16. Bunda Si penuh luka

579 60 17
                                    

Saat membuka handpone yang beberapa hari ini di matikan Paskah langsung di serbu oleh banyak nya pesan dan panggilan tak terjawab dari begitu banyak orang.

Bahkan teman-teman kelas yang biasa nya nampak tak perduli kini ikut mencari.

Senyum nya terbit saat sadar kini ia tak perlu merasa sendiri lagi, teryata di sekitar nya banyak orang yang perduli.

Namun dari banyak nya pesan yang masuk kalimat mereka hampir sama.

'Skah, kalo besok lo gak masuk. Beasiswa lo bakal di cabut sama pihak kampus.'

"Bund, skah pulang malam ini ya?"

"Hah?" Sofia yang tengah melipat baju sontak menoleh dengan wajah terkejut. "Kamu gak denger apa yang di bilang dokter tadi? Kondisi kamu masih belum stabil!"

"Tapi kalo besok Skah gak masuk, beasiswa nya bakal di cabut bund!"

Wanita itu lantas berdiri, menatap Paskah yang begitu gundah. "Yaudah ga papa. Bunda masih mampu kok biyayain kuliah kamu."

"Bund—"

"Kesehatan kamu lebih penting Skah!"

"Berarti kerja keras aku sia-sia dong?" Paskah melirih. "Bahkan dari awal SMA aku berusaha masuk sana dengan beasiswa full bakal ilang gitu aja?"

"Selama ini Skah belajar mati-matian biar gak jadi beban untuk Bunda," Air tiba-tiba menetes membasahi wajah nya. "Tapi sekarang, Skah malah buat beban nya bunda bertambah."

Ia menutup wajah nya dengan kedua tangan. "Harus nya Skah emang gak perlu ada! Harus nya Bunda bisa lebih bahagia kalo Skah gak ada!"

"Harus nya–"

Sofia mendekap Paskah, masuk kedalam pelukan nya yang hangat.

"Harus nya Skah bisa buat bunda bangga, kalo aja penyakit sialan ini gak dateng tiba-tiba."

"Nak," Sofia mengusap punggung Paskah lembut, "Jangan mencela apa yang udah di tetapkan sama Tuhan."

"Ga papa, Bunda tetep Bangga sama Skah walau Skah gak dapat beasiswa lagi. Bunda tetep Sayang sama Skah apapun yang terjadi."

Paskah kian mengencangkan pelukannya, tangan nya bahkan meremas kemeja yang Sofia kenakan hingga terlihat kusut.

Tangis nya kian deras, padahal gadis itu bukan anak yang cengeng.

Paskah jarang menangis.
Bahkan saat rasa sakit menyerang nya tanpa ampun.

"Seandainya Ayah ada, pasti kita gak sehancur ini kan Bunda?"

~•~

Pagi yang cerah ini tak berlaku untuk Laras, wanita itu menghembuskan nafas pelan. Mencengram stir kemudi saat bahkan kedua nya sudah sampai pada parkiran kampus.

Mata nya menatap kearah paskah yang tengah mengoleskan pelembab kebibir nya yang pucat.

Pagi tadi Laras di hubungi oleh Sofia untuk menjemput paskah di rumah sakit karna anak itu memaksa untuk masuk.

Meski tau jika kondisi nya bahkan belum di katakan baik.

"Ini yang terakir kali nya kamu maksain diri gini," Suara Laras nampak amat datar, ia bahkan enggan menatap Paskah.

"Ini terakir kali nya juga kamu drop, kalo sampe lagi-lagi kamu buat Mba Sofi nangis kaya kemarin. Tante gak akan maafin kamu Skah."

"Persetan soal beasiswa. Banyak kampus yang lebih bagus. Tante masih mampu buat biyayain—"

After Losing TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang