Chapter 25 - Lembaran Baru

734 102 6
                                    

BANDUNG, 2022

Covid-19 yang sempat menggemparkan bumi akhirnya bisa dijinakan. Dengan ditemuinya vaksin dan juga prokes ketat, angka penularan virus itu semakin menurun. Lockdown pun telah selesai dan rutinitas perlahan kembali ke normal.

"Teteh, nuhun nya."

"Sami-sami ibu, sehat-sehat ya."

Aku membantu Bu Yani, pasienku yang baru saja dibolehkan pulang setelah 5 hari rawat inap untuk berdiri dari kursi roda dan masuk ke mobil. Sebelum pintu mobil ditutup, Bu Yani mengenggam tanganku erat.

"Nanti kalau Aa Adit WA, teteh bales ya?" bujuk Bu Yani. Adit yang dimaksud adalah cucunya, yang sejak awal keukeuh di kenalkan padaku.

Aku nyengir lebar. "Siap ibu, sok atuh sekarang mah istirahat ya."

Begitu mobil itu melaju dan hilang dari pandangan. Aku baru menghela napas panjang. Sudah 7 kali ada pasien yang mencoba untuk menjodohkanku dengan keluarganya dalam 3 bulan ini. Aku jadi sungguh-sungguh memikirkan ide untuk pakai cincin kawin agar disangka sudah menikah.

Tapi, kalau boleh jujur, cucunya Bu Yani yang bernama Adit itu boleh juga sih. Dia ganteng, perhatian dan terlihat sayang sekali dengan neneknya.

Aku menggeleng untuk membuyarkan pikiran itu dan kembali masuk ke rumah sakit tempatku sekarang bekerja. Sudah setengah tahun aku bekerja disini. So far so good sih, lingkungan kerjanya nyaman, karena ini RS Swasta, gajinya pun terbilang ok.

Setelah shift malamku selesai, aku langsung naik motor dan pulang ke rumah.

Rumah kosong. Kakakku kerja di Jakarta, sedangkan Papa dan Mama sedang pergi jalan-jalan ke Garut. Aku segera mandi dan rebahan, siap-siap untuk tidur.

Tapi tentu saja tidak semudah itu.

Di saat-saat sepi dan sendiri begini, aku selalu teringat tentang hal-hal yang menimpaku di Papua tahun lalu. Semuanya terasa tak nyata. Hanya luka bekas tembakan di bahuku saja yang jadi pertanda kalau hal-hal itu benar-benar pernah terjadi.

Ngomong-ngomong soal cowok itu...

Ting!

Tiba-tiba handphoneku berbunyi. Ada pesan WA masuk

+628567290**
Assalamualikum, ini dengan suster Raline ya?
Ini wanya Adit, cucu Bu Yani, suster... atau boleh panggil Raline aja kah?

Mataku melebar. Wah... dia benar-benar mengirimiku pesan!

Aku meletakan handphone itu, menatap ke plafon kamar sambil melamun.

Aku sudah berumur 27, sebentar lagi 28 tahun. Umur yang sudah sangat matang untuk berhubungan serius.

Apalagi yang kutunggu?

Narendra?

Aku tersenyum mencemooh. Gila. Dia saja nggak pernah lagi mencoba untuk menghubungiku sejak aku disini!

Aku berguling dan mengambil kembali handphone itu.

Halo kak Adit, iya ini dengan Raline.
Panggil Rai aja kak.
Gimana bu Yani, udah sehat kan?

Yap. Kuputuskan, sudah saatnya aku membuka lembaran baru!

***

Tin tin—

Suara klakson mobil terdengar didepan. Aku bangkit dan mengintip dari jendela. Sepertinya benar itu mobil Kak Adit.

Jantungku langsung berdebar, sudah lama aku nggak dijemput cowok untuk ngedate begini! Setelah chatting lumayan intens selama semingguan, Kak Adit mengajakku dinner di luar.

He Was My First LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang