pergi."
Keputusan akhir, Peat tak akan susah payah menunggu orang yang tak menghargai itikad baik orang lain. Ketika disini yang membutuhkan bimbingan bukan dirinya, tapi junior itu. Lalu, kenapa harus dia yang susah payah menunggu tanpa kepastian?
BRAK!!
Mendongak, Peat menemukan seorang pemuda tampan dengan penampilan acak-acakan menggebrak meja dengan keras. Jika tak mendapatkan dokumen akademik kemarin, dia mungkin tak akan percaya bahwa pemuda dihadapannya itu salah satu mahasiswa jurusan Bisnis. Kemeja putih yang seharusnya terpasang rapi, bahkan sekarang hanya dua kancing terbawah yang berada di tempatnya. Memperlihatkan dada bidang dengan garis otot yang terpahat jelas.
Jangan lupakan juga, terdapat luka lebam dibeberapa bagian pada wajah tampan itu. Terlihat baru dan bahkan terdapat darah segar disudut bibir dari luka robekan.
"Phi, untunglah kau masih disini."
"Apa yang terjadi padamu?"
Fort mengangkat sebelah alis, sedikit terkejut dengan pertanyaan yang Peat ajukan. Sebenarnya itu pertanyaan acak yang wajar ditanyakan, mengingat penampilan buruknya. Namun saat pemuda manis itu yang menanyakan, Fort tidak bisa tidak memberikan jawaban jujurnya.
"Aku terlibat perkelahian kecil dengan orang random dijalan, tidak terlalu buruk. Jangan khawatir."
"Aku tidak khawatir, hanya aneh saja melihat penampilanmu yang acak-acakan."
Peat menjawab jujur, dia benar-benar tidak mengkhawatirkan pemuda dihadapannya itu. Mereka hanya orang asing, ingat. Dia berada disini, dan bertemu juga hanya karena Peat akan menjadi mentor dengan Fort adalah mentee yang harus dia ajari.
"Tidak khawatir juga tak apa-apa, bertanya saja sudah membuatku senang."
Fort dengan kalimat ambigunya, memilih untuk memasang senyum lebar lalu mendudukkan diri tepat dihadapan Peat. Dia menopang dagu, lalu menatap pemuda manis itu tepat dimata. Menyelami mata coklat yang terlihat begitu mempesona, berkilau walau berada dibalik lensa tebal. Bahkan kacamata itu tak menghalangi Fort untuk terpesona oleh mata cantik milik Peat.
Menggeleng, Peat memilih untuk mengalihkan tatapan. Mengambil sebuah kertas, lalu menyerahkan pada pemuda dihadapan. Tetapi dia harus mendongak, saat kertas tak juga diambil. Dan saat tatapan mereka kembali bertemu, Peat harus menghela napas begitu menyadari Fort terlewat memperhatikannya namun ditempat yang salah. Ketika pemuda itu menatap wajahnya dengan lekat, namun mengabaikan tangannya yang tengah mengangsurkan kertas.
"Hey, apa yang kau lihat sebenarnya? Ambil ini."
Fort hanya memberikan senyum kecil, saat dia tertangkap basah memperhatikan pemuda manis itu. Lalu memilih untuk mengambil kertas yang diangsurkan, dan mulai membaca isinya.
"Hanya dua kali pertemuan dalam seminggu?"
Protes kelewat cepat, Fort tak suka melihat jadwal yang dibuat oleh Peat untuk mentoring yang harus mereka lakukan. Mereka hanya akan bertemu dua kali dalam satu minggu, benar-benar hal yang Fort tak sukai.
"Aku rasa itu cukup untuk memberikanmu bimbingan untuk awal perkuliahan."
"Tapi bagiku itu tak cukup untuk bertemu denganmu."
Benar, Fort merasa dia tak merasa itu cukup untuk bertemu hanya dua kali dalam satu minggu. Fort ingin bertemu dan melihat Peat, lebih banyak dan lebih sering dari itu.
"Aku bukan orang senggang, yang mempunyai banyak waktu."
Peat tak menerima protes, dia bukan orang senggang yang memiliki banyak waktu. Dia mahasiswa tahun ketiga, banyak hal yang harus dilakukan pada perkuliahannya tahun ini. Peat bahkan harus mempersiapkan dirinya untuk magang di sebuah perusahaan dalam waktu dekat. Lalu, kenapa dia harus menghabiskan waktu dengan pemuda urakan ini?
GREP!!
Mencondongkan tubuh, wajah Fort berada tepat didepan wajah Peat. Dua pasang mata itu sekarang, saling menatap dalam jarak tak lebih dari lima inchi. Hitam dan coklat, menyelami satu sama lain. Tak ada yang mencoba mengalihkan tatapan, ketika mereka terlarut dalam pesona.
Fort jelas begitu tertarik, saat sepasang mata coklat itu tak berkedip. Ini bukan kali pertama mereka bertemu, atau bahkan bertukar tatapan. Namun Fort selalu suka reaksi yang diberikan Peat, ketika pemuda manis itu tak pernah menunjukkan reaksi lebih. Tak takut, bahkan lebih ke tak menunjukkan ketertarikan. Padahal Fort yakin, dia amat sangat mempesona.
"Kalau begitu, aku yang akan memilih tempat kita akan 'belajar', Phi."
*
KAMU SEDANG MEMBACA
My Mafia Mentee (FortPeat)
FanfictionDunia Peat Wasuthorn yang monoton dan membosankan berubah, ketika pemuda tampan berkulit Tan itu datang mengacaukannya. Sehingga sekarang Peat harus menerima, bahwa kehidupannya akan dipenuhi ketegangan dan bahaya karena seorang Fort Thitipong.